"Aku tidak bisa mencintainya, karena sejak awal hatiku tidak memilihnya. Semua berjalan karena paksaan, surat wasiat ayah, janji ayah yang harus aku penuhi."
"Semua yang terjadi bukan atas kemaunku sendiri!"
"Dengarkan aku, Roselyn... hanya kamu yang mampu membuatku merasakan cinta."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qireikharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Menyerah.
Roselyn duduk bersandar di tepi ranjangnya ia masih terdiam di dalam kamarnya dengan perasaan kalut dan gelisah sambil menggenggam erat ponselnya menatap layar berharap ada pesan masuk dari Jayden, namun sama sekali tidak ada notifikasi pesan masuk ataupun kabar darinya sejak memutuskan sambungan telepon.
“Kenapa sih, aku jadi gelisah begini?” gumamnya tampak gusar. Roselyn menggigit bibir bawahnya sambil terus bergumam,“Apa jangan-jangan dia beneran akan keluar dari kampus? Karena hal sepele begini, Ya Tuhan. Apa aku harus menerimanya?.”
Roselyn menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menahan gejolak yang tak karuan di dadanya.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Roselyn langsung menatap layar dengan perasaan kecewa ternyata Clara yang menelponnya, dengan malas, ia mengangkat sambungan itu.
“Halo, Clara. Ada apa?” ucapnya dengan tenang.
“Lyn. kamu kenapa sih, akhir-akhir ini kelihatan beda banget, kalo misalkan kamu ada masalah ceritakan padaku, aku janji gak bakal cerita pada teman-teman yang lain. Aku hanya khawatir saja sama kamu,” jawabnya.
Roselyn menggertakkan giginya, dadanya semakin sesak. Ia tahu Clara mulai curiga dengan sikapnya yang sering melamun dan tak fokus saat berada di kelas.
"Clara aku bingung mengatakannya lewat telpon, aku pengen ketemu kamu langsung. Main ke rumahku aja ya, nanti sore."
"Ya sudah kalau begitu sore nanti aku kerumah mu ya, Lyn." Jawab Clara sebelum Roselyn menutup sambungan teleponnya.
Sedangkan di ruang kerjanya, Jayden bersandar di kursi dengan wajah muram, sejak tadi ia mencoba fokus pada berkas-berkas di atas mejanya, namun pikirannya tak kunjung lepas dari bayangan Roselyn.
Jayden menatap ponselnya berkali-kali yang tergeletak di mejanya, jarinya sudah beberapa kali menyentuh layar menekan nomor Roselyn, tapi selalu ia urungkan.
“Kenapa aku harus seperti ini?” gumamnya kesal pada diri sendiri. Ia mengacak rambutnya, napasnya berat. “Seolah-olah telah menyesal memutuskan telepon dengan begitu saja.
Pikirannya teringat kembali pada bayangan Roselyn, tatapan matanya, bahkan nada bicaranya yang lembut saat meminta maaf dari sambungan telepon terus terngiang di kepalanya.
Jayden menghela napas panjang, lalu berdiri menenangkan kegelisahannya, “kalau aku hubungi duluan, apa dia akan menjauh lagi?” Gumamnya tampak ragu.
Ia mengepalkan tangannya, mencoba menenangkan dirinya. Namun semakin ia berusaha mengabaikan keinginan itu maka semakin kuat pula dorongan dalam hatinya ingin mendengar suara gadis itu, sehingga membuatnya cukup frustasi.
-----
Clara sudah tiba di rumah Roselyn. Begitu pintu rumah dibuka oleh Bibi, ia langsung melangkah masuk tanpa banyak basa-basi menuju kamarnya Roselyn.
“Hey Cla, akhirnya kamu sampai juga di rumahku,” ucap Roselyn memeluk Clara dengan antusias.
“Lyn, aku benar-benar khawatir sama kamu,” ucap Clara sambil menaruh tasnya di kursi, lalu mereka berdua duduk di atas kasur.
Roselyn terdiam, Ia menundukkan kepala, menghindari tatapan Clara yang tajam penuh kepedulian dan rasa penasaran terhadap dirinya.
“Kenapa Lyn? Ada apa? Kenapa kamu diam saja?”
Roselyn menggigit bibirnya, jantungnya berdegup kencang. Ia menatap ragu ke arah Clara, lalu buru-buru menunduk lagi. “Aku- aku bingung harus mulai dari mana,” bisiknya lirih terbata.
