NovelToon NovelToon
Istri Pesanan Miliarder

Istri Pesanan Miliarder

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Zayn Alvaro, pewaris tunggal berusia 28 tahun, tampan, kaya raya, dan dingin bak batu. Sejak kecil ia hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani kesepian dan harta yang tak ada habisnya. Cinta? Ia pernah hampir percaya—tapi gadis yang disayanginya ternyata ular berbisa.
Hingga suatu hari, asistennya datang dengan tawaran tak terduga: seorang gadis desa lugu yang bersedia menikah dengan Zayn… demi mahar yang tak terhingga. Gadis polos itu menerima, bukan karena cinta, melainkan karena uang yang dijanjikan.
Bagi Zayn, ini hanya soal perjanjian: ia butuh istri untuk melengkapi hidup, bukan untuk mengisi hati. Tapi semakin hari, kehadiran gadis sederhana itu mulai mengguncang tembok dingin di dalam dirinya.
Mampukah pernikahan yang lahir dari “pesanan” berubah menjadi cinta yang sesungguhnya? Ataukah keduanya akan tetap terjebak dalam ikatan tanpa hati?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Patuh pada suami

Sinar mentari pagi menyelinap dari celah tirai, mengenai wajah pucat Alisha yang masih terbaring. Perlahan kelopak mata indah itu terbuka. Namun saat ia menyadari sesuatu—bahwa tubuhnya berada di bawah selimut besar, hanya sehelai kain itu yang memisahkan dirinya dan Zayn yang juga tertidur di sisinya, ia sontak berteriak keras.

“AAAAAHHH!!”

Teriakan itu membuat Zayn tersentak bangun. Tubuhnya tegak seketika, rambutnya berantakan, wajahnya pucat karena terkejut. “Alisha?!”

Mata Alisha membelalak. Nafasnya tersengal, tangannya buru-buru merapatkan selimut ke dada. Ia menatap Zayn penuh shock. “K-kenapa aku… kenapa kita… satu selimut… tanpa pakaian?!”

Zayn spontan ikut melihat dirinya sendiri. Benar ternyata, ia hanya memakai celana panjang, bagian atas tubuhnya telanjang. Ia menelan ludah, wajahnya berubah kaku. Sial… dari luar memang terlihat… ah sudahlah.

Alisha menutup mulut dengan telapak tangan, matanya berkaca-kaca. “Kau… kau sudah… sudah melakukan itu padaku?!” suaranya bergetar, penuh tuduhan dan ketakutan.

“Tidak!” Zayn segera menggeleng cepat, tangannya terangkat seakan membela diri. “Aku tidak menyentuhmu dengan cara itu. Aku bersumpah, Alisha!”

Tapi Alisha tak bisa langsung percaya. Air matanya jatuh seketika, suaranya pecah. “Lalu kenapa begini?! Kenapa aku tidak pakai apa-apa selain selimut?! Kau pikir aku bisa percaya?!”

Zayn ikut kalut. Ia maju setengah langkah lalu berhenti, tak berani terlalu dekat. “Kau menggigil semalaman! Arvin menyarankan skin-to-skin untuk menghangatkanmu. Aku terpaksa melakukan itu, aku hanya ingin menyelamatkanmu, Alisha. Demi Tuhan, aku tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan.”

Namun wajah Alisha sudah basah dengan air mata. Ia memeluk dirinya erat, masih gemetar. Benaknya dipenuhi ketakutan dan rasa malu. Dari sudut pandangnya, bukti-bukti terlalu jelas: tubuhnya dan tubuh Zayn yang sama-sama tanpa pakaian atas, satu selimut, satu ranjang.

Keduanya terjebak dalam kebisuan penuh sesak.

Akhirnya, dengan suara lirih namun tegas, Alisha berkata, “Tolong… jangan lihat aku. Bangun duluan. Pergi.”

