NovelToon NovelToon
Glass Wing

Glass Wing

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Saudara palsu / Dark Romance
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”

Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.

Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.

Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.

Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.

Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?

Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?



Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

16

Suara logam beradu menggema tajam di pelataran belakang kediaman keluarga Aiden—tempat latihan pribadi yang hanya digunakan oleh Kael. Di bawah langit kelabu, di antara tiupan angin musim peralihan yang membawa aroma tanah basah dan debu besi, tubuhnya bergerak dengan kecepatan terlatih. Setiap ayunan pedang Kael tidak menunjukkan amarah ataupun semangat yang membara—justru sebaliknya. Terlalu tenang. Terlalu terkendali. Seolah satu-satunya hal yang membuatnya tetap waras adalah gerakan berulang dan rasa nyeri di lengannya sendiri.

Hari ini, rumah itu tidak sunyi seperti biasanya.

Jenderal Aiden—ayah tirinya—datang lebih awal dari tugas militernya, membawa serta wanita yang selalu tampak tak tersentuh dalam ingatan Kael: Ibunya, Putri Asyira. Ia datang tanpa pengawal kerajaan. Tanpa kereta kehormatan. Hanya dengan satu kotak kecil berisi pakaian, dan satu amplop yang belum dibuka di tangan kirinya.

Asyira bukan wanita biasa. Ia adalah darah murni dari kerajaan Balbaza—kerajaan militer yang diperhitungkan karena kecerdikannya dalam taktik perang dan kekuatan persenjataannya. Meski tidak sebesar Argueda atau Garduete, Balbaza adalah duri kecil yang tidak bisa dicabut dari peta kekuasaan dunia. Dan Asyira adalah salah satu alasan mengapa Balbaza tetap bertahan di jalur kekuatan selama ini.

Dulu, ia dinikahkan dengan sepupunya sendiri: Raja Thanaka—penguasa Balbaza yang sekarang—dalam ikatan politik yang dimaksudkan untuk mengunci kemurnian darah dan melanggengkan garis keturunan. Pernikahan itu tidak bertahan lama. Konon mereka berpisah karena “tidak cocok”. Tapi Kael tahu, itu hanya cara terhormat untuk menyebut ambisi yang saling bertabrakan. Tidak ada tempat bagi dua pemimpin di satu ranjang.

Dari pernikahan itulah, Domias lahir—anak sulung Asyira, dan satu-satunya yang dibesarkan di bawah cahaya istana Balbaza.

Domias adalah segalanya yang seharusnya dimiliki Kael jika nasibnya tidak dibelokkan. Tampan, berkharisma, dan dielu-elukan sebagai pewaris sah takhta Balbaza. Ia berjalan di aula istana dengan kepala tegak, mengenakan mantel kebesaran dan cincin kerajaan yang diwariskan dari garis ayah mereka.

Sementara itu, Kael… tumbuh jauh dari istana. Di sisi ibunya yang dingin, dan ayah tiri yang memperlakukannya seperti prajurit, bukan anak. Tidak ada emas. Tidak ada sambutan. Hanya pedang, buku, dan keheningan.

Mereka bilang, Kael dan Domias adalah dua sisi dari satu darah. Tapi Kael tahu—dunia tidak pernah benar-benar menganggapnya saudara. Bagi dunia, Kael adalah yang dibuang. Yang tidak dianggap. Bayangan panjang dari kesalahan masa lalu seorang ratu.

Dari tempatnya, Asyira duduk diam sambil memperhatikan Kael berlatih. Rambutnya disanggul rapi, sorot matanya dingin seperti langit mendung yang menggantung. Di sampingnya, Jenderal Aiden berdiri tegak, tangan bersilang, mengamati anak tirinya dengan ekspresi sulit dibaca.

Kael tahu, mereka tidak hanya memperhatikannya.

Mereka sedang menimbang.

Seperti menilai seekor binatang yang dipersiapkan untuk medan laga—bukan sebagai pangeran, tapi sebagai alat.

Namun Kael tidak peduli.

Pedang di tangannya lebih jujur daripada politik istana atau ikatan darah. Ia tidak pernah ingin menjadi pewaris Balbaza, dan tidak pernah iri pada Domias—setidaknya tidak lagi. Tapi akhir-akhir ini… ada sesuatu yang berubah.

