NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 2

Beginning And End Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Cintapertama / Balas Dendam / Romansa Fantasi / Anime
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan dari Beginning And End.

Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.

Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.

Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.

Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 : Masalalu Jimmy.

Langit senja Tokyo masih menampakkan sisa-sisa warna jingga dan ungu saat Mike, dengan langkah tak menentu—loncat-loncat seperti anak ayam yang baru lepas dari cengkeraman—tiba di hadapan Reina, Alisiya, Alice, Jimmy, dan Helena. Kelima sahabat Lynn itu berdiri berkelompok, siluet mereka terukir jelas oleh cahaya lampu jalan yang redup. Ekspresi mereka—sayu, lelah, dan dipenuhi kesedihan—mencerminkan beban berat yang mereka pikul.

Mike, napas memburu, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya. "Apakah kalian lihat sendiri… paw!!" serunya, suaranya bergetar antara euforia dan kelelahan. Ia mengangkat kedua tangan, gerakannya sedikit kikuk, seakan ingin menunjukkan sesuatu yang tak kasat mata. Lalu, ia merangkul dirinya sendiri, meniru gerakan memeluk Lynn. "Ini… ini bukan mimpi, kan?" Matanya berkaca-kaca, menunjukkan betapa besar beban emosinya.

Jimmy, yang biasanya selalu ceria, hanya tersenyum kecut. "Aku geli melihatmu seperti ini, Mik," katanya, menggelengkan kepala, sebuah senyum tipis yang tak mampu menutupi kekhawatirannya. Reina, dengan ekspresi datar yang menyembunyikan emosi yang bergejolak, menyahut, suaranya terdengar dingin namun ada sedikit kelegaan di baliknya. "Idih… diangap sahabat saja sudah bangga sekali. Tidak usah lebay." Alice, dengan tatapan tajamnya, menambahkan dengan nada sinis, "Mimpimu saja kali, Mik. Kau masih shock, ya?" Helena, yang selalu tenang dan analitis, hanya sedikit mengangkat kacamatanya, menatap Mike dengan tatapan menilai yang tajam. "Sudah siap bersenang-senang? Misi kita belum selesai." Ia menekankan kata 'misi' dengan suara yang tegas, mengingatkan mereka akan tanggung jawab yang masih menanti.

Mike menggaruk kepalanya, sebuah kebiasaan yang dilakukannya saat gugup. Jemarinya menggaruk kulit kepala dengan sedikit kasar, menunjukkan tingkat kecemasannya. Jimmy, tanpa menunggu lebih lama, berjalan mendekat, merangkul bahu Mike dengan erat. "Yo!! Kau berhasil, kawan!!" serunya, suaranya bergetar karena emosi yang campur aduk. Ia tertawa lepas, suara tawanya yang khas memecah kesunyian malam, menunjukkan rasa lega dan kebahagiaan yang tulus. "Satu pria yang bahagia… Aku juga tetap bahagia melihatmu, Mik." Ia menepuk pundak Mike dengan keras, sebuah isyarat persahabatan yang kuat dan penuh dukungan.

Suasana sedikit mencair, tetapi ketegangan masih terasa. Jimmy, dengan tatapan serius yang jarang terlihat, berbicara kepada Alice. "Baiklah… Alice, sahabat Reina yang lain, di mana mereka sekarang?"

Alice, tanpa ragu, menghidupkan jam tangan canggihnya. Layar jam tangan itu menyala, menampilkan hologram tiga dimensi yang menunjukkan posisi sahabat-sahabat Reina. Hologram itu menampilkan titik-titik cahaya yang bergerak, menunjukkan lokasi Kei, Kenzi, Andras, dan Yumi secara real-time. Alice menunjuk pada dua titik cahaya yang bergerak beriringan. "Hmm… saat ini, Kei dan Kenzi sedang berjalan bersama. Dan Andras… dia bersama Yumi." Ia menghela napas panjang, seakan beban berat masih membebani pundaknya. Ekspresinya menunjukkan kelelahan dan sedikit kekhawatiran.