Zayn terdiam. Dadanya terasa ditusuk-tusuk, tapi ia menurut. Perlahan ia bangkit, mengambil kemeja yang tergeletak di kursi, lalu melangkah ke toilet luar tanpa menoleh lagi.

Alisha menutup matanya rapat-rapat sampai suara pintu kamar terdengar tertutup. Baru setelah itu ia menarik napas berat, buru-buru bangkit, lalu berlari kecil menuju toilet sambil menahan isak. Di dalam, ia menjatuhkan diri di bawah pancuran, air mengalir deras membasahi tubuhnya.

“Dasar pria gila… seenaknya saja…” gerutunya pelan sambil menyeka wajah. “Mencuri kesempatan dalam kesempitan!”

Meski hatinya sendiri bimbang—karena ia masih mengingat samar-samar hangat pelukan Zayn yang begitu nyata semalam.

.....

Sementara itu, di lantai bawah, Zayn duduk di sofa dengan wajah kusut. Rambutnya masih basah karena baru membasuh muka. Arvin masuk sambil membawa segelas kopi.

“Bagaimana Tuan, Nyonya sudah bangun?” tanya Arvin polos, meski matanya berkilat-kilat menahan tawa.

Zayn meliriknya tajam. “Dia pikir aku… aku… melakukan hal itu padanya.”

Arvin tak tahan lagi. Ia menutup mulut, tapi suara cekikikan tetap bocor. “Hahaha… maaf, Tuan. Situasinya memang… memang terlihat begitu.”

“Diam, Arvin!” Zayn membentak, wajahnya memerah, entah karena malu, marah, atau campuran keduanya. “Jika bukan karena saran bodohmu, aku tak akan ada di posisi ini!”

Arvin buru-buru menunduk, menahan tawa keras-keras. “Tapi… setidaknya Nyonya masih hidup, kan?” ujarnya sambil menyeringai nakal, terlihat menyebalkan di mata Zayn.

Zayn menutup wajah dengan kedua tangannya, menghembuskan napas panjang. Untuk pertama kalinya, pria sekuat dirinya merasa benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

Tak lama, terdengar suara langkah kaki yang teratur. Zayn dan Arvin sontak menoleh ke arah tangga. Disana, Alisha sudah menatap mereka dengan tatapan tidak senang.

"Tuan, lihatlah," ucap Arvin.

"Diam." timpal Zayn tanpa menoleh.

.....

Alisha akhirnya duduk di kursi meja makan. Aroma sup hangat dan roti panggang memenuhi ruangan, namun perutnya terasa kaku. Zayn duduk di seberangnya, sementara Arvin sudah menghilang entah kemana, jelas sengaja memberi ruang bagi mereka berdua.

Sendok bergesekan dengan piring, hanya itu suara yang terdengar. Alisha menunduk, berusaha fokus pada makanan, walau sejak tadi ia tak benar-benar tak bisa menelan dengan tenang. Sementara Zayn mencuri pandang sesekali, seakan mencari celah untuk membuka percakapan.

“Supnya masih panas, hati-hati,” ucap Zayn akhirnya.

Alisha meneguk airnya pelan. “Aku bisa menjaga diriku sendiri,” balasnya singkat.

Suasana kembali hening. Namun saat Alisha mulai berdiri setelah menyelesaikan setengah porsinya, Zayn menatapnya penuh tanya.

“Mau kemana?”

“Ke rumah sakit,” jawab Alisha mantap, menatapnya sejenak. “Aku ingin melihat Bima. Dia pasti mencariku.”

Kepala Zayn langsung menggeleng. “Tidak. Kau baru saja pulih dari demam tinggi. Kau butuh istirahat, Alisha.”

“Tapi aku baik-baik saja sekarang!” Alisha menaikkan suaranya sedikit, lalu menarik napas dalam-dalam. “Aku tidak bisa tenang di sini sementara adikku sendirian di rumah sakit. Aku harus ke sana.”