Sejak Ara datang ke hidupnya, segalanya mulai bergeser.

Rasa yang dulu tak pernah ia izinkan tumbuh, kini perlahan merambat seperti racun. Perasaan yang bahkan tidak pernah ia rasakan terhadap Tania, gadis yang selama satu dekade ia kira ia cintai. Sekarang, bahkan mengingat nama Tania pun tidak menimbulkan apa pun di dadanya.

Kael tidak menyangka perasaan itu bisa hilang secepat ini.

Dan itu menakutkan.

Karena pada Ara, Kael tidak merasakan cinta seperti sepuluh tahun yang lalu. Ia merasakan sesuatu yang jauh lebih kelam. Lebih dalam. Lebih tak bisa dikendalikan.

Sesuatu yang… mengikat.

Dan entah bagaimana, di balik semua garis takdir yang menyingkirkannya dari istana, mengasingkannya dari takhta, dan menjadikannya bayang-bayang Domias… Ara adalah satu-satunya hal yang ingin Kael miliki sepenuhnya.

Bukan sebagai pelarian.

Tapi sebagai takdir.

“Kael apa yang terjadi padamu ?” Arsyira menatap tajam ke arah anaknya, langkah sepatunya bergema di lantai batu saat ia mendekat, mantel tipisnya berkibar tertiup angin. Suaranya rendah namun dingin, seperti embun pagi yang mengiris kulit.

Kael memalingkan wajah, menyarungkan pedangnya dengan satu gerakan tenang. Keringat masih menetes dari pelipisnya, namun matanya—mata yang mewarisi tatapan beku sang ibu—menyimpan badai yang tak dia tunjukkan.

“Bukan urusan Ibu.”

“Ibu yang melahirkanmu, Kael.” Arsyira melipat tangan di depan dada, seolah tidak pernah bisa diintimidasi oleh siapa pun—bahkan anaknya sendiri. “Dan kau pikir Ibu tidak tahu perasaan macam apa yang bisa menghancurkan pria sepertimu?”

Kael menahan napas. Rahangnya mengeras.

Pedang Kael menebas udara dengan presisi mematikan, berulang-ulang, hingga tubuhnya bersimbah keringat di bawah sinar matahari siang yang menggantung tinggi. Deru napasnya berat. Irama latihannya cepat, tanpa ampun, seperti tubuhnya hendak memusnahkan sesuatu yang tak bisa diusir dari kepalanya.

Langkah lembut terdengar mendekat.

Putri Arsyira, ibunda Kael, berdiri di pinggir halaman batu tempat anaknya berlatih. Sorot matanya tajam seperti belati yang dibungkus kain sutra. Di belakangnya, tampak Jenderal Aiden berbincang dengan salah satu pengawal kepercayaannya, namun Arsyira sudah terlalu fokus pada anaknya yang mengayunkan pedang seperti dilanda murka bisu.

“Kael,” panggilnya dingin namun jelas.

Kael berhenti. Hembusan napas terakhirnya keluar berat. Ia menyarungkan pedangnya dan menoleh pelan ke arah ibunya.

“Aku dengar kau terlibat perkelahian lagi dengan Domias,” lanjutnya, nada suaranya mulai mengeras. “Kali ini… tampaknya karena wanita.”

Tatapan Kael tetap tenang. Diam. Tak membenarkan, tak menyangkal.

Arsyira mendekat lebih jauh, suara seakan berbisik tapi cukup tajam untuk menusuk. “Siapa? Tania?”

“Bukan dia,” jawab Kael tanpa ragu.

Jawaban itu langsung menyingkirkan nama-nama biasa yang pernah dikaitkan dengannya. Bukan Tania, bukan bangsawan-bangsawan manja yang biasa berputar di sekeliling mereka. Maka, siapa?

Arsyira memejamkan mata sejenak, menyusun simpul.

Dia telah mendengar laporan itu tadi pagi—dibawa langsung oleh salah satu penjaga Argueda yang mengabdi di bawah pasukan elit. Laporan itu tak disampaikan kepadanya, melainkan kepada Jenderal Aiden, suaminya. Tapi Arsyira tahu. Dia selalu tahu apa yang tak ingin dikatakan langsung padanya.