Jimmy mengangguk, kepala bersandar pada telapak tangannya, menunjukkan sikap santai namun tetap waspada. "Serahkan Kenzi dan Kei kepadaku." Ia berdiri tegak, tatapannya tajam dan penuh tekad, menunjukkan kesiapannya untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Reina, yang selama ini diam, tiba-tiba bersuara. Suaranya bergetar, menunjukkan kerinduan yang mendalam. "Kei… Aku sangat merindukannya… Tapi jika aku yang menemukan mereka berdua, aku akan ketahuan. Baiklah, Jimmy, aku serahkan pacarku dan teman jahilku kepadamu." Ia tersenyum tipis, sebuah senyuman yang menyiratkan kelegaan dan juga sedikit kesedihan. Air mata mulai berkumpul di pelupuk matanya, menunjukkan betapa besar kerinduannya.

Jimmy berkata, "Okay, okay…" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Namun, di balik kesederhanaan kata-katanya, terpancar tekad yang kuat. Ia melirik hologram di jam tangan Alice, lalu dengan santai mengikuti lebah robot kecil yang dikirim Alice, arahnya menuju lokasi Kei dan Kenzi. Langkahnya tenang namun pasti, menunjukkan pengalaman dan keyakinannya dalam menjalankan misi. Malam itu, di bawah langit Tokyo yang gelap, perburuan dimulai. Misi untuk menemukan dan melindungi sahabat-sahabat Reina akan terus berlanjut, diiringi oleh harapan dan tekad yang tak tergoyahkan.

Udara malam Tokyo menusuk kulit seperti ribuan jarum es. Bau khas ramen dan asap rokok bercampur dengan aroma hujan yang baru saja reda, menciptakan koktail aroma unik yang hanya bisa ditemukan di sudut-sudut kota ini. Jimmy, dengan langkah berat namun tegap, mencari tempat berteduh di bawah neon remang-remang minimarket. Ia baru saja menyelesaikan pengejaran yang melelahkan, keringat dingin masih membasahi dahinya. Di tangannya, tiga kaleng kopi bermerek lokal—satu untuknya, dua untuk Kei dan Kenzi—berdenting pelan. Tangannya gemetar saat membuka kaleng pertamanya, bukan karena dingin, tapi karena beban misi yang dipikulnya. Ia meneguk kopi itu dalam satu tarikan napas panjang, rasa pahitnya seakan membakar tenggorokannya, mengusir sedikit rasa lelah. Ia menggaruk kepalanya yang botak, gerakannya kasar, menunjukkan frustasi yang terpendam. "Hah… suasana Tokyo… menenangkan," gumamnya, suaranya berat, bercampur dengan aksen Rusia yang kental. "Beda jauh dengan Rusia yang selalu dingin dan keras." Senyum tipis tersungging di bibirnya, senyum getir yang menyimpan kerinduan mendalam pada tanah kelahirannya. Ia menatap lebah robot mungil milik Alice, titik cahaya kecil yang menuntunnya menuju Kei dan Kenzi.

Dengan kaleng kopi masih di tangan, Jimmy mengikuti lebah robot itu, langkahnya santai namun waspada. Matanya tajam, memperhatikan setiap detail—setiap bayangan, setiap orang yang lewat, setiap suara yang terdengar. Ia melewati gang-gang sempit, melewati toko-toko yang sudah tutup, merasakan denyut nadi kota yang tak pernah tidur.

Akhirnya, ia menemukan mereka. Kei dan Kenzi duduk di kursi panjang depan minimarket, kursi yang dingin dan keras terasa semakin menyayat di malam yang dingin ini. Kei, terbungkuk, menangis tersedu-sedu, bahunya bergetar hebat, tubuhnya seakan rapuh dan tak berdaya. Kenzi, dengan ekspresi wajah yang datar—topeng yang menutupi kesedihannya—menenangkan Kei, mengusap lembut punggungnya dengan gerakan yang penuh kelembutan. Mata Kenzi berkaca-kaca, menunjukkan kesedihan yang terpendam di balik sikap tenangnya. Suasana di sekitar mereka terasa begitu berat, dipenuhi oleh kesunyian yang mencekam dan kesedihan yang mendalam. Aroma bunga mawar yang samar-samar tercium di udara, mengingatkan Jimmy pada Reina.

