Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Jalan Pulang yang Berbeda
Hujan turun gerimis sore itu. Aroma tanah basah bercampur dengan aroma melati dari taman kecil di belakang museum kota. Di sanalah aku dan Arvan duduk dalam diam, membiarkan suara rintik hujan menggantikan percakapan yang tak sanggup kami mulai.
Sudah lebih dari delapan bulan sejak aku meninggalkan rumah kami rumah yang tak pernah benar-benar menjadi rumah bagiku. Selama itu pula aku membangun kembali puing-puing hatiku yang remuk karena cinta yang selalu tak setara.
Dan hari ini, akhirnya, Arvan mengajakku bertemu. Kali ini bukan untuk meminta maaf, bukan pula untuk menyalahkan siapa-siapa. Hanya untuk… menyelesaikan yang tertunda.
“Ini,” katanya, menyodorkan map cokelat padaku. Tangannya sedikit gemetar. Aku menerimanya dalam diam, membukanya, dan mendapati selembar surat cerai yang telah ia tandatangani.
“Sudah waktunya,” ujarnya lirih.
Aku menatap wajahnya. Wajah yang dulu sangat kukenal, kini terasa asing. Mungkin karena aku sudah belajar untuk tidak lagi berharap apa pun darinya.
“Terima kasih,” jawabku, tulus. “Karena akhirnya kamu memilih untuk tidak menggantungku lebih lama.”
Arvan mengangguk pelan. “Kupikir dulu bertahan adalah bentuk cinta paling besar. Tapi ternyata… melepaskanmu dengan ikhlas justru cinta paling jujur yang bisa kuberikan.”
Aku menelan ludah. Kata-katanya menusuk, tapi juga menyembuhkan di saat yang sama. Aku pernah begitu mencintai Arvan. Pernah begitu berharap bahwa aku akan menjadi satu-satunya dalam hidupnya. Tapi berkali-kali aku hanya jadi pilihan terakhir kalau bukan pelengkap luka dari hubungannya yang lain.
“Arvan…” suaraku nyaris tak terdengar, “kamu tahu apa yang paling menyakitkan selama pernikahan kita?”
“Apa?”
“Bukan karena kamu tidak mencintaiku, tapi karena kamu membuatku merasa aku tak layak dicintai.”
Ia terdiam. Wajahnya menegang. “Maaf…”
Aku menggeleng. “Aku sudah memaafkan, bahkan sebelum kamu sempat meminta maaf. Aku hanya butuh menyampaikan itu, agar aku tak membawa sesak ini lagi.”
Arvan menatapku lama, lalu menunduk. Mungkin inilah pertama kalinya dalam hidupnya ia benar-benar merasakan kehilangan yang sebenarnya bukan karena aku pergi, tapi karena aku tak akan pernah kembali.
Kami duduk cukup lama. Tak saling bicara, tapi tak juga saling menjauh. Ada semacam perpisahan damai yang menenangkan hati. Setelah bertahun-tahun aku terkurung dalam pernikahan yang hampa, akhirnya aku bisa bernapas lega.
Di malam harinya, aku duduk di meja kerjaku. Lampu kecil menyala, kertas-kertas berserakan. Di hadapanku, laptop menyala dengan halaman kosong yang siap kutulis. Aku mulai mengetik:
“Perempuan itu akhirnya memilih pulang. Bukan ke rumah yang dulu membelenggunya, tapi ke dirinya sendiri. Dan di sanalah, untuk pertama kalinya, ia merasa utuh…”
Air mata jatuh satu-satu, tapi kali ini bukan karena luka. Ini adalah air mata lega, air mata yang merayakan keberanian. Aku telah selesai dengan bab luka, dan siap memulai cerita baru. Bukan karena aku sudah menemukan cinta yang lain, tapi karena aku akhirnya mencintai diriku sendiri.
Pagi harinya, aku mendapat pesan dari Rian.
Bagaimana pertemuanmu dengan dia kemarin?
Aku membalas:
Akhirnya selesai. Sekarang aku benar-benar bebas.
Beberapa menit kemudian, balasan masuk:
Kalau kamu ingin berjalan di taman sore ini, aku akan menunggu di bangku yang sama seperti minggu lalu.
Aku tersenyum. Bukan karena ingin tergesa membuka hati, tapi karena tahu… bahwa mulai sekarang, aku berhak memilih langkahku sendiri.