‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11 : Aku tahu diri
“Apa pangkatnya?” Amran menekan tombol off pada alat treadmill. Keringat pada leher, dada bercucuran mengalir ke bawah masuk ke dalam sana.
"Baru saja diangkat menjadi mandor lapangan, Tuan.” Randu memberikan handuk bersih.
Amran mengelap keringat pada bahu dan perut yang keras bak tanah liat. “Apa informasi ini valid?”
“Pak Bondan mendengar langsung dari beberapa rekan kerja Nyonya muda. Mereka terlihat sering bercengkrama di sela-sela jam istirahat sambil menikmati makan siang. Dan ….” ragu-ragu dia ingin mengutarakan.
“Katakan saja!” Dibukanya tutup botol minum, lalu meneguk air putih.
“Hampir setiap hari, Nyonya muda membawakan bekal makanan.”
“Dasar melarat! Dia menjadikan wanita itu seperti rumah makan gratisan, dimana letak kejantanannya?” Amran mendengus.
“Apa saya perlu bertindak, Tuan? Menurunkan jabatan, ataupun memecatnya?”
Amran menatap serius sang asisten yang berdiri setengah meter darinya. “Mengapa harus dipecat? Apa kinerjanya buruk?”
Randu menggeleng, menyadari bila sang tuan belum berubah. Anti mencampuradukkan pekerja dengan masalah pribadi. “Saya pikir dia sudah kelewatan, menggoda wanita telah bersuami, terlebih itu istri anda, Tuan.”
Suara tawa lirih terdengar sumbang. “Tak ada yang salah dengan cinta, siapa saja bisa merasakannya dan berhak memiliki perasaan itu! Jadi, untuk apa dipermasalahkan. Toh, hubungan kami hanyalah bersifat sementara.”
Handuk dalam genggamannya di buang ke lantai, dia keluar dari ruang olahraga dengan rahang mengetat.
Randu tidak jadi meneruskan laporan, dikarenakan sang tuan terlihat tidak berminat, dan seperti tak memiliki rasa cemburu.
Namun, di lantai bawah terdengar pekikan penolakan.
“Sayang, mengapa tiba-tiba?!” Masira berkacak pinggang, dia kesal bukan main.
“Bila kau keberatan, tinggallah lebih lama lagi di sini. Besok pagi, saya tetap kembali ke perkebunan.” Amran berbalik badan, tidak menghiraukan rengekan sang istri pertama.
“Mas, aku ada janji arisan dengan teman-temanku. Bukankah sebelumnya kita sudah sepakat kalau minggu depan baru pulang ke perkebunan? Ini belum ada dua hari, mengapa sibuk ingin kembali?!” Kakinya menghentak lantai, sang suami benar-benar tidak peduli pada protesnya.
“Apa ada masalah di perkebunan, Randu?” tanyanya saat melihat asisten Amran turun ke lantai satu hunian keluarga Tabariq.
Randu mengangguk. “Ada Nyonya, dan harus segera diatasi.”
“Sialan!” Masira menghempaskan bokongnya ke sofa empuk. Dia terus menggerutu. “Yang ada di otak Mas Amran cuma pekerjaan saja.”
Terlihat raut enggan, dan dia telah memutuskan untuk tinggal lebih lama di kota. Kebetulan kedua mertuanya sedang pelesiran ke luar negeri.
.
.
“Yu, bolehnya aku nanya?” Nelli memukul buah sawit masak hingga mengeluarkan minyak. Lalu memasukkan ke dalam perangkap ikan terbuat dari anyaman kawat.
Dahayu mengangguk, ia sedang menusuk anak Kodok bancet ke mata kail, untuk umpan mancing ikan gabus. “Katakan saja!”
“Sebentar, ku pasang dulu bubu ikan ini!” Dia berjalan di atas batang pohon yang terendam air, lalu memasukkan perangkap ikan, dan talinya disangkut ke ranting kuat.
Saat sudah duduk di tepi sungai mati, yang terletak di belakang perumahan kebun afdeling lima – ia mulai mengajukan pertanyaan kepada sahabatnya.
“Apa rasa sukamu ke mandor Wisnu sudah di tahap cinta, Yu? Sehingga dirimu rela mengabulkan hampir setiap keinginannya. Seperti ini contohnya; Saat dia ingin makan Ikan gabus, kau langsung mengusahakannya, padahal badanmu pasti lelah setelah bekerja keras.”
