NovelToon NovelToon
Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Bad Boy / Trauma masa lalu / Barat / Mantan
Popularitas:602
Nilai: 5
Nama Author: Yellow Sunshine

Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keraguan yang Terpecahkan

Langit sore di Gainesville tampak seperti kanvas lembut yang dilukis dengan warna-warna pucat—sebuah percampuran antara jingga yang meredup dan biru yang perlahan memudar. Di dalam mobil Nick, suasana terasa seperti ruang hampa. Hanya suara mesin yang berdenyut pelan dan dentingan samar ranting-ranting yang terhempas angin di luar jendela. Aku duduk di sebelah kursi kemudi, memandang keluar tanpa benar-benar melihat.

Pertanyaan itu masih bergema di benakku. 'Jadi, apakah kamu masih memiliki perasaan padanya, Nora?'

Aku tidak langsung menjawab saat itu. Bahkan sekarang pun, hatiku seperti berdiri di dua tepi jurang : satu sisi diwarnai kenangan yang pernah menjadi seluruh hidupku, dan sisi lainnya adalah kehangatan masa kini yang kupegang erat—Nick.

Aku menarik nafas panjang, mencoba mengurai simpul-simpul yang berjejal di dadaku.

Nick memutar kepalanya sedikit, menatapku dari sudut mata. Cahaya sore menyentuh wajahnya, membuat sorot matanya terlihat lebih lembut. "Aku tidak ingin menekanmu, Nora.", katanya. Suaranya rendah, seperti bisikan yang takut memecah kesunyian. "Aku hanya ingin tahu tentang perasaanmu yang sebenarnya."

Aku menelan ludah, menoleh untuk menatapnya.

"Tadi, aku… sempat ragu," jawabku pelan, setiap kata seperti berjalan di atas garis tipis antara kejujuran dan luka. "Ragu… bukan karena aku masih menginginkan masa lalu itu kembali. Tapi karena pertemuan tak sengaja kemarin… seperti menarikku ke pusaran lama. Bukan untuk tinggal di sana, tapi… aku masih bisa merasakan sakitnya. Dan aku takut rasa itu akan merusak kebahagiaan yang saat ini kita punya."

Nick tak langsung merespons. Ia memperlambat laju mobil, seakan memberi ruang bagi kata-kataku untuk mendarat.

"Tapi..." lanjutku, kali ini suaraku lebih mantap, "satu hal yang aku tahu pasti… perasaanku padamu sekarang, Nick. Perasaan itu sudah terlalu dalam dan besar. Dan hanya itu yang aku pedulikan. Aku tidak mau kembali ke masa lalu itu. Aku tidak mau membawanya masuk ke sini—" aku menunjuk dadaku, lalu ke arah di antara kami, "—ke dalam kita."

Senyum tipis terbit di sudut bibirnya, seperti fajar yang perlahan menembus kabut. "Kamu yakin, Nora?" tanyanya, nadanya penuh harap tapi seperti juga menguji.

Aku mengangguk mantap. "Ya. Dan aku ingin kamu percaya itu, Nick."

Nick menepikan mobil di sebuah bahu jalan yang menghadap ke danau kecil. Angin sore menyentuh kulitku saat ia mematikan mesin. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya, dan dalam genggaman itu ada kehangatan yang mengalir, menenangkan badai yang tadi mengamuk di dadaku.

"Terima kasih, Nora." bisiknya, matanya menatapku seolah ingin menghafal setiap lekuk wajahku. "Terima kasih karena memilih untuk tetap di sini, bersamaku."

Aku tersenyum, kali ini benar-benar tulus, tanpa beban. "Tidak ada tempat lain yang lebih kuinginkan."

Ia menarikku ke dalam pelukan. Dada bidangnya menjadi sandaran yang menenangkan, aroma kayu manis dari jaketnya mengisi inderaku. Kami berciuman—perlahan, penuh rasa, bukan sekadar sentuhan bibir tapi janji diam-diam yang kami tanamkan satu sama lain.

Nick pun kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

"Kemana kita?", tanyaku, saat aku menyadari kalau mobil yang kutumpangi sepertinya tidak sedang menuju ke arah kampus .

"Rumahku."

"Rumahmu?", tanyaku, sedikit terkejut.

Ia mengangguk sambil tersenyum. "Aku akan memasak sesuatu untukmu. Dan, kita bisa menonton film bersama. Kemarin aku sudah meninggalkanmu seharian karena harus pergi ke peringatan kematian orangtuaku di Riverview. Jadi, sebagai gantinya, hari ini aku ingin menghabiskan waktu seharian bersamamu. Bagaimana menurutmu, Nora?"

"Ya, aku menyukainya, Nick.", jawabku, sambil tersenyum.

Perjalanan menuju rumah Nick terasa hangat. Pohon-pohon oak berbaris di sisi jalan, dedaunannya berguguran seperti menyambut kami. Halaman depan rumahnya yang tak terlalu luas, namun tertata rapi, dengan tanaman rambat pada dinding bata, persis seperti saat terakhir kali aku berkunjung ke sini.

