Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Upik Abu Eps 15
"Ibu, sehat selalu ya. Nanti, sebisa mungkin Regina dan Bima pulang ke Indonesia," kalimat itu menjadi penutup video call Regina dengan Anisa, ibunya.
Tak terasa, enam bulan sudah Regina dan Bima merajut hari di London, setiap lembaran waktu mereka warnai dengan suka cita. Meski kakek Bima, Damar, tak henti merongrong, Bima selalu punya seribu alasan untuk menolak ajakan bertemu, bahkan sekadar makan bersama di restoran.
Sejak insiden nyaris penculikan oleh Erlan, rekan bisnis yang terobsesi pada Regina, Bima menjadi over protektif pada istrinya.
Erlan, dengan segala cara halus, pernah mencoba menaklukkan hati Regina, namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Regina menolak mentah-mentah, menegaskan statusnya sebagai seorang istri. Erlan tak percaya, obsesinya membutakan mata hatinya.
Demi obsesi yang membara, Erlan menyewa orang untuk menculik Regina. Untunglah, Adhi, ayah Regina, dan kedua kakak lelakinya masih memasang benteng tak terlihat berupa bodyguard bayangan.
Regina tak menyadarinya, tapi Bima tak mau kalah. Meghan adalah salah satu bodyguard bayangan yang disiapkan Bima.
Damar? Jangan tanya. Meski tampak seperti musuh dalam selimut, ia pun ikut ambil peran menjaga cucu menantunya. Di balik wajah garangnya, Damar menyimpan sayang untuk Bima dan Regina, meski caranya bisa terbilang salah.
Saat itu, Regina baru saja berbelanja di sebuah toko dan harus menyeberang jalan. Meghan sudah menawarkan diri untuk membelikannya, namun Regina menolak, "Tidak perlu, aku ingin membeli sesuatu untuk suamiku," ujarnya.
Tiba-tiba, dari arah berlawanan, sebuah Honda Jazz merah meluncur bagai anak panah dan nyaris merenggut nyawa Regina. Dengan sigap, Meghan menarik Regina sekuat tenaga hingga keduanya tersungkur.
Dari arah berlawanan pula, sebuah Jeep hitam menghantam Honda Jazz tersebut dengan sengaja, membuatnya terbalik beberapa kali di udara sebelum akhirnya dilalap si jago merah.
Regina yang sudah bangkit, terpaku melihat beberapa sosok di jendela-jendela bangunan. Mereka sniper shot yang mengenakan kacamata hitam. Anehnya, alih-alih takut, ia justru merasakan ketenangan yang janggal. Para penembak itu mengarahkan bidikan mereka pada bangkaian Honda Jazz yang sudah menjadi santapan api.
Bima baru saja tiba. Dengan tergesa-gesa, ia membuka pintu mobil dan langsung mendekap tubuh sang istri.
Diputar tubuh Regina dalam pelukannya, "Kamu tidak apa-apa? Ada yang sakit? Ada yang luka?" Wajah Bima menggurat kekhawatiran yang mendalam.
Meghan hanya mencebik melihat adegan yang membuat matanya sakit, sementara Edward tersenyum tipis. Entah mengapa, ia pun merasakan kekhawatiran yang sama seperti Bima, atasannya.
"Pusing, Bima. Aku tidak apa-apa, ada Meghan," ucap Regina sembari tersenyum dan menoleh pada Meghan.
Meghan hanya mengangguk, "Akhirnya aku terlihat juga," gumam Meghan lirih. "Pulang denganku," ucap Bima, langsung menuntun Regina ke mobilnya, membukakan pintu, dan merentangkan tangannya, melindungi kepala Regina.
Sebelum ikut masuk ke dalam mobil, Bima sempat mengangguk pelan pada Meghan, seolah mengucapkan terima kasih tanpa kata karena sekali lagi telah melindungi istrinya.
The Green Room di The Londoner Hotel, sebuah permata arsitektur yang dirancang khusus untuk perayaan, menjadi saksi bisu pernikahan intim, resepsi megah, dan afterparty yang meriah, mampu menampung hingga 150 tamu.
Malam itu, Bima dan Regina hadir di pesta pernikahan kolega mereka. Regina memancarkan aura elegan dalam balutan gaun malam klasik berwarna hitam pekat, terbuat dari sutra yang mengalir lembut menyentuh lantai.
Sementara Bima, tampil gagah dengan kemeja putih bersih, celana kain hitam, dan jas yang senada gelapnya, melengkapi penampilannya.
Meghan, Nathan, dan Edward pun tak absen dari kemeriahan. Namun, kali ini mereka memilih untuk menjaga jarak aman, memberi ruang bagi pasangan muda itu untuk menikmati malam.
Damar, dengan senyum misterius menghiasi wajahnya, turut hadir di pesta itu. Senyum itu ia hadiahkan pada cucu menantunya, namun hanya dibalas dengan tatapan sedingin es oleh Bima.
