NovelToon NovelToon
Tangisan Di Malam Pertama

Tangisan Di Malam Pertama

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia
Popularitas:8k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.


Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.


Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 16

Dengan sekuat tenaga, Naia menarik rem tangan. Ban mobil berdecit keras, meninggalkan bau karet terbakar di atas aspal.

“Ḥasbiyallāhu lā ilāha illā huwa, ‘alayhi tawakkaltu, wa huwa rabbul-‘arshil-‘aẓīm, Cukuplah Allah menjadi penolongku, tiada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan Pemilik ‘Arsy yang agung.” gumamnya Naia Seora seraya mengusap dadanya yang berdebar kencang.

Pickup itu berguncang hebat, nyaris terbalik saat menikung, membuat Kadir hampir terlempar dari bak belakang.

“Aaaahhh! To-long aku be-lum mau mati!!” jerit Kadir yang terbata-bata saking ketakutan sambil memeluk sisi bak sekuat tenaga.

Mobil itu akhirnya berhenti dengan hentakan keras di pinggir jalan, hanya beberapa meter dari bibir jurang.

“Allahu Akbar! Allahu Akbar,” pekik Safar yang tak henti-hentinya berdzikir.

Asap tipis mengepul dari ban, sementara dada Naia naik turun cepat, peluh dingin membasahi pelipisnya.

“Subḥānallāhi wa biḥamdih, subḥānallāhil-‘aẓīm, Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya, Maha Suci Allah Yang Maha Agung.” cicitnya Safar sembari mengusap keringat dingin bercucuran membasahi pelipisnya hingga ke lehernya.

Terjadi keheningan pasca insiden yang hampir merenggut nyawa mereka bertiga. Hanya suara jangkrik sore dan napas terengah-engah mereka yang terdengar.

“Ya Allah, lindungilah kami dari depan kami, dari belakang kami, dari kanan kami, dari kiri kami, dan dari atas kami. Dan kami berlindung dengan keagungan-Mu agar kami tidak diserang dari bawah kami.” batinnya Naia.

Kadir terjatuh duduk di bak, wajahnya pucat pasi. “Aku kira kita udah mati barusan,” katanya dengan suara serak yang masih berusaha menetralkan perasaannya yang ketakutan.

Safar menoleh ke Naia, matanya masih melebar tak percaya. “Mbak… kalau bukan karena Mbak narik rem tangan tepat waktu, kita semua sudah nggak ada di dunia ini…”

Naia terdiam, tangannya masih gemetar di atas setir. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan, bercampur rasa syukur dan trauma.

“Allah… masih kasih aku kesempatan hidup…,” bisiknya pilu.

Naia masih terisak di balik setir, tubuhnya gemetar hebat. Sementara Safar dan Kadir saling pandang dengan wajah pucat, mencoba menenangkan diri.

Tak jauh dari tikungan jalan itu, di balik batang pohon jati besar yang menjulang, seseorang berdiri diam. Mata tajamnya menatap ke arah pickup Naia yang nyaris terjun ke jurang tadi.

Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum puas penuh keangkuhan.

“Hmm… meski tidak berhasil menjatuhkanmu, setidaknya kau sudah dibuat ketakutan setengah mati, Naia Seora dan ini awal dari sikap keras kepala dan keegoisanmu yang sudah mempermalukan aku di depan umum,” gumamnya lirih, seakan menikmati penderitaan orang lain.

Bayangan tubuhnya samar tertutup rimbunnya pepohonan, namun jelas dari cara ia menyilangkan tangan, rencana itu memang sudah disiapkan matang-matang.

Ia lalu melangkah pelan, menghilang ke balik hutan kecil di samping jalan, meninggalkan jejak kecurigaan dan misteri tentang siapa sebenarnya yang mengincar nyawa Naia.

Setelah nafasnya sedikit teratur, Naia akhirnya berhasil menenangkan diri. Naia merebahkan kepalanya di setir mobilnya. Jari-jarinya masih gemetar saat meraih ponselnya yang terus berdering.

Di layar, tertera nama Haji Abidin bapak angkatnya sekaligus pemilik peternakan tempat mereka bekerja.

Dengan suara parau, ia mengangkat panggilan itu.

“Assalamu’alaikum, Pak Haji…” suara Naia nyaris bergetar.

“Wa’alaikumussalam, Nak Naia. Kenapa suaranya kayak orang habis nangis? Ada apa di jalan? Kadir sama Safar di mana, kalian baik-baik saja kan?” tanya Haji Abidin dengan nada cemas.