Begitu aku melangkah masuk, kenangan hari itu seakan berputar di benakku. Rak buku penuh, gitar yang bersandar di dinding, juga aroma kopi yang tercium samar. Aku tersenyum mengingat hari itu, saat Nick hampir menciumku.

"Ada apa, Nora?", tanya Nick, yang mungkin sudah memperhatikanku tersenyum sejak tadi.

Aku menatapnya, masih dengan senyuman yang menghiasi wajahku. "Tidak apa-apa, Nick. Hanya saja, tiba-tiba aku teringat hari itu."

"Hari itu?", tanyanya tidak mengerti arah pembicaraanku.

"Ya. Saat kamu hampir mencuri sebuah ciuman dariku.", godaku.

Nick tertawa kecil, sepertinya berhasil mengingat kejadian hari itu. "Ya Tuhan! Tolong jangan ingatkan aku tentang hari itu, Nora. Aku malu sekali. Hampir saja aku menciummu karena terbawa suasana dan juga perasaanku."

Aku membulatkan mata, sedikit terkejut dengan ucapannya. "Terbawa perasaan? Kamu sudah menyukaiku saat itu?", tanyaku, sama sekali tidak menyangkanya.

"Ya. Bahkan saat pertemuan kedua kita di pesta musim panas hari itu. Terutama saat kita befoto di photobooth. Hari itu aku sudah menyadari kalau aku merasakan sesuatu padamu."

"Benarkah? Bahkan sejak hari itu?"

"Ya. Bahkan sejak hari itu.", kata Nick, mengulangi ucapanku. Nick tersenyum, lalu melangkahkan kaki ke depan. "Jadi, mau secangkir teh atau cokelat hangat?", tanyanya.

"Cokelat hangat.", jawabku, balas tersenyum.

"Baiklah, mau ikut ke dapur? Aku akan memasak untuk makan malam."

"Ya, aku ikut."

Di dapur, kami berdiri berdampingan. Nick memanaskan susu di panci kecil, sementara aku memotong marshmallow menjadi potongan kecil. "Kamu akan memasak apa malam ini?", tanyaku.

"Bagaimana kalau Fettuccine Carbonara?", tawarnya.

"Hmm, kedengarannya enak."

"Baiklah, kita akan membuatnya kalau begitu."

"Kita?"

Nick tersenyum, menggodaku. "Ya, aku butuh seorang asisten untuk memasak makan malam kali ini."

"Siap, Chef!", balasku, tertawa kecil.

Kami menghabiskan waktu sore ini untuk membuat pasta bersama. Aroma bawang putih yang dicincang halus mulai memenuhi ruangan ketika ia menjatuhkannya ke dalam wajan berisi bacon yang mulai mengeluarkan bunyi mendesis. Minyaknya berkilau, mengundang lapar. Aku memotong tomat pelan-pelan, mencoba fokus pada irama ketukan pisau di talenan, tapi mataku sesekali mencuri pandang ke arahnya—caranya mengaduk dengan tenang, caranya menyapu rambutnya yang jatuh ke dahi dengan punggung tangan.

Aku memperhatikannya dengan penuh rasa kagum. "Caramu memasak... itu terlihat cukup...seksi.", gurauku.

Nick tersenyum miring. "Jangan menggodaku, Nora. Atau makanan kita akan hangus, karena aku tidak bisa fokus."

"Kalau begitu, sepertinya kita perlu memesan makanan untuk makan malam nanti."

Nick tertawa, tawa yang rendah dan hangat, seperti bisikan api di perapian. Lalu, ia mengangkat bahu, pura-pura tak peduli, tapi aku bisa melihat sudut bibirnya tetap terangkat.

Ketika pasta sudah matang, kami meniriskannya bersama, lalu menuangkannya ke dalam wajan berisi saus creamy yang baru saja selesai diaduk Nick. Gerakannya pelan, hampir penuh penghormatan, seperti seseorang yang sedang menaruh benda berharga di tempatnya. Keju parmesan yang diparut menebarkan aroma yang membuatku ingin segera duduk.

Kami membawa mangkuk pasta itu ke ruang tengah. Sofa abu-abu yang nyaman memanggil kami untuk tenggelam di sana. TV sudah menyala, menayangkan film lama—aku lupa judulnya, tapi masih ingat alurnya. Aku duduk di ujung sofa, sementara Nick duduk di sebelahku, jaraknya cukup dekat untuk membuatku sadar akan setiap gerakan kecilnya.

“Bagaimana?” tanyanya—aku tahu yang ia maksud adalah makanannya. Matanya memandangku lebih lama dari yang perlu.

Aku mengangguk. "Sempurna."

Yang kumaksud bukan hanya pasta ini—tapi momen ini, kehadirannya, caranya membuat segalanya terasa tenang.