Zayn mengusap wajahnya, jelas dilema. “Aku tidak bisa membiarkanmu memaksakan diri. Semalam aku melihat sendiri betapa lemahnya kau.”

Alisha terdiam sejenak, sorot matanya meredup. Namun keteguhan tak berubah. “Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Setelah itu aku akan kembali dan beristirahat. Tolong, jangan larang aku.”

Keheningan panjang melingkupi ruangan. Zayn menatap dalam sorot teduh Alisha, mencari kebohongan, tapi yang ia temukan hanyalah ketulusan bercampur rasa sayang seorang kakak pada adiknya. Perlahan, Zayn mengembuskan napas berat.

“Baiklah,” ucapnya akhirnya, suaranya lirih namun tegas. “Tapi dengan satu syarat: jangan lama. Kau hanya menjenguk sebentar, lalu pulang. Dan aku yang akan mengantarmu.”

Mata Alisha sedikit melembut, tapi ia masih menyembunyikan rasa terima kasih itu dengan mengalihkan pandangan. “Baik. Aku janji tidak akan lama.”

Zayn menunduk sebentar, lalu kembali menatapnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang lega, meski juga khawatir. Kenapa aku tidak bisa menolak dia sama sekali?

Sementara itu, Alisha menahan gejolak di dadanya sendiri. Ia tidak ingin mengakui, tapi sikap Zayn yang akhirnya mengalah justru membuat hatinya sedikit bergetar.

.....

Setelah sarapan yang kaku itu, Zayn bangkit lebih dulu dari kursinya. Ia berjalan ke arah ruang wardrobe di lantai bawah, mengambil jaket tebal berwarna krem, lalu kembali menghampiri Alisha yang sedang membereskan piringnya.

“Pakai ini,” ujarnya singkat sambil menyodorkan jaket.

Alisha mengangkat alis. “Aku sudah pakai sweater, tidak perlu pakai jaket.”

Zayn mendesah, wajahnya kaku namun matanya penuh kekhawatiran. “Semalam kau hampir menggigil sampai tak sadar. Aku tidak mau ambil risiko.”

Alisha terdiam sejenak, lalu mendecak pelan. “Terserah,” gumamnya, meski tangannya tetap meraih jaket itu. Ia mengenakannya tanpa protes lebih lanjut, lalu berdiri.

Ketika ia hendak melangkah ke arah pintu, Zayn menahan pergelangan tangannya dengan lembut. “Sepatumu mana? Jangan bilang mau pakai sandal rumah?”

Alisha menghela napas, setengah kesal setengah geli. “Aku tahu, aku bukan anak kecil.”

“Jika kau tahu, turutilah,” balas Zayn tanpa melepas genggamannya. Ada ketegasan yang tak bisa dilawan.

Alisha akhirnya berjalan kembali ke ruangan wardrobe untuk mengganti alas kaki dengan sepatu sneakers yang lebih tertutup. Saat ia keluar, Zayn sudah berdiri di depan pintu dengan kunci mobil di tangan.

Arvin yang sedari tadi memperhatikan dari dapur hampir tak bisa menahan tawanya. “Tuan, ini lebih mirip bapak dan anak remaja yang mau jalan daripada suami-istri,” celetuknya.

Tatapan tajam Zayn langsung membuat Arvin pura-pura sibuk mengambil cangkir kopi. Alisha sendiri menggigit bibir menahan senyum kecil, meski buru-buru menghapusnya agar tidak ketahuan.

Zayn berjalan lebih dulu, kemudian ia menghentikan langkahnya, menunggu Alisha lewat. “Ayo. Jangan banyak alasan lagi.”

Alisha melangkah keluar, udara pagi yang masih dingin menyapa wajahnya. Ia bisa merasakan jarak tubuh mereka yang dekat, Zayn mengekor di belakangnya setelah Alisha melangkah. Hatinya berdebar, meski ia buru-buru menyibukkan diri dengan merapihkan lengan jaket.