Jimmy berhenti beberapa langkah di depan mereka, menciptakan jarak yang cukup untuk memberikan ruang bagi mereka berdua. Ia meletakkan kaleng kopi di atas kursi, suaranya lembut namun tegas, suara yang menenangkan di tengah kesedihan mereka. "Permisi, apakah kalian Hikari Kei dan Masachika Kenzi?"

Kenzi, terkejut, mengangkat wajahnya, tatapannya tajam dan penuh selidik. "Kau benar," katanya, suaranya serak karena menahan tangis. Ia menatap Jimmy dengan curiga, menilai setiap detail penampilannya. "Lalu… siapa kau, kawan? Wajahmu… bukan orang Asia…"

Jimmy menyandarkan tubuhnya dengan santai ke tiang listrik dekat kursi, menunjukkan sikap percaya diri yang tenang. Ia membuka kaleng kopi kedua, menawarkannya kepada Kei dan Kenzi. "Ya… kau benar, Kenzi… aku orang Rusia…" Ia mengeluarkan kartu identitasnya dari saku mantelnya, gerakannya cepat dan terlatih, menunjukkan keahliannya sebagai agen rahasia. Kartu identitas itu berkilau di bawah cahaya lampu minimarket, menampakkan foto dan nama Jimmy Hopkins dengan jelas. Ia mengangkat kartu itu dengan jari telunjuknya, menunjukkannya kepada Kei dan Kenzi, tatapannya serius dan penuh makna. "Perkenalkan, aku Jimmy Hopkins. Aku adalah agen rahasia dari ketua Craig, bawahan Profesor Reiz dan Profesor Tia."

Kei dan Kenzi terkesiap mendengar nama Reiz dan Tia. Kei, dengan wajah pucat pasi, mengangkat wajahnya, suaranya bergetar hebat, menunjukkan betapa besar guncangan yang ia rasakan. "Reiz… apakah… dia tahu bahwa adiknya mati?"

Jimmy mengangguk, suaranya berat, menunjukkan rasa simpati dan empati yang tulus. "Oh… kau pasti pacarnya Reina. Baiklah, akan kujawab pertanyaanmu… Profesor Reiz tahu bahwa adiknya sudah mati… Jadi… aku dan beberapa rekannku ke sini untuk mencari Danton dan Alexander…" Ia membuka kaleng kopi ketiganya, menunjukkan sikap tenang di tengah situasi yang tegang. Ia meneguk kopinya perlahan, memperhatikan reaksi Kei dan Kenzi.

Jimmy duduk di antara Kei dan Kenzi, menciptakan suasana yang lebih akrab dan nyaman. Ia mengeluarkan sebungkus rokok khas Rusia dari saku mantelnya, menawarkannya kepada mereka berdua. "Kalian merokok?" tanyanya, suaranya lembut, namun tetap menunjukkan kewibawaannya.

Kenzi, yang biasanya selalu ceria dan kocak, kini terlihat lesu dan kehilangan semangatnya. Kematian Reina telah mengubahnya. "Iya… tapi itu milikmu," jawabnya, suaranya masih terdengar berat, menunjukkan kesedihan yang mendalam.

Jimmy tersenyum tipis, menunjukkan pengertiannya. "Kenzi… aku telah mempersiapkannya… karena kita akan bercerita panjang…" Ia mengeluarkan sebungkus rokok lagi, menawarkannya kepada Kei dan Kenzi. "Kei, Kenzi… ambillah…" Ia memberikan rokok itu dengan gerakan lembut, menunjukkan rasa hormat dan empati.

Kei dan Kenzi menerima rokok itu dengan tangan gemetar, menunjukkan betapa besar guncangan yang mereka alami. Kei, dengan suara yang masih bergetar, berkata, "Terima kasih, Jimmy…" Di antara mereka, suasana hening sejenak, hanya diiringi suara-suara samar dari kota yang tak pernah tidur. Namun, di balik kesunyian itu, terpancar sebuah harapan baru—harapan untuk menemukan keadilan dan membalaskan dendam atas kematian Reina. Misi mereka masih panjang, namun mereka tidak sendiri. Mereka memiliki satu sama lain, dan mereka memiliki Jimmy. Malam itu, di bawah langit Tokyo yang gelap, perjuangan mereka akan terus berlanjut.