Arshon, sang tangan kanan, hanya bisa menghela napas. Keduanya, cucu dan kakek, bagai dua kutub magnet yang saling menjauh, lebih mirip Tom dan Jerry daripada keluarga.
Regina, merasakan kejanggalan pada gaunnya, meminta izin pada Bima untuk ke toilet. "Aku ke toilet sebentar ya," ucapnya. "Aku temani," tawar Bima. Regina menggeleng, "Tidak usah, sebentar saja. Itu, ada lagi tamu yang mengenalimu," ucap Regina, menunjuk seorang tamu yang baru saja memanggil Bima.
"Jangan lama," ucap Bima, dengan berat hati mengizinkan istrinya pergi sendiri. Baru beberapa langkah, Bima menggeleng pelan, seolah mengirimkan sinyal rahasia pada seseorang.
Regina bergegas menuju toilet. Baru saja selesai membenahi letak mutiara kembarnya, ia dikejutkan oleh suara langkah kaki pelan namun mengintimidasi, membuka satu per satu pintu toilet, seolah tengah memburu mangsa.
Di bawah pintu, Regina mengenali sepasang sepatu yang familiar. "Meghan?" panggil Regina. "Ya, Nona," jawab Meghan santai.
Regina membuka pintu dan melemparkan gulungan tisu kecil ke arah dada Meghan. "Kamu hampir membuatku jantungku copot," ucap Regina. Meghan hanya tersenyum, mendekati wastafel dan berpura-pura membenahi riasannya.
Seorang pelayan melintas, membawa nampan berisi aneka minuman, mulai dari yang berapi-api hingga jus buah yang menyegarkan. Bima mengambil bir dengan kadar alkohol nol koma lima persen, sekadar menghargai Mois, pemilik acara yang kini tengah berbincang dengannya.
"Saya ke sana dulu," ucap Mois, pamit undur diri. Selepas kepergian Mois, kepala Bima terasa pusing dan berdenging, seolah ribuan lebah berdengung di dalam tempurung kepalanya, padahal ia baru menyesap bir itu seteguk saja. "Edward," panggil Bima melalui earphones. Mendengar namanya disebut, Edward langsung mengedarkan pandangan, mencari sang atasan.
Pandangan Edward tertuju pada pria yang sudah berjalan sempoyongan sambil memegang kepalanya. Ia merasa tubuhnya panas membara, dan jantungnya berdebar kencang seperti genderang perang. Bima tak sendiri, ada seorang wanita yang sudah dengan lancang memeluk serta meraba dada Bima. Wanita itu bagai lintah yang haus, menempel erat pada Bima.
Edward dengan sigap membopong tubuh Bima menuju keluar pesta tanpa melihat ke arah wanita itu. Nathan membantu membuka jalan, sedangkan Regina masih bersama Meghan, mereka terkunci di dalam toilet.
Saat sedang merapikan make up, Meghan mendengar suara kunci memutar. Setelah dicoba, ya, ada yang dengan sengaja mengunci mereka di dalam toilet. Mereka terperangkap, bagai burung dalam sangkar emas.
"Sial!" ucap Meghan, geram. Ia segera membuka satu per satu pintu bilik toilet, mencari celah atau jendela angin. Pada pintu terakhir, apa yang ia cari akhirnya ketemu. "Nona, naiklah, di luar ada Nathan," ucap Meghan seraya menaikkan kakinya ke atas kloset. Ia meminta Regina naik, menginjak pahanya, lalu keluar dari jendela tersebut. Rencana itu secepat kilat terlintas di benaknya, satu-satunya jalan keluar dari perangkap itu.
Dengan ragu, Regina menuruti keinginan Meghan. Ya, benar saja, saat tubuh Regina sudah keluar separuh, Nathan dengan sigap menangkap tubuhnya. Namun, Regina mendengar ada banyak suara pria masuk ke dalam toilet yang masih berisi Meghan.
Ya, Meghan tertinggal. "Nathan, Meghan masih di dalam! Aku dengar ada suara banyak pria yang masuk ke dalam toilet!" ucap Regina panik, suaranya bergetar seperti daun ditiup angin kencang.
Nathan menelan ludah kasar. Ia tahu Meghan ahli berkelahi, tapi ia juga khawatir pada rekannya itu. "Ayo, Nona, jangan khawatirkan Meghan. Dia ahli di bidang ini. Tahu kenapa Nona selalu bersama Meghan? Karena Tuan Bima percaya pada kemampuan Meghan," ucap Nathan sambil terus menyorot jalan setapak, cahayanya menari-nari menerangi kegelapan, membimbing perjalanan mereka.
Bagaimana dengan Meghan? siapa yang akan menolong nya? ikuti terus kelanjutannya.
Bukan Upik Abu
Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, like mu semangatku 🩷