Dahayu tersenyum hambar, dia menghela napas panjang. “Apa menyukai seseorang itu adalah tindakan kriminal, Nelli?”
“Tidak. Cuma ….” ia bingung ingin menjelaskan.
“Kau tenang saja! Aku hanya menyukainya dalam diam, bila pun rasa ini sudah naik tingkat menjadi cinta – tak perlu dirimu cemas. Aku tahu diri, dan tak semua cinta itu harus memiliki. Cukup melihatnya bahagia, maka ku usahakan ikut tersenyum meskipun bukan aku alasan dibalik tawanya.” Dayu melemparkan mata kail ke dalam air.
“Kami bagaikan langit dan bumi, Nell. Sehingga sebelum jatuh ke jurang patah hati, diri ini sudah memasang tembok tinggi. Agar tak serakah ingin memiliki sesuatu yang di rasa mustahil untuk disatukan. Dia dari keluarga berada, kedua orang tuanya pensiunan PNS. Abang dan kakaknya seorang polisi dan pegawai pengadilan. Lucu rasanya kalau aku berani berharap lebih dari sekedar diam-diam mengagumi.” Dahayu menatap jauh pada hamparan tumbuhan air.
“Maaf, aku tak bermaksud menyinggung mu. Sebagai saudara dan sahabat, cuma ingin mengingatkan!” Dirangkulnya bahu Dahayu.
“Aku paham.”
‘Dan sangat sadar diri, tak boleh berharap lebih, berandai-andai, apalagi terang-terangan menunjukkan rasa suka itu. Biarlah cukup aku dan Tuhan yang tahu, sedalam apa namanya bersemayam di hati ini.’
Dahayu tidak mengalami yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia menyukai Wisnu dikarenakan ada pemicu nya, bukan karena fisik si pria terlihat gagah dan lumayan tampan, bukan pula silau oleh latar belakang pemuda berumur 26 tahun itu.
“Eh … eh … pancingnya jatuh, Nell!” teriak Dahayu, dia berjongkok. Langsung saja Nelli menahan tangan sahabatnya agar tidak tercebur.
Joran pancing pun bisa teraih, dan ternyata ada ikan gabus sebesar lengan bayi gemuk yang memakan umpan.
Kedua wanita seumuran itu tertawa, kembali mereka memancing. Tak perlu waktu berjam-jam, hasil pancingan sudah lumayan banyak, cukup untuk lauk seharian.
.
.
Keesokan harinya.
“Mas, besok pesan menu sambal Belut ya. Aku lagi pengen makan itu.” Nafiya menjilati jemari yang terdapat bumbu kental gulai ikan.
“Kau makin hari, bertambah menggemaskan saja, Sayang.” Dipungut nya sebutir nasi yang menempel pada sudut bibir sang kekasih. “Tenang saja, dia selalu menuruti keinginanku!”
Nafiya tersenyum puas. ‘Dasar Dungu! Kau berusaha begitu keras untuk menyenangkan pria dambaanmu, tanpa dirimu tahu – dibalik semua keinginan Mas Wisnu adalah ideku.’
Wisnu Syahputra dan Nafiya – sedang berada di gubuk yang diperuntukkan sebagai tempat mandor memantau para pekerja. Mereka tengah menikmati menu hasil olahan tangan Dahayu.
***
Sore hari, Dahayu dipanggil untuk datang ke hunian villa bukit.
Wiwin yang mendatangi rumah Dahayu, menyampaikan keinginan sang tuan yang sudah sedari pukul 10 pagi tiba di villa.
Setelah membersihkan diri, putri bu Warni pergi sendirian. Dia menitipkan sang ibu kepada Mak Rita, dan juga ayah Jefri serta Nelli.
Dahayu menaiki motor bututnya. Tak ada perasaan gugup, takut, apalagi senang kala ingin bertemu sosok suaminya.
Saat tiba di gerbang yang dijaga empat orang security – Dahayu mendapatkan perlakuan berbeda dan istimewa. Tundukan rasa hormat yang menggelitik rasa penasarannya, tapi dia enggan bertanya.
.
.
Baru saja dirinya memasuki bagian depan bangunan rumah tingkat dua, sudah disambut suara bernada bass, sarat pemaksaan menolak kalimat bantahan.
"Mulai besok, berhentilah bekerja diperkebunan! Fokus pada perjanjian awal kau menerima pernikahan kita. Sudah waktunya dirimu hamil."
.
.
Bersambung.
tiap karyamu selalu ku pantau ☺️😍