Clarissa, yang terikat oleh sistem terpaksa harus menjalani dua kehidupan lagi agar dia bisa mati dengan tenang.
Setelah dalam kehidupan sebelumnya, suskses sebagai wanita karir yang dicintai oleh keluarga dan semua orang, kini dia terlempar ke jama di era 80 an yang terlahir sebagai bayi dari keluarga buruh tani miskin yang tinggal di desa Sukorejo.
Misi kali ini adalah mengentaskan keluarganya dari kemiskinan dan menjadi wanita suskse seperti sebelumnya.
Mampukah Clarissa yang kini bernama Lestari,seorang bayi dengan otak dan pemikiran wanita dewasa,yang sudah pernah jatuh bangun dalam menjalankan usahanya mampu menyelesaikan misinya?
Kehidupan di era 80 an tidaklah mudah, keterbatasan alat dan juga masih tingginya praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) membuat hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Lestari yang dalam kehidupan sebelumnya banyak ditunjang oleh kemajuan teknolgi dan percepatan informasi.
Penasaran...
ikuti terus kisa Lestari dalam cerita ini!
HAPPY READING...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julieta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SI PEMBUAT ONAR
Sunarti menyincing daster yang dikenakannya, berjalan cepat menuju rumah juragan Darman untuk mendiskusikan hal penting pada orang terkaya didesa Sukodadi, tetangga desa Sukorejo yang memiliki jarak 15 kg dari desanya, setelah turun dari sepeda onta yang tadi dia naiki bersama anak pertamanya, Cipung.
Jalan menuju kerumah juragan Darma sangat terjal dan licin sehingga Sunarti terpaksa turun dari sepeda karena takut tergelincir sementara anaknya berjalan dibelakangnya sambil menuntun sepeda, tak berani menaikinya karena takut terpleset dan jatuh ke jurang.
Melihat rumah bata yang sangat besar dengan lantai keramik putih yang mengkilat dan halaman luas didepannya dan beberapa truk tampak berjejer rapi disamping rumah, Sunarti tersenyum lebar.
Diapun mempercepat langkah kakinya, berlari kecil agar bisa cepat sampai didepan rumah juragan Darma.
Tok tok tok...
“Assalamualaiakum...juragan Darma!”, teriaknya nyaring.
Tak mendapat sambutan, Sunarti kembali mengetuk pintu dan mengucap salam setelah tiga ketukan pintu pertamanya tak mendapat respon.
Mendengar suara kaki mendekat kepintu dan tak lama kemudian muncullah wanita paruh baya menggunakan kerudung besar menatapnya penuh tanya. “Akang nggak ada dirumah!”, jawabnya ketus.
Semua orang sangat tahu jika istri juragan Darma, yang lebih tua lima tahun dari pria tersebut sangat pencemburu. Melihat Sunarti datang mencari suaminya, tentu dia merasa sangat tidak senang.
“Ada perlu apa mencari akang?”, tanyanya lagi dengan tajam melihat Sunarti tak bergeming dari tempatnya.
Sunarti menekan rasa tak senangnya atas sikap Aminah terhadapnya karena dia memiliki misi penting untuk dijalani.
“Jika juragan Darma tak ada, sama ibu juga tak apa”, ucap Sunarti dengan suara dibuat selembut mungkin dalam bertutur kata.
Melihat jika tampaknya Sunarti memiliki kabar penting, Aminah pun mempersilahkannya masuk.
“Cepat katakan ada perlu apa? Awas saja jika yang kamu bawa bukan kabar penting”, ucapnya penuh peringatan.
Tak ingin membuang waktu, Sunarti pun segera mengemukakan maksud tujuannya datang.
“ Apakah anak ibu, den Joko masih ingin memiliki seorang anak. Kebetulan keponakan saya baru lahir. Kondisi keluarganya sangat miskin sehingga dia tak memiliki banyak dana untuk mengurusnya. Anaknya perempuan, gemuk dan cantik. Yang paling penting dia memiliki weton Minggu pon”, ucap Sunarti menjelaskan.
Aminah yang mendengar jika bayi itu perempuan, wajahnya sedikit masam. Tapi ketika mendengar jika bayi itu memiliki weton minggu pon, wajah masamnya menghilang dengan cepat, seperti membalik buku dan langsung tersenyum cerah.
“Minggu Pon! Apa benar dia memiliki weton sebagus itu?”, tanya Aminah tak percaya.
Melihat antuisme Aminah, Sunarti pun segera mengangguk cepat, tak melewatkan kesempatan baik ini.
“Benar bu! Jika den Joko memiliki anak ini, saya yakin rejeki keluarga kecilnya akan terus mengalir seperti air sungai”, ujar Sunarti hiperbola.
Semua orang sangat tahu, siapapun yang memiliki weton ini, memiliki keberuntungan sepanjang hidupnya, namu sayangnya hanya sedikit orang yang bisa beruntung memilikinya.
Melihat keseriuasan ucapan Sunarti, maka Aminahpun tak melewatkan kesempatan baik ini.
“Berapa yang saudaramu inginkan untuk melepaskan anak itu”, tanya Aminah bersemangat.
Sunarti ragu-ragu menunjukkan satu jari telunjuknya kepada Aminah.
“Seratus ribu?”, tanya Aminah.
Melihat Sunarti menggelengkan kepala dengan cepat, Aminah pun merubah uacapannya. “Satu juta! Baik, begitu bayi itu kamu bawa, aku akan memberimu uang satu juta”, ucap Aminah cepat, takut Sunarti akan berubah pikiran.
