Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Anggota OSIS Irreplaceable mulai turun satu persatu, menggiring anak kelas 10 untuk segera berbaris menurut kelmpok masing-masing. Namun, di antara keramaian itu, Bia tak kunjung menemukan Abel. Padahal biasanya si cantik itu selalu menempel dengan Anjani seperti perangko surat.
"Abel mana, Jan?"
Anjani yang saat itu tengah memotret langsung menoleh. "Lah, gue, 'kan, motoran sama Chandra buat ambil dokumentasi, Pak. Si takobel-kobel bareng sama Dito kali, sesuai sama daftar pendamping peleton kemarin."
"Oh, oke."
Bian menyusuri keramaian itu. Ia yang telah sampai lebih dulu terpaksa mengecek isi bus satu persatu. Kedua tangannya otomatis terkepal ketika melihat Abel bersandar begitu nyaman di pundak Laksa. Yang dijadikan sandaran juga sempat menatap cukup lama, bahkan hampir menyelipkan rambut ke belakang telinga.
Sial! Seharusnya gue satu bus aja sama dia.
"Pak?" Dito menyapa dengan senyum tipis, paham betul ke mana Bian memandang.
"Suruh turun. Kalau mau mesra-mesraan jangan di acara gue. Nyampah!"
"Iya, iya, gue bangunin sekarang. Abel tuh sakit kepala makanya tidur di bahu Laksa."
Bian kembali ke tengah lapangan. Raut wajah yang terlihat semakin garang sempat menarik perhatian orang-orang, tak terkecuali bagi Anjani yang sempat diajak bicara.
"Mampus, bau-baunya bakal ada peperangan lagi nih," bisik Anjani sembari pura-pura menjepret momen.
"Baris sesuai kelompok masing-masing. Bagi temen-temen yang merasa kurang enak badan atau bahkan anggota tim tidak genap, silakan laporan ke OSIS."
"Siap."
"Perwakilan kelompok silakan mengambil tenda dan dan nomor urut lokasi. Tapi sebelum itu, kami akan menjabarkan apa saja kegiatan yang akan kita lakukan pada hari ini." Bian mengedarkan pandangan, berharap Abel akan segera muncul dan berhenti menempeli Laksa.
"Pertama. Lomba pembangunan tenda, di mana kekompakan dan kerja sama antar anggota sangat dibutuhkan di sini. Hias tenda secantik mungkin dan pastikan tetap nyaman untuk ditinggali. Kedua, perlombaan memasak. Setelah tenda selesai dibangun, mulai memasak untuk dilombakan dengan tim lain. Batas maksimal memasak sampai pukul 12.00. Lebih dari itu dianggap gagal. Pemenang dan kelompok terbaik akan diumumkan pada malam keakraban."
"Dua jam doang bangun tenda sama masak emangnya cukup?" seru seseorang.
"Cukup tidak cukup harus cukup," balas Evan. Dia berlalu lalang di belakang barisan. "Setelah perlombaan selesai, kalian bisa menikmati pemandangan sekitar sebelum jurit malam dilaksanakan."
"Langsung jurit malam, Kak?" tanya Clarista.
"Kenapa? Kamu keberatan?"
"Nanya doang, astaga. Kami, 'kan, enggak dikasih jadwal kegiatan selama kemping ini berlangsung. Jadi wajar dong kalau tanya terus."
"Setelah perlombaan masak selesai, tiap kelompok mengajukan dua orang untuk mencari kayu bakar—"
Bian segera turun dari atas podium, mengoper pengeras suara pada Evan setelah Abel datang. Abel ditariknya menjauh sekalipun harus diperhatikan orang-orang karena gerakannya cukupk kasar.
"Bian, lo mau bawa gue ke mana?!"
Abel sedikit terkesiap ketika Bian mendorong punggungnya ke batang pohon. Agak sedikit kasar seolah Abel baru saja melakukan kesalahan besar.
"Lo mau ngapain sih?" Abel berusaha mendorong, sayangnya Bian lebih dulu bertahan. "Dilihat sama anak-anak, Bi. Gila, ya, lo?!"
