____________________________
"Dar-Darian?" suaranya pelan dan nyaris tak terdengar.
"Iya, akhirnya aku bisa membalas kejahatan mu pada Nafisha, ini adalah balasan yang pantas," ucap Darian Kanny Parker.
"Kenapa?" tanyanya serak dengan wajah penuh luka.
"Kau tak pantas hidup Cassia, karena kau adalah wanita pembawa masalah untuk Nafisha," ujarnya dengan senyum sinis.
Cassia Itzel Gray, menatap sendu tunangannya itu. Dia tak pernah menyangka akan berakhir di tangan pria yang begitu dirinya cintai. Di detik-detik terakhir. Cassia masih mendengar hal menyakitkan lainnya yang membuat Cassia marah dan dendam.
"Keluarga Gray hancur karena kesalahan mu, Cassia! Aku lah yang membuat Gray bangkrut dan membuat kedua orang tuamu pergi, jadi selamat menemui mereka, Cassia! Ini balasan setimpal untuk setiap tetes air mata Nafisha," bisik Darian dengan senyum menyeringai!
DEG!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senjaku02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Langkah mereka bertiga bergema di lorong sepi, menuju ruang pribadi yang memang disediakan untuk membongkar rahasia berat dan keputusan penting. Udara tiba-tiba terasa dingin, berat, penuh dengan ketegangan yang menanti untuk terungkap.
Di ruang pribadi
Noah, Angela, dan Darian duduk saling berhadapan. Raut wajah mereka serius apalagi ekspresi Noah dan Angela soal ada masalah besar yang terjadi.
" Darian, apa yang sebenarnya telah kamu lakukan?" Tanya Noah menatap tajam putranya.
" Maksud ayah apa? Aku nggak paham." Ucap Darian bingung dengan pertanyaan yang di lontarkan sang ayah padanya.
“Jangan bodoh! Kamu pasti paham maksud ayah,” suara pria itu meninggi, membakar ruang kecil itu dengan kemarahan yang hampir meledak.
“Berapa kali sudah kami peringatkan, jauhi Nafisha! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu terus membela perempuan itu, mengabaikan tunanganmu sendiri, dan menghancurkan hati orang-orang yang peduli padamu!”
Darian mengangkat dagu, napasnya memburu, menyanggah dengan getir, “Ayah tahu aku tak pernah suka Cassia. Tapi kalianlah yang memaksa pertunangan ini. Kalian tak pernah peduli dengan perasaanku, sama sekali!”
Suara ayahnya berubah menjadi lebih keras, penuh dendam dan kecewa, “Bagus! Sekarang sudah berani bicara seperti itu, sok jago! Perempuan itu memang membawa racun dalam hidupmu. Kau hanya membiarkan dirimu tenggelam dalam kebodohan!”
Seketika, kata-kata itu menusuk seperti pisau, membelah keheningan yang ada mengoyak perasaan Darian yang tersudut antara harapan dan penderitaan.
" Nafisha bukan perempuan seperti itu, dia perempuan baik-baik. Ayah tidak tahu apa-apa tentang nya." Sanggah Darian tak terima.
Noah tertawa sinis mendengar ucapan putranya yang membela perempuan itu dengan sebegitunya.
" Heh... Kamu yakin tahu perempuan itu dengan baik. Jangan terlalu percaya diri." Ledeknya menatap Darian dengan tatapan meremehkan.
" Yakin." Jawab Darian tegas.
Noah tidak lagi berkata apapun lagi, ia memilih diam, begitu juga dengan Angela. Yang pasti mereka akan mencari bukti bahwa perempuan itu bukan perempuan baik-baik.
“Darian... Cassia memutuskan membatalkan pertunangan kalian. Orang tuanya sendiri yang menyampaikan keputusan itu.” Angela menghela napas, suaranya lembut namun menusuk, memecah keheningan yang membeku di antara mereka.
Darian terpaku, dadanya seolah dihantam badai mendadak. Tak percaya, matanya membelalak menahan gelombang amarah dan sesal yang bercampur menjadi satu. Ia menggelengkan kepala dengan keras,
“Tidak mungkin... Cassia, yang selama ini aku tahu, cinta mati padaku. Ini pasti trik dia, sebuah sandiwara yang sengaja dibuat.” Suaranya pecah, namun masih diselimuti keraguan dan kepedihan.
Noah dan Angela saling bertatapan, kebingungan menyelimuti raut wajah mereka. Mereka tahu betul sikap acuh Darian selama ini terhadap Cassia begitu dingin dan tak peduli.
“Ini kenyataan, Darian. Semua ini akibat pilihanmu sendiri. Mulai sekarang, kalian benar-benar berpisah. Tidak ada lagi ikatan, bahkan dalam nama sekalipun.” Suara Noah mengeras, penuh beban. “Dan kamu sudah tahu konsekuensi dari keputusan ini kerjasama perusahaan kita dengan keluarga Cassia harus berhenti. Apa yang akan terjadi pada perusahaan kita, semua itu kamu pasti tahu.”