Naia berusaha menelan ludahnya sebelum menjawab. “Tadi… tiba-tiba rem mobil blong, Pak Haji. Kami hampir saja masuk jurang. Alhamdulillah masih bisa selamat. Safar sama Kadir juga aman.”

Di seberang, terdengar helaan napas panjang bercampur terkejut.

“Astaghfirullah…! Tapi bagaimana bisa? Dua hari yang lalu mobil itu baru saja diservis di bengkel langganan. Semuanya sudah dicek, mulai dari oli, mesin, sampai rem. Kata montirnya, mobil dalam kondisi sangat baik dan siap pakai perjalanan jauh.”

Sontak Naia tercekat terkejut mendengar perkataan dari Haji Abidin. Kelopak matanya melebar, menoleh ke arah Kadir dan Safar yang juga tampak kaget mendengar suara lantang Haji Abidin dari speaker ponsel.

“Jadi kalau begitu kenapa bisa blong begitu saja?” gumam Safar lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

Kadir mengusap wajahnya, masih susah percaya dengan apa yang barusan menimpanya.

“Mbak Naia, jangan-jangan kejadian yang kita alamin ini ada orang yang sengaja melakukannya berniat jahat kepada kita,” tebaknya Kadir.

Naia buru-buru memotong, meski hatinya juga didera ketakutan yang sama.

“Sudahlah, kita jangan berburuk sangka dulu. Yang penting sekarang kita sudah selamat. Nanti kalau sudah sampai rumah, kita ceritakan lebih lengkap ke Pak Haji.” ucapnya Naia yang tak ingin membuat kedua anak remaja itu semakin ketakutan dengan banyak kemungkinan yang bisa terjadi.

Namun di dalam hatinya, Naia tahu betul ada sesuatu yang janggal. Kata-kata Haji Abidin barusan membuatnya semakin resah dan seakan ada tangan tak terlihat yang ingin menyingkirkannya dari dunia ini.

“Ya Allah, apa ada hubungannya dengan Tuan Muda Atharva? Tapi, itu nggak mungkin karena Tuan Muda nggak tau aku saat ini tinggal dimana.” Batinnya Naia.

Haji Abidin masih terus berbicara di seberang, suaranya penuh kekhawatiran.

“Apa jangan-jangan ini ada kaitannya dengan pak Hadi yang kemarin aku tolak lamarannya di depan keluarga besarnya karena nggak mungkin Lampard asisten Tuan Muda Atharva yang melakukannya setelah aku mengetahui kalau villa mewah itu milik Tuan Muda Atharva,” monolog batinnya Naia.

“Nak Naia, kau harus hati-hati. Ini bukan kebetulan. Mobil itu sangat baik dan dalam keadaan normal waktu keluar dari bengkel, jadi bisa saja ada seseorang yang menyabotase rem mobil yang kamu pakai,” duganya Haji Abidin.

Belum sempat kalimat itu selesai, wajah Naia tiba-tiba memucat. Pandangannya berkunang-kunang, dunia terasa berputar.

Tangan yang menggenggam ponsel perlahan melemah, hingga akhirnya terlepas dan jatuh ke jok mobil.

“Mbak Naia!?” jerit Safar panik melihat tubuh Naia merosot ke setir.

Kadir langsung bereaksi, menopang bahu Naia sebelum kepalanya terbentur.

“Astaghfirullah… dia pingsan! Safar, cepat ambil air di jerigen kecil belakang, semprotkan ke wajahnya!”

Safar tergopoh-gopoh menuruti perintah dari sahabatnya itu, sementara suara Haji Abidin masih terdengar dari ponsel yang berserakan.

“Ada apa!? Kenapa tiba-tiba sunyi? Naia! Kadir! Safar! Jawab, Nak! Apa yang terjadi kepada kalian?” tanyanya Haji Abidin yang semakin panik mencemaskan anak angkatnya.

Kadir mengambil ponsel itu dengan tangan satunya, sambil tetap menyangga tubuh Naia.

“Pak Haji… Naia pingsan! Kami butuh bantuan, kami harus bagaimana?” tanyanya Kadir yang kebingungan.

Di seberang telpon, Haji Abidin menghela napas berat, suaranya bergetar menahan cemas.