"Lo yang cari gara-gara sama gue." Bian mendorong dada Abel dengan lengan, berusaha mengunci agar Abel tak pergi ke mana-mana. "Gue udah bilang kalau hubungan kita lebih deket dibandingkan sama siapapun, tapi dari kemarin-kemarin agaknya lo sengaja cari masalah sama gue, ya?"
"Lo ngomong apa sih? Emang gue ngapain sampai lo berani giniin gue?"
"Lo ngapain?" Bian tertawa sarkas. Tangannya kini beralih pada dagu dan menekannya. "Gue nggak suka lo deket-deket sama Laksa."
"Lah, yang deket-deket sama Laksa juga siapa?" Abel menelengkan kepala. Setengah mengejek, setengah sarkas. "Gue deket sama semua anak gugus gue, kalau lo lupa. Abi, Bintang, Dipa, Dwiki ... yang gue perhatiin bukan Laksa doang. Kenapa tiba-tiba salahin Laksa cuma karena gue interaksi sama dia?"
"Karena lo cuma punya gue!"
Ketika wajahnya ditangkup dengan satu tangan, Abel malah terkekeh.
"Punya lo?"
"Semua orang juga tau lo punya siapa ... dan Laksa, dia nggak berhak deket-deket sama lo dengan gayanya yang sok cool itu. Kalau lo butuh perhatian, caper ke gue. Ngapain harus manja-manja sama dia dengan alasan sakit kepala?"
"Gue emang sakit kepala karena semalaman nggak bisa tidur, terus kalau bisa tidur di samping dia kenapa nggak? Banyak kegiatan yang harus kita lakukan nanti, kalau gue nggak fit, yang repot juga anak-anak lain, 'kan?"
"Lo selalu kasih alasan yang nggak masuk akal. Bilang aja lo emang mulai suka sama dia."
Abel mendengus, kali ini terang-terangan di hadapan Bian. "Kalau lo bela-belain nyeret gue ke sini cuma buat berantemin hal yang enggak jelas, mending cabut deh, Bi. Minggir! Gue mau gabung sama anak-anak."
Bian mendorongnya lagi, membuat kepala Abel terantuk batang pohon. "Kita belum selesai ngobrol."
"Selesai atau nggak selesai, gue bakal anggap ini selesai. Bi, kita tuh lagi jadi panitia acara gede, harus banget mempermasalahkan sesuatu yang nggak ada hubungannya sama kegiatan? Anak-anak dan semua orang yang ada di sini ngelihat lo sebagai contoh, bisa nggak mengutamakan yang penting-penting dulu? Jangan rewel, fokus kita harusnya ke kegiatan bukan ke hal-hal kayak gini."
Abel mendorong Bian cukup kencang. Rasanya begitu sebal karena kedatangannya harus disambut dengan pertikaian tidak penting ini.
"Awas aja kalau habis ini malah minta maaf pake suaranya yang sok lembut itu," dengusnya. "Bikin skandal, klarifikasi, minta maaaaf mulu. Udah kayak artis-artis di televisi itu."
"Bel, dari mana?" Anjani segera mendekat. "Heh, lu nggak diapa-apain sama Bian, 'kan?"
"Dipentokkin pala gue ke pohon."
"Hah?! Lu habis ngapain ege?"
"Kepala gue masih pusing. Jangan ribetin hal-hal yang enggak penting dulu kalau nggak mau gue caplok." Abel mengusap kepalanya, satu hal yang jadi perhatian Abi karena dua gadis itu sedang berdiri di tengah lapangan.
"Gue, 'kan, sayang sama lo." Anjani merangkul Abel dengan erat.
"PRET!"
"Ahahah, serius elah. Kalau ada yang cari gara-gara sama lo kasih tau gue aja, nanti gue habisin balik tapi bentar panggil Dito dulu."
"Nyebut Dito mulu, naksir, ya?"
"Pala lo!"
"Naksir juga nggak apa-apa kali, biar nanti bisa double date sama gue."
"Idih, kayak Laksa mau sama lo aja?"
Abel terkekeh. Di saat yang sama, ia tanpa sengaja bertatapan dengan Laksa.
"Ayo ngobrol sama gue."
"INI APALAGI SIH?!!"