Saat tiba di mobil, Zayn bahkan mendahului membuka pintu penumpang. “Masuk.”

Alisha menatapnya sejenak, lalu menggeleng kecil. “Kau ini… terlalu berlebihan.”

“Terlalu peduli, maksudmu,” sahut Zayn datar, sebelum menunggu sampai ia duduk dengan nyaman dan pintu tertutup rapat.

Alisha terdiam. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras daripada yang ia kira.

Di dalam mobil, suasana sempat hening. Hanya suara mesin dan musik instrumental lembut dari radio yang terdengar. Zayn menyetir dengan wajah serius, sesekali melirik ke arah Alisha yang duduk bersandar di kursi penumpang dengan tangan terlipat di dada. Di belakang mereka, mobil lain mengekor, bodyguard senantiasa menemani meski Tuan mereka tetap menyetir sendiri.

“Kau masih marah?” tanya Zayn pelan, tanpa menoleh.

Alisha mendengus. “Harusnya aku marah, tapi aku terlalu lelah untuk itu.”

Zayn mengerling sebentar, lalu menghela napas panjang. “Aku melakukannya demi kau. Jika kau sakit lagi, aku yang repot. Jangan keras kepala.”

Alisha menoleh cepat. “Jadi semua ini hanya karena kau tidak mau repot?” Nada suaranya meninggi.

Zayn mendadak diam, menyadari kalimatnya terdengar salah. Ia menggertakkan giginya sebentar, lalu memperbaiki ucapannya. “Maksudku… aku tidak ingin melihatmu sakit lagi. Itu saja.”

Alisha tertegun. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, menyembunyikan rona merah di pipinya. “Kau benar-benar menyebalkan.”

Senyum samar muncul di sudut bibir Zayn. Ia tidak membalas, memilih kembali fokus pada jalan. Namun dari sudut matanya, ia tahu Alisha tidak benar-benar marah.

.....

Setibanya di rumah sakit, Zayn turun lebih dulu lalu berjalan mengitari mobil untuk membukakan pintu bagi Alisha. Wanita itu menghela napas, antara kesal dan kikuk. “Aku bisa buka pintu sendiri.”

“Aku tahu. Tapi aku mau lakukan ini,” jawab Zayn singkat.

Alisha terdiam, tak menemukan balasan yang tepat. Ia hanya menunduk sedikit dan melangkah masuk ke lobi rumah sakit.

Namun langkahnya terhenti ketika sosok yang familiar muncul dari arah berlawanan. Clarissa.

Wanita itu terlihat elegan seperti biasa dengan blazer hitam dan high heels. Matanya langsung menangkap pemandangan Zayn dan Alisha yang berjalan beriringan.

“Zayn?” Clarissa bersuara, nadanya kaget sekaligus dingin. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Zayn menegakkan tubuhnya, wajahnya datar. “Menemani Alisha menjenguk adiknya.”

Mata Clarissa beralih cepat ke arah Alisha, meneliti dari ujung kepala hingga kaki, lalu menyipit penuh ketidaksenangan. “Oh… jadi ini alasan kau jarang menjawab telepon belakangan ini?”

“Itu bukan urusanmu,” Zayn memperingatkan, suaranya rendah.

Namun Clarissa justru mendengus kecil. “Aku hanya heran… kau, Zayn yang dingin, bisa serajin ini mengantar seorang wanita ke rumah sakit. Menarik sekali.” Tatapannya menusuk ke arah Alisha.

Alisha menggigit bibir, tangannya mengepal. Ada perasaan terhina yang sulit ia sembunyikan, tapi sebelum ia sempat membuka suara, Zayn sudah berdiri sedikit di depannya, seakan menjadi tameng.

“Cukup, Clarissa. Urusanmu di sini apa?” Zayn bertanya tegas.