“Bawa dia segera ke klinik terdekat! Jangan ditunda, Nak. Saya dan Ibu Wahidah akan menyusul kalian,” ujarnya Haji Abidin.

Safar menyiramkan air ke wajah Naia, tapi gadis itu masih terkulai dengan nafas terengah. Wajahnya pucat pasi, bulir keringat dingin membasahi pelipisnya.

Kadir menatap sahabatnya dengan panik. “Safar, cepat naik! Kita langsung ke klinik, jangan sampai terlambat!”

Safar yang cepat sadar berhenti sejenak,” Kadir, Kamu nyuruh aku jadi supir!? Apa kamu lupa kalau aku nggak pandai bawa motor.” Ketusnya Safar.

Kadir menyengir lebar saking terkejutnya sekaligus takut sampai-sampai melupakan kalau mereka berdua sama sekali tidak mahir mengemudikan roda empat.

Safar dan Kadir kebingungan, keduanya masih terlalu muda dan belum mahir menyetir mobil.

Beberapa detik telah berlalu, dengan nafas terengah-engah, mereka akhirnya sepakat untuk membawa Naia dengan cara bergantian menggendongnya.

Wajah Naia pucat pasi, bibirnya nyaris tanpa warna. Hijabnya sedikit miring, tergerai menutupi pipi.

Safar memeluk tubuh ringkih itu di punggungnya, berlari sempoyongan menuju arah puskesmas kecil yang berjarak sekitar dua ratus meter dari villa mewah tempat mereka tadi mengantar susu.

“Cepat, Far! Jangan sampai Mbak Naia terlambat ditangani!” teriak Kadir, yang ikut berlari di sampingnya sambil sesekali menahan lengan Safar.

Safar menggeram, menahan rasa lelah. “Aku kuat! Tapi kalau nanti kakiku lemas, kau harus gantian gendong, Dir!”

Sinar matahari sore menembus dedaunan, menciptakan bayangan panjang di jalan setapak menuju puskesmas.

Nafas keduanya tersengal, namun semangat mereka dipacu oleh rasa takut kehilangan Naia wanita muda yang sudah seperti kakak kandung bagi mereka.

Beberapa warga yang melihat langsung ikut membantu. “Astaghfirullah! Ada apa dengan teman kalian? Cepat bawa masuk!” seru salah seorang petugas puskesmas yang kebetulan berdiri di depan pintu.

“Mbak Naia pingsan,” jawabnya singkat Kadir.

Safar dengan sisa tenaga menyerahkan Naia ke perawat yang bergegas mendorong brankar darurat. Tubuh Naia terbaring lemah, kepalanya terkulai di samping, membuat Kadir menggenggam erat jemarinya seakan tak rela melepas.

“Mbak Naia bertahanlah jangan tinggalkan kami,” bisik Kadir dengan mata berkaca-kaca.

Pintu ruang tindakan segera ditutup rapat. Safar dan Kadir terengah di luar, saling pandang dengan wajah cemas. Detik itu, hanya doa yang bisa mereka panjatkan, sementara bayangan orang misterius yang bersembunyi tadi seakan masih menempel di benak mereka, menimbulkan rasa was-was yang tak bisa dijelaskan.

Di depan ruang tindakan puskesmas, Safar dan Kadir masih ngos-ngosan. Keringat bercucuran, kaos mereka basah menempel di badan.

Safar menjatuhkan diri ke bangku kayu panjang, lalu mendongak ke langit-langit sambil mengibas-ngibaskan kaosnya.

“Astaghfirullah… kayaknya paru-paruku pindah ke dengkul, Dir,” keluhnya.

Kadir yang juga duduk dengan napas terengah malah cengengesan mencoba mencairkan suasana.

“Paru-paru pindah ke dengkul apanya, Far. Itu perutmu yang pindah ke ubun-ubun. Tadi pas gendong Mbak Naia, aku dengar perutmu keroncongan keras sekali.” candanya Kadir.

Safar melotot, meski wajahnya masih lelah. “Heh, kau kira gampang gendong Mbak Naia? Beratnya kayak bawa satu karung pakan ayam, tau nggak!?”

Kadir menahan tawa, menepuk pundak Safar. “Ya jelas beda, Far. Mbak Naia itu wangi, sopan, cantik bukan kayak karung pakan ayam buu tengik.”

Meski situasi mencekam, keduanya spontan tertawa kecil, meski terdengar getir.