Kata-kata itu bagai palu godam yang menghantam dada Darian, meninggalkan kehampaan yang dingin dan peringatan keras akan masa depan yang suram.
Mereka meninggalkan Darian sendiri di kegelapan malam yang sunyi. Seolah langit pun turut bersedih, menutup wajahnya tanpa bintang sedikit pun yang menemani.
Kesunyian mencekam itu menelusup ke setiap sudut hati Darian, memaksa pikirannya bertarung mencari jawaban di tengah keheningan yang hampa dan membekukan. Malam ini, dunia seolah membeku kosong, dingin, dan penuh luka.
...****************...
Pagi itu merekah dengan sinar matahari yang menari-nari lembut di antara dedaunan. Kicauan burung bergema, mengisi udara dengan lagu ceria yang membangunkan bumi dari mimpi malamnya.
Embun yang melekat di ujung daun berkilau seperti permata, seakan menyimpan rahasia keindahan pagi yang penuh harapan.
Hawa dingin menggigit ringan, tapi sinar hangat mentari membelai kulit, menyambut setiap jiwa yang mulai berjuang dan melangkah ke hari baru.
Suara mesin kendaraan meraung bagaikan orkestra liar yang menguasai jalanan, bergemuruh dan bersahutan tanpa henti.
Di sela hiruk-pikuk itu, teriakan para penjual yang menggema menyeruak ke telinga, menggugah jiwa-jiwa yang masih enggan membuka mata dari pelukan malam. Suara mereka bukan sekadar panggilan dagang, tapi jeritan hidup yang memecah kesunyian pagi.
Tok... tok... tok...
denting pelan di pintu kamar seolah memanggil jiwa yang terlelap terlalu dalam. "Cassia, sayang! Bangunlah! Matahari sudah tinggi, nanti kamu terlambat sekolah, lho!" suara Margaretha menggelegar dari balik pintu, berusaha mengusir kantuk yang membelenggu putrinya.
Dari balik selimut tebal, terdengar suara pelan dan serak, khas seseorang yang baru saja terlepas dari pelukan mimpi. "Iya, Mi... aku sudah bangun..."
Namun, nada itu hanya seperti bisikan yang terhambat oleh rasa malas dan kenyamanan hangat di balik kain selimut.
Margaretha menghela napas panjang, matanya menggeleng lemah, tak sanggup lagi melawan kebiasaan pagi putrinya itu. "Ya sudah, buruan! Yang lain sudah menunggu di bawah untuk sarapan."
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi, kembali tenggelam dalam rutinitas pagi yang tak ada habisnya rutinitas yang tak pernah lelah mengisi hari seorang ibu rumah tangga.
Suara pintu terbuka dari dalam menandai berakhirnya percakapan pagi itu. Meninggalkan cassia yang saat ini tengah berada di kamar mandi dengan malas-malasan.
...****************...
Senin pagi, tepat pukul 07:00
Seluruh keluarga Gray berkumpul di meja makan dengan suasana hening. Sarapan mereka sederhana: sandwich dan segelas susu, tapi suasana sepi itu bukan tanpa makna.
Tak satu pun suara riuh terdengar, hanya detak jam yang berlari cepat, mengingatkan mereka pada waktu yang kian menipis.
Setelah selesai menghabiskan makanan, Thomas menatap putrinya, Cassia, dengan sorot mata penuh arti sebelum mengumumkan sesuatu yang telah lama ditunggu.
"Cassia, permintaanmu untuk membatalkan pertunangan dengan Darian sudah kami sampaikan. Sekarang, ikatan itu resmi terputus," katanya dengan suara lembut tapi tegas, seolah membebaskan beban berat yang selama ini membelenggunya.
Cassia menarik napas dalam, senyum kecil mengembang di bibirnya. "Terima kasih, Pi." ucapnya lirih, sebelum mencium hangat pipi sang ayah.
Tak lupa, cassia juga memberikan kecupan di pipi sang mami, menumpahkan cinta dan dukungan tanpa kata-kata.
Thomas dan Margaretha bertukar pandang, senyum mereka mengembang penuh kelegaan. Kebahagiaan Cassia jauh lebih berharga dari apa pun di dunia ini.
Di momen itu, segala kegelisahan dan kepedihan menguap, digantikan oleh harapan baru yang mulai menyala di hati mereka.
Kemudian Thomas berangkat ke kantor setelah memberi perpisahan manis kepada sang istri dan kedua anaknya.
Setelah ayahnya berangkat ke kantor, Cassia dan Vladimir bersiap-siap di pintu. Cassia merapikan tasnya, matanya sesekali melirik ke arah ayah yang telah jauh melangkah.
Vladimir menarik nafas panjang, seolah menahan rasa malas pagi itu. "Mi, kami berangkat dulu ya," ucap mereka serempak dengan suara sedikit berdebar, berharap tak membuat sang ibu sibuk.
Margaretha mengangguk sambil tersenyum tipis, matanya penuh perhatian tapi tetap melepas mereka pergi.