Sunarti yang merasa jika tujuannya telah tercapai, segera pamit undur diri karena malam semakin larut.
Di era tahun 80 an, penerangan sangat minim. Hanya orang kaya saja yang bisa menggunakan lampu petromax hingga rumahnya menjadi terang sementara untuk masyarakat miskin hanya menggunakan lampu teplok yang diisi minyak tanah, itupun hanya beberapa biji dalam satu rumah.
Apalagi jalan umum, warga hanya mengandalkan sinar rembulan untuk menerangi jalan mereka, sehingga perjalanan malam hari sangat riskan bahaya.
“Ayo Pung, kita kembali”, ujar Sunarti menepuk pundak sang anak yang sedang melamun diteras rumah juragan Darma.
Keduanya naik sepeda unta dengan perlahan agar terhindar dari kecelakaan yang bisa merengut nyawa mereka.
Apalagi posisi rumah juragan Darma ini dekat jurang, sehingga kewaspadaan diri perlu ditingkatkan beberapa kali dibandingkan ketika mereka berada dijalan umum yang normal.
Sepanjang perjalanan, senyum diwajah Sunarti tak pernah luntur membayangkan uang dua juta berada ditangannya.
Cipung yang mendengar percakapan ibunya dan Aminah berusaha untuk menyampaikan pendapatannya. “Aku rasa, paklik Sunardi tak akan mau memberikan anaknya kepada juragan Darma karena bagaimanapun dia dan istrinya sudah sangat lama menginginkan anak perempuan”.
Apa yang anak sulungnya ucapkan, membuat senyum lebar diwajah Sunarti langsung menghilang.
“Kamu anak kecil, nggak usah ikut campur! Ini urusan orang tua! Awas saja kalau kamu sampai cerita kemana-mana mengenai masalah ini, aku hajar kamu hingga tak bisa berjalan lagi!”, ancam Sunarti galak, membuat Cipungpun langsung terdiam tak berani lagi untuk berkomentar.
Sunarti sangat tahu jika adik dan istrinya tak mungkin mau memberikan anaknya kepada juragan Darma. Dia juga tak bodoh untuk meminta langsung kepada mereka.
Tak bisa diambil secara baik-baik maka diapun memutuskan untuk mengambil jalan pintas dengan menculik bayi perempuan itu.
Dimasa depan, adik keduanya itu pasti akan sangat berterimakasih kepadanya karena telah meringankan satu beban hidupnya.
Dengan kondisi ekonomi yang sulit seperti keluarga adik keduanya, membesarkan satu bayi lagi, sangatlah tak mudah, jadi Sunarti menganggap jika tindakannya ini juga cukup baik karena secara tidak langsung akan mengurangi beban keluarga adik keduanya itu.
Didalam rumah Supardi, Tari yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya setelah dia melihat kilasan kejadian buruk yang sebentar lagi akan menimpanya.
“Sial! Kakak pelempuan ayah ini sangat buruk dan kejam. Tengah malam nanti, dia belniat menculikku untuk dijual ke jualagan Darma sehalga satu juta. Dasar biadab!”, ucapnya penuh amarah.
Seluruh anggota yang tengah berkumpul di ruang tamu sambil menemani kedua anak mereka belajar, sangat terkejut mendengar suara hati Tari.
“Ahhh! Kenapa aku telahir sebagai bayi! Bagaimana aku mempelingatkan kelualgaku agal wanita kejam itu tak belhasil menculikku!”, Tari merasa frustasi dan terus mengoceh dalam hati merasa jika system sangat tak bertanggung jawab, membiarkannya sendiri dan terlahir sebagai bayi.
Bukan hanya belum bisa bicara, dia juga tak bisa bergerak bebas dengan kedua tangan dan kaki pendeknya yang hanya bisa menendang dan memukul angin, membuat rasa frusatsi dalam diri Tari semakin besar.
Dengan wajah penuh keputus asaan, Tari berharap kedua orang tuanya bisa menjaganya denga baik dan dia juga berharap, takdir berada dipihaknya sehingga hal buruk yang direncanakan untuknya tak akan terjadi.
Seluruh anggota keluarga yang mendengar keluhan hati Tari, hanya bisa terdiam dan mulai menyusun rencana dalam hati.
Meski mereka masih belum sepenuhnya yakin dengan ucapan Tari, mereka tetap akan melindungi permata hati keluarga dan tak akan membiarkan satu orangpun menyakitinya.
Tari tak menyangka jika hanya dalam waktu singkat, posisinya didalam hati keluarganya sudah sangat tinggi.
Bahkan ketiga kakaknya berencana akan berjaga bergiliran nanti malam, agar keamanan sang adik bisa terjaga.
“Mas, bagaimana kalau kita pasang jebakan di pintu depan dan belakang. Juga dibawah jendela karena aku rasa, budhe pasti akan melewati jalur itu nanti malam”, ucap Aan berbisik pada Gito.
Mendengar ide brilian adiknya, Gitopun menganggukkan kepala. “Cepat selesaikan pr mu. Pada saat bapak dan ibu masuk kedalam kamar, kita bergerak”, balasnya berbisik dengan pelan.
Narto yang tak tahu apa yang kedua kakaknya bicarakan, sudah memiliki rencana sendiri dalam hatinya agar bidhenya yang jahat dan rakus itu mendapatkan pelajaran.
di tunggu upnya thor