Kei menarik napas panjang, asap rokoknya mengepul di udara dingin, menciptakan lingkaran putih yang perlahan menghilang. Matanya berkaca-kaca, namun tatapannya tetap tajam, menunjukkan tekad yang membara. "Jimmy," suaranya bergetar, "jadi kau di sini untuk membantu kami membalaskan dendam pacarku?" Ia menekankan kata 'membalaskan dendam', menunjukkan betapa besar keinginan untuk membalas kematian Reina.

Jimmy mengangguk, menawarkan kaleng kopi yang masih hangat. Ia mengisap rokoknya perlahan, matanya menatap Kei dengan empati yang mendalam. "Iya," suaranya tenang, namun penuh keyakinan. "Aku dan beberapa rekannku sedang mencari yang lain… maksudku, rekan-rekanku akan menemui sahabatmu satu per satu… untuk menilai mental dan kesiapan kalian… ini bukan hanya soal membalas dendam, ini soal bertahan hidup." Ia meneguk kopinya, gerakannya halus, menunjukkan ketenangan di tengah situasi yang menegangkan.

Kenzi, dengan ekspresi wajah yang masih dipenuhi kesedihan, mengucapkan terima kasih. "Aku mengerti… terima kasih, Jimmy…" Ia meminum kopi pemberian Jimmy, tangannya sedikit gemetar, menunjukkan betapa besar beban yang ia rasakan. Ia menatap Jimmy dengan penuh harap, mencari petunjuk dan dukungan. "Ngomong-ngomong, apakah kau sudah tahu semuanya…?" Ia bertanya dengan suara yang sedikit serak.

Jimmy bersandar ke tiang listrik, menunjukkan sikap santai namun tetap waspada. Ia menghembuskan asap rokoknya, matanya menatap jauh ke kegelapan malam, seakan sedang merenungkan sesuatu yang berat. "Iya… Aku sudah memeriksa dokumen dari Profesor Reiz. Kematian Reina disebabkan oleh zat yang dimasukkan oleh bajingan Alexander—Evil Blood Virus, begitu rekan-rekan menyebutnya." Suaranya datar, namun setiap kata yang diucapkannya sarat dengan makna. Ia menekankan kata 'bajingan', menunjukkan kemarahan yang terpendam.

Kei mengisap rokoknya, air mata masih mengalir deras, menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam. "Suatu hari nanti… akan… akan kubalaskan kematian Reina… cinta pertamaku… bulanku… semuanya…" Suaranya bergetar, menunjukkan betapa besar kehilangan yang ia rasakan. Ia mengepalkan tangannya, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang kuat, darah segar mulai keluar dari celah-celah kukunya, menunjukkan amarah dan kesedihan yang terpendam. "Danton merenggut segalanya… akan kupastikan, Danton akan mati di tanganku…" Ia menekankan setiap katanya dengan penuh emosi.

Jimmy mengangguk, menunjukkan dukungan dan pengertiannya. Ia berdiri, menunjukkan kesiapannya untuk melanjutkan misi. Kei dan Kenzi menatapnya, menunjukkan rasa hormat dan kepercayaan. Jimmy mengisap rokoknya, matanya menatap ke kejauhan, seakan mengingat sesuatu yang sangat menyakitkan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk mengendalikan emosinya sebelum menceritakan kisahnya.

"Kei… aku mengerti bagaimana perasaanmu… ya, walaupun kisahku mungkin lebih… rumit… tapi aku akan menceritakannya," ujarnya, suaranya sedikit bergetar. Ia kembali mengisap rokoknya, menatap Kei dan Kenzi dengan tatapan yang serius dan penuh makna. "Dulu… di umurku 13 tahun… aku disekolahkan di asrama. Aku ditinggal kedua orang tuaku… ya, aku tahu mengapa mereka mencampakkanku, karena aku nakal… menyusahkan suami baru ibuku…" Ia berbicara dengan suara yang pelan, menunjukkan kerendahan hatinya.