Clarissa tersenyum sinis. “Bukan urusanmu. Tapi jelas aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini.” Ia menekankan kata kalian dengan penuh penekanan.

Alisha menunduk, memilih diam. Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu ini bukan terakhir kalinya Clarissa akan muncul.

.....

Zayn membuka pintu ruang rawat dengan hati-hati, membiarkan Alisha masuk lebih dulu. Aroma khas rumah sakit langsung menyapa, bercampur dengan suara mesin monitor yang berdetak pelan.

Di ranjang, Bima masih tertidur dengan infus menempel di tangannya. Wajahnya tampak pucat, namun napasnya teratur. Namun tak lama Bima terbangun, senyum di bibir nya yang pucat terpatri.

Alisha mendekat perlahan, duduk di kursi samping ranjang. Jemarinya mengelus lembut tangan sang adik. “Bim… Mbak di sini,” bisiknya lirih, matanya berkaca-kaca.

Zayn berdiri tidak jauh di belakangnya, memperhatikan tanpa berkata apa-apa. Ada keteduhan dalam sorot matanya saat melihat Alisha begitu penuh kasih terhadap adiknya.

Satu jam berlalu, hanya diisi oleh keheningan dan sesekali suara lirih Alisha yang berbicara dengan Bima meski adiknya itu tidak sepenuhnya merespon, ia hanya beberapa kali berbicara, lebih banyak tersenyum untuk menanggapi.

Hingga akhirnya, Alisha bangkit dari kursi, menoleh pada Zayn. “Aku mau pulang,” ucapnya pelan, setelah memastikan Bima kembali tidur, efek kantuk dari obat yang di minumnya sudah bekerja.

Zayn sempat terkejut. Alisnya terangkat, ekspresinya jelas tak menyangka. “Apa kau yakin? Kau baru saja datang.”

Alisha mengangguk mantap. “Aku sudah cukup. Kau benar… aku masih harus istirahat. Jika aku sakit lagi, siapa yang akan menjaga Bima?”

Untuk pertama kalinya, Zayn benar-benar terdiam, bahkan sedikit tercengang. Ia menatap Alisha lekat-lekat, seakan mencari tanda apakah wanita itu serius atau hanya basa-basi. Namun wajah Alisha begitu tulus dan sungguh-sungguh.

Zayn akhirnya tersenyum samar, ekspresi yang jarang ia tampilkan. “Baiklah, kita pulang.”

Alisha menoleh sekali lagi pada Bima, mengecup kening adiknya, lalu berjalan ke arah pintu. Zayn berjalan di sampingnya, tanpa komentar lebih. Namun dalam hatinya, ada rasa hangat yang sulit dijelaskan—Alisha benar-benar mendengar dan menuruti ucapannya.

Sesuatu yang tidak ia sangka akan terjadi secepat ini.

1
Lisa
Benar² kejam Omar & Lucas itu..menghilangkan nyawa org dgn seenaknya..pasti Tuhan membls semua perbuatan kalian..utk Alisha & Bima yg kuat & tabah ya..ada Zayn,Juna, Arvin yg selalu ada di samping kalian..
Lisa
Ya Tuhan sembuhkan Ibunya Alisha..nyatakan mujizatMu..
Lisa
Makin seru nih..ayo Zayn serang balik si Omar & Lucas itu..
Lisa
Ceritanya menarik
Lisa
Semangat y Zayn..lawan si Omar & Lucas itu..lindungi Alisha & Bima..
Lisa
Selalu ada pengganggu..ayo Zayn ambil sikap tegas terhadap Clarisa
Lisa
Moga lama² Zayn jatuh cinta pada Alisha..
Lisa
Ceritanya menarik nih..
Lisa
Aku mampir Kak
Stacy Agalia: terimakasiiihh🥰
total 1 replies
Amora
lanjut thor, semangaaatt
Stacy Agalia: terimakasiiiiih🥰
total 1 replies
Stacy Agalia
menarik ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!