Seorang perawat yang lewat mendelik ke arah mereka. “Hei, kalian ini teman pasien, kan? Bisa diam sebentar? Jangan ribut di depan ruang tindakan!”

Safar dan Kadir saling pandang, lalu kompak menutup mulut dengan tangan, menahan tawa. Tapi beberapa detik kemudian, Kadir berbisik lirih.

“Far, kalau Mbak Naia sadar nanti kau duluan yang harus jelasin, ya.”

Safar mengernyit. “Jelasin apa?”

“Ya jelasin kenapa tadi aku jatuhin dia hampir nyungsep di jalan. Kalau aku yang ngomong, pasti aku disalahin. Mending kau aja.”

Safar langsung menepuk jidatnya keras-keras. “Astaghfirullah, Dir! Orang kita lagi panik, kau masih sempat mikirin siapa yang disalahin!”

Keduanya terdiam sesaat, lalu lagi-lagi cekikikan kecil meski jelas-jelas hati mereka masih cemas.

Pintu ruang tindakan berderit terbuka. Seorang dokter muda dengan jas putih rapi melangkah keluar sambil menunduk membaca berkas di tangannya.

Safar dan Kadir yang sedari tadi duduk tegang sontak berdiri bersamaan, begitu cepat sampai kursi kayu panjang itu terhentak ke belakang.

Mata mereka membelalak, wajah pucat, kaku seperti patung. Seolah-olah dokter itu membawa kabar dunia akhirat.

Safar buru-buru merapatkan kedua tangan di dada, menelan ludah keras-keras. Tubuhnya sedikit condong ke depan, kakinya kaku tak bergerak.

Kadir malah lebih parah, berdiri tegak dengan tangan lurus di samping badan, wajah serius setengah panik, bibirnya bergetar tanpa suara persis seperti murid SD dipanggil kepala sekolah karena ketahuan bolos.

Dokter baru saja mengangkat wajahnya, hendak membuka mulut, tapi Safar mendahului dengan suara nyaris berteriak.

“Dok…! Jangan bilang… jangan bilang Mbak Naia sudah tidak ada,” potong Safar.

1
Isma Isma
baguss Leni kasih tau niaa biar Ndak timbul masalah baruu 🥰🥰🥰🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: kan bagus kalau banyak fans 🤭🤣
total 1 replies
Hana Ariska
gak sabar nunggu kelanjutan nya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak.. insya Allah besok double update
total 1 replies
Milla
Pasti nyaaa anak buah tuan muda arthava 🤭 semangat up thorrr🙏🌹
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Belum tentu 🤭🤣
total 1 replies
Hijriah ju ju
sangat bagus menghibur
Marlina Taufik
seru ni di tunngu lanjut y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kak 🙏🏻🥰

insha Allah besok lanjut soalnya kalau malam mau jualan dulu cari tambahan penghasilan meski dikit ☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Milla
Lanjutt thorrr💪🌹
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah besok kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
Hijriah ju ju
sungguh miris kisah hidupmu
Rahmi Jo
kenapa nggak dibantu??
Hijriah ju ju
najong loh Arya
Rahmi Jo
kok bisa dahulu bisa jatuh cinta??
Hijriah ju ju
wajar dikasari
Uba Muhammad Al-varo
semoga semua usaha kamu berhasil Naia dan kamu bisa bangkit sementara Artharva menjalani kesembuhan, sebenarnya Artharva orang nya baik tapi caranya salah besar membuat Naia menderita dan kau Arya tunggu detik2 kehancuran mu
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: oh ho siap
total 3 replies
Uba Muhammad Al-varo
sungguh memilukan hidup mu Naia, semoga ditempat baru nanti hidup mu akan bahagia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: amin ya rabbal alamin
total 1 replies
Uba Muhammad Al-varo
ayo Naia pergi dari kampung mu,cari daerah/tempat untuk menata hidup mu lebih baik lagi dan bikinlah hidup mu dan anakmu kuat,agar bisa membalas semua perbuatannya si Arya
Uba Muhammad Al-varo
kenapa kejadian tragis hanya terjadi pada Artahrva seharusnya terjadi juga pada si Arya keparat
Siti Aminah
ceritanya bagus
AsyifaA.Khan⨀⃝⃟⃞☯🎯™
semoga bahagia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: amin ya rabbal alamin
total 1 replies
Ana Natsir
setuju
Ana Natsir
semoga nggak gila
Ana Natsir
sedih jdi mewek
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!