Clara bergeser lebih dekat, tangannya terulur menggenggam jemari Roselyn. “Mulailah dari apa yang ingin kamu ceritakan. Apa ini soal keluarga? Atau soal seseorang?” tanya Clara dengan pelan, sambil menatap ke arah Roselyn yang menundukan wajahnya dengan ragu.
Roselyn terdiam lama. Dadanya terasa semakin sesak, seolah hanya menunggu waktu yang tepat sebelum rahasia yang disimpannya rapat akhirnya terbuka.
“Aku janji Roselyn akan menjaga rahasia ini, cukup aku saja yang tahu permasalahanmu,” ucap Clara meyakinkan.
Roselyn akhirnya mengutarakan beban yang selama ini meyesakan dadanya. Roselyn meraih Clara dan memeluknya erat, suaranya bergetar ketika ia mulai berbicara, seolah setiap kata terasa berat untuk diucapkannya.
“Cla, Pak Jayden, dia ingin memiliki hubungan denganku,” ucapnya dengan lirih hampir tak terdengar. “Bahkan kalau aku nggak nerima dia, katanya dia akan resign jadi dosen.”
Clara sontak terkejut, matanya melebar tak percaya dengan apa yang diucapkan Roselyn. Clara mengusap pundak Roselyn dengan lembut mencoba menenangkannya yang terlihat sedikit takut.
“Ya Tuhan, Lyn. Dia segitu cintanya sama kamu sampai ngancam kaya gitu.” Clara menarik napasnya, sebelum kembali berbicara. “Sebenarnya sejak awal aku udah curiga, cara Pak Jayden mandang kamu itu beda, matanya seolah selalu saja tertuju padamu, seolah perasaannya gak sanggup disembunyikan.”
Roselyn melepaskan pelukannya dari tubuh Clara, dan menatap matanya sebentar. “Aku bingung, Cla. Aku juga nggak bisa bohong kalau hatiku juga merasakan hal yang sama pada dia, hatiku ikut bergetar setiap kali dia memandangku apa lagi kalau dia dekat denganku. Tapi aku juga tahu posisi kita salah, ini salah, aku mahasiswinya dan dia dosenku.”
Clara mengusap rambut Roselyn dengan pelan, suaranya lembut namun tegas. “ Gak salah Roselyn, kamu kan single, Pak Jayden juga sama kan, memangnya kenapa kalau memiliki hubungan dengan seorang dosen? Gak salah ko, malahan menurutku kalian cocok alias serasi,” jelas Clara antusias.
Roselyn kembali menatap Clara dengan serius.” Jadi, aku harus bagaimana, Cla?”
“Ya kamu harus mengalah turunkan ego kamu, Lyn. Aku ngerti banget di posisi kamu, tapi keputusan yang dibuat Pak Jayden terlalu ekstrim. Dia seharusnya jangan mengancam dengan resign hanya karena perasaan."
Roselyn terdiam mencerna ucapan Clara. Mungkin memang benar dirinya terlalu egois dan selalu mengabaikan perasaannya, padahal dengan jelas Jayden begitu sangat mencintainya.
“Jika kamu juga memiliki perasaan terhadap Jayden, kenapa begitu sulit kamu menerimanya Lyn hanya karena status kamu mahasiswa dan dia dosen? pikiranmu terlalu rumit Lyn. Padahalkan tidak apa-apa sih menurutku, jalani saja."
Setelah cukup Lama mengobrol, akhirnya Clara memutuskan untuk pulang ke rumahnya, " Lyn, semuanya terserah kamu, aku hanya memberi saran saja. Apapun yang kamu putuskan, aku mendukungmu," ucap Clara sambil berjalan beriringan keluar rumah.
Suasana rumah kembali sunyi, setelah Clara pulang. Roselyn berjalan ke kamarnya dan langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, tatapannya kosong menatap langit-langit, dalam pikirannya terus berputar sosok Jayden.
Roselyn menggenggam ponselnya dan menatap lama layar ponsel itu seakan menunggu nama “Jayden” muncul di sana. Namun tetap saja, tak ada pesan, tak ada panggilan darinya.
"Apa dia benar-benar marah? Tidak biasanya tidak menghubungi aku, bahkan untuk sekedar memberi pesan," gumamnya dengan hati yang gundah merasa kehilangan kabar darinya.
Perasaan rindu dan gelisah bercampur jadi satu. Dengan napas berat, Roselyn membalikkan badan, memeluk gulingnya sangat erat hingga lelap tertidur memendam bersama rindunya.
Lanjut Part 26》