Ia berjalan beberapa langkah, lalu menyandarkan punggungnya ke tiang listrik, menunjukkan sikap santai namun tetap penuh beban. "Aku masuk ke dalam asrama, dan… wow… di asrama itu ada lima geng yang menguasai lima wilayah… Begitu aku sampai di kamarku, ada anak-anak yang mencoba membullyku. Bukannya aku sombong, tapi aku bisa mengalahkan mereka bertiga dengan mudah… Lalu, ada satu orang yang mendekatiku, wajahnya asing, dia mengajakku untuk mendominasi seluruh asrama… aku menerimanya…" Ia tersenyum getir, mengingat masa lalunya yang pahit.

Ia melanjutkan ceritanya, suaranya sedikit bergetar. "Padahal aku telah menganggapnya sebagai sahabat, tapi dia mengkhianatiku. Gedung olahraga terbakar, teror tikus, salah satu temanku dikurung di rumah sakit jiwa, semuanya menuduhku… namun aku tidak membencinya sama sekali… Walaupun aku diusir dari asrama, mencari tempat tinggal dengan cara babak belur… aku sama sekali… tidak membencinya karena dia teman pertamaku…" Air mata mulai menggenang di matanya, menunjukkan penyesalan yang mendalam. Ia mengusap matanya dengan kasar, mencoba untuk mengendalikan emosinya.

Kenzi bertanya dengan suara pelan, "Lalu… apa yang terjadi setelah kau keluar dari asrama?" Ia menatap Jimmy dengan penuh rasa ingin tahu.

Jimmy mengisap rokoknya lagi, menatap ke kegelapan malam, seakan ingin melupakan kenangan pahit itu. "Ya… aku mengumpulkan preman-preman jalanan dan menghentikan peperangan geng yang disebabkan oleh sahabatku itu… Kekacauan satu kota akibat para remaja asramaku yang disebabkan oleh monopoli… Aku berusaha menghentikannya… di atas atap tinggi asrama, kami sempat bertarung dan jatuh langsung ke kantor kepala sekolah. Yang ajaibnya, aku masih hidup… namun… temanku… mati akibat tanganku sendiri…" Suaranya bergetar hebat, menunjukkan penyesalan dan rasa bersalah yang mendalam. Ia terdiam sejenak, mencoba untuk mengendalikan emosinya. "Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri… Maka dari itu, semenjak aku berumur 15 tahun asrama kembali damai… namun aku kabur, meninggalkan kedamaian yang telah kuciptakan… Asrama itu… adalah tempat yang paling kutakuti… karena dengan tanganku sendiri… ya, aku… membunuh sahabatku…" Ia tertunduk, menunjukkan penyesalan yang mendalam. "Aku mencari perlindungan, berjalan hingga ratusan mil jauhnya… aku sampai di Moskow… Ketua Craig, Nona Andras, dan Profesor Reiz memungutku…" Ia terdiam sejenak, menatap Kei dan Kenzi dengan tatapan yang penuh makna. "Dan sekarang, aku di sini… untuk membantumu…" Ia berkata dengan suara yang tegas dan penuh keyakinan, menunjukkan tekadnya untuk membantu mereka membalaskan dendam dan menghadapi masa depan yang penuh tantangan.

1
Riri
ini bukan maha karya, ini sebuah wahyu yang di tulis dengan tinta jiwa dewa author 🤓🙀
secret: wihhh 😭🙏🙏
total 1 replies
Rezaa..
semoga season dua lebih bagus dari season satu... no momy Andras 😭
secret: gapapa... nanti Andras muncul lagi kok... tapi nunggu lama ya wkwkw
total 1 replies
Rezaa..
baru bangun dari kematian lansung rasis si Reina cok 🤣🤣
secret: rasis dulu sebelum membantai /CoolGuy/
total 1 replies
esere
Serius... cerita ini walaupun panjang, tapi seru... karakter karakter nya unik sama narasi nya hidup gitu... pokok nya setia dari s1 🔥
secret: yoi dong 🤝
total 1 replies
esere
hampir kenak parani gara gara Reina mati 😭😭
secret: Dawg... mereka lansung putus asa baca waktu Reina mati 🤣
total 1 replies
Author Sylvia
semangat,moga rame yang baca/Smile/
secret: makasih ya author... kamu juga!!
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!