Dua anak raja Balbaza, dua penerus darahnya, terlibat perkelahian sengit di Argueda. Bukan karena politik. Bukan karena kekuasaan. Tapi… karena seorang wanita.

Dan Arsyira bisa membacanya dari raut Kael.

Ini bukan cinta ringan. Bukan permainan remaja. Bukan kebodohan sesaat.

Tatapan Kael terlalu dingin untuk itu. Terlalu penuh tekad. Terlalu mematikan.

Ada sesuatu dalam sorot mata anaknya yang membuat Arsyira merasa… dia tidak akan membiarkan siapa pun mengambil wanita itu darinya.

Bahkan jika itu adalah Domias.

Bahkan jika itu berarti harus menciptakan perang saudara.

“Ibu yang melahirkanmu, Kael.” Arsyira melipat tangan di depan dada, seolah tidak pernah bisa diintimidasi oleh siapa pun—bahkan anaknya sendiri. “Dan kau pikir Ibu tidak tahu perasaan macam apa yang bisa menghancurkan pria sepertimu?”

Kael menahan napas. Rahangnya mengeras.

“—aku tidak merebut siapa pun darinya,” potong Kael dingin. “Aku hanya tidak sudi melihatnya menyentuh gadis itu seperti barang mainan.”

Arsyira menatap Kael lekat-lekat, mencoba membaca setiap lekukan emosi yang terselip di balik wajah dingin putranya. Ia telah membesarkan dua anak lelaki dengan tangan sendiri—Kael dan Domias—dua kutub berbeda dari darah yang sama. Tapi dari keduanya, Kael adalah yang paling sulit ditebak. Paling tertutup. Paling tak tersentuh oleh godaan cinta, kekuasaan, atau amarah yang remeh.

Namun kini, ada sesuatu dalam tatapan Kael yang membuat darah Arsyira terasa mendingin.

“Dia siapa?” tanyanya sekali lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut. Bukan karena kelemahan, tapi karena rasa ingin tahu yang tajam. “Gadis macam apa yang bisa membuat dua anakku bertarung seperti binatang berebut betina?”

Kael tidak langsung menjawab. Nafasnya dalam, tenang, tapi tegang seperti senar busur.

“Dia bukan hanya bangsawan,” ucapnya akhirnya, pelan namun jelas. “Dan bukan hanya tinggal.”

Arsyira menyipitkan mata. “Lalu siapa dia?”

Kael menatap ibunya. Tatapannya tak bergetar, seperti hendak mengguncang sesuatu dalam dirinya.

“Seseorang yang seharusnya tidak kutemui. Tapi kutemui juga,” katanya lirih, penuh pengakuan pahit yang tidak disesali. “Seseorang yang… jika Domias menyentuhnya lagi, maka aku tak akan sekadar memukulnya.”

Diam sejenak.

Lalu dengan suara rendah, nyaris seperti sumpah, Kael melanjutkan,

“Ibu, kau percaya? Aku sudah diperingatkan keras untuk tidak jatuh cinta padanya. Tapi sekarang… aku bahkan ingin mengurungnya di tempat yang hanya milikku. Membuatnya tidak bisa melihat siapa pun lagi selain aku.”

Kata-kata itu menggantung di udara, berat, kelam, dan penuh bahaya.

Tatapan Arsyira berubah. Tak lagi hanya dingin atau tajam. Tapi ada sesuatu yang baru—

penasaran, curiga… dan waspada.

Karena baru kali ini, dalam hidupnya, ia mendengar Kael bicara tentang seorang wanita dengan cara seperti itu. Dengan obsesi. Dengan gairah yang menyerempet kegilaan. Dengan kepemilikan yang tidak bisa dinegosiasi.

Dan Arsyira tahu, dari raut dan nada anaknya, ini bukan sekadar cinta.

Ini adalah perang.

Dan wanita itu—siapa pun dia—mungkin akan menjadi penyebab dari kejatuhan salah satu putranya… atau kerajaan yang lebih besar.

1
Vlink Bataragunadi 👑
hmmmm.... ada yg cemburu?
Vlink Bataragunadi 👑: oooh gitu, siap kak, aku ke sana dulu /Chuckle/
Vidiana A. Qhazaly: Mungkin supaya paham alur yg ini bisa baca di morning dew dulu klik aja profilku
total 2 replies
Vlink Bataragunadi 👑
kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!