Kami menikmati makan malam sambil sesekali berbicara, tapi lebih sering tertawa di antara suapan. Ia bercerita tentang hal-hal lucu yang dialaminya, seperti saat ia salah masuk kelas karena bangun kesiangan, tertidur saat menjadi asisten dosen karena kelelahan bekerja, juga disukai dan didekati oleh seorang dosen wanita yang sudah berusia paruh baya di kampus. Aku hampir tersedak saat mendengarnya, sementara dia tersenyum puas karena berhasil membuatku tertawa.

Film terus berjalan, tapi aku lebih sering memperhatikan profil wajah Nick yang terkena cahaya lembut dari layar. Ada garis-garis halus di dekat matanya yang hanya muncul saat ia tertawa. Ada caranya mencondongkan tubuh ketika mendengar sesuatu dariku, seakan setiap kata yang kuucapkan patut diberi tempat di ruang hatinya.

Ketika mangkuk pasta yang ada di tanganku sudah kosong, ia mengambilnya dariku. “Berikan padaku! Biar aku cuci dulu.,” katanya.

“Aku bantu,” ujarku, tapi dia menggeleng.

“Sebaiknya kamu duduk saja, Nora. Anggap ini… layanan khusus.”

Aku menyandarkan tubuh, tapi mataku tetap mengikuti langkahnya ke dapur. Suara air mengalir, piring beradu pelan. Ada rasa hangat yang aneh di dadaku—bukan hanya karena dia memasak untukku, tapi karena ia membiarkan aku berada di ruang-ruang kecil kehidupannya yang paling sederhana.

Setelah itu, ia kembali ke sofa, membawa selimut tipis. “Biar tidak kedinginan.,” katanya sambil menyelimutiku. Dia duduk di sebelahku lagi, jarak kami makin dekat. Aroma sabun dan sedikit wangi kopi dari bajunya membungkusku.

Kami menonton lagi, tapi kali ini, tanpa sadar, aku bersandar pada bahunya. Rasanya alami, seolah tubuhku sudah tahu di mana seharusnya berada. Dia tidak berkata apa-apa, hanya membiarkan lengannya menyentuh lenganku, sebuah sentuhan yang kecil tapi cukup untuk membuat jantungku tidak tenang.

"Terimakasih untuk hari ini, Nora. Aku sangat menikmati waktu kita bersama...seperti ini."

Aku tersenyum, menatap dalam kedua matanya. "Aku juga sangat menikmati hari ini... bersamamu, Nick."

Di luar, malam merayap masuk. Cahaya lampu di ruang tengah menciptakan lingkaran kuning lembut, seolah melindungi kami dari segala yang ada di luar sana. Aku tidak lagi memikirkan Christian. Tidak lagi membiarkan bayangannya mengaburkan kenyataan. Yang ada hanya Nick—dan rasa hangat yang menenangkan di antara kami.

Kami berbicara sampai larut, tentang hal-hal kecil seperti film yang ingin Nick tonton bersamaku, menu makanan yang ingin ia coba masak untukku, rencana kecil untuk akhir pekan, dan masih banyak hal lainnya. Tidak ada pembahasan berat, tapi di sela tawa dan jeda, aku merasakan sesuatu yang jauh lebih besar mengalir di antara kami.

"Kamu masih memikirkannya, Nora?", tanya Nick tiba-tiba.

Aku menoleh, menatap matanya. "Tidak. Aku hanya memikirkan tentang...kita. Dan aku ingin terus seperti ini."

Ia tersenyum, lalu menarikku ke dalam pelukannya. Pelukan itu bukan sekadar kehangatan fisik—tapi juga seperti tanda titik di akhir kalimat panjang yang penuh keraguan.

Tidak lama setelah itu, Nick mengantarku pulang. Jalanan kampus tampak cukup sepi. Lampu-lampu jalan memandikan trotoar dengan cahaya kuning redup. Aku berjalan dengan langkah ringan menuju ke dalam asrama, saat Nick sudah pergi melajukan mobilnya. Di dadaku, ada keyakinan baru—bahwa aku tidak seharusnya membawa kembali bayangan masa lalu ke dalam hubungan ini. Christian adalah bab yang sudah kututup. Dan Nick… Nick adalah cerita yang ingin terus kutulis.

1
Yellow Sunshine
Halo, Readers? Siapa disini yang kesel sama Alice? Angkat tangan 🙋‍♂️🙋‍♀️. Author juga kesel nih sama Alice. Kira-kira rencana Alice untuk menggoda dan mengejar Nick akan berlanjut atau berhenti sampai sini ya? Coba tebak 😄
Arass
Lanjutt thorr🤩
Yellow Sunshine: Siap. Semangat 💪🫶
total 1 replies
Yellow Sunshine
Hai, Readers? Siapa nih yang nggak sabar liat Nora sama Nick jadian? Kira-kira mereka jadian di bab berapa ya?
Aimé Lihuen Moreno
Wih, seruu banget nih ceritanya! Jangan lupa update ya thor!
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. Author jadi makin semangat nih buat update 😍
total 1 replies
Melanie
Yowes, gak usah ragu untuk baca cerita ini guys, janji deh mantap. 😍
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. It means a lot 😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!