Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
"Apa itu benar, Siska?" tanya sang ayah, nyaris membentak.
"Ayah, jangan dibentak seperti itu, kasihan Siska!" potong sang bunda tak terima jika putrinya dibentak.
"Tapi dia harus menjelaskan video itu!" Ia menatap putrinya tajam. "Ayo, Siska, jelaskan kejadiannya!"
Semakin terpojok, Siska menyeka air mata. Sejenak ia menatap orang-orang yang berada di ruangan itu, lalu menunduk.
"Saya minta maaf. Memang saya yang memeluk lebih dulu. Saya akui memang sudah lama memiliki perasaan lebih pada Dokter Wijaya."
"Astaghfirullah, Siska!" ujar ayahnya menghela napas kasar. "Kamu benar-benar keterlaluan."
"Aku minta maaf kalau sudah membuat kegaduhan. Jujur aku lepas kendali saat melihatnya. Tapi, semua ini terjadi karena Alina yang memberi harapan untukku mendekati suaminya."
Penjelasan Siska membuat Pak Vino dan Bagas terkejut.
Keduanya menoleh dan menatap sang dokter dengan tatapan tak percaya.
Sementara Brayn tak menunjukkan reaksi terkejut sama sekali, sebab sebelum menikah, Alina memang beberapa kali berusaha mendekatkan mereka.
"Apa maksudnya Alina yang memintamu mendekati suaminya?" tanya Bagas.
"Benar, Om. Alina yang minta aku menggantikan posisinya. Alina bahkan menyerahkan suaminya padaku."
"Ini gila! Tidak mungkin!" ujar Bagas masih tak percaya. "Kalau pun Alina melakukannya, apa alasannya?"
"Alina sendiri yang mendatangiku kemarin. Dia mengatakan tidak punya banyak waktu lagi karena dia sedang sakit, dan sakitnya sudah di tahap serius. Dia berharap sebelum benar-benar pergi, suaminya sudah menemukan pengganti dirinya. Dia sendiri yang menawarkan kesempatan itu padaku."
"Apa? Alina ... sakit?"
Sekujur tubuh Bagas tiba-tiba lemas. Dalam sekejap seolah kehilangan kemampuannya untuk berpikir.
Tentu ucapan Siska ini tak dapat ia telan mentah-mentah. Terlebih, Alina tampak baik-baik saja selama ini dan tidak pernah mengeluhkan sakit.
Kecuali pingsan di hari pernikahan dan di tempat kerja kemarin.
"Brayn, apa kamu tahu sesuatu? Apa maksudnya Alina sedang sakit?" tanya Pak Vino menatap putranya.
"Ada apa dengan Alina, Bro? Apa benar apa yang dikatakan Siska?" imbuh Bagas mendesak.
Brayn terdiam,, menarik napas dalam-dalam.
"Jawab, Bro! Jangan membuatku mengulang pertanyaan yang sama!"
"Tenang, dulu. Biarkan Brayn menjelaskan." Pak Vino menepuk bahu besannya, berusaha menenangkan.
"Maafkan aku, Ayah, Papa." Sepasang mata Brayn seketika dipenuhi cairan bening memikirkan istrinya. "Aku juga baru tahu semalam, saat tidak sengaja menemukan hasil pemeriksaan kesehatan Alina. Selama ini dia menyembunyikan semuanya dari kita semua. Menurut hasil pemeriksaan itu ..Alina ...." Brayn tak kuasa melanjutkan.
Terlalu sakit rasanya.
"Tolong jangan rahasiakan apapun dariku. Kamu memang suaminya dan berhak atas Alina sepenuhnya, tapi aku Ayahnya." Suara Bagas terdengar lirih saat mengucapkan kalimat itu.
"Khumairah-ku... kanker hati, Ayah."
Selama beberapa detik bumi seperti berhenti berputar bagi Bagas. Matanya terpejam seiring dengan air mata yang mengalir.
Dadanya dipenuhi sesak, seolah udara di sekitar tak cukup untuk bernapas.
Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan, menyembunyikan tangis.
"Ya Allah, Alina." Sama seperti Bagas, Pak Vino pun sama terkejutnya.
Hati serasa remuk. Bagaimana pun juga, Alina adalah salah satu anak kesayangannya.
"Sejak kapan dia tahu? Kenapa dia tidak pernah mengatakan pada kita?"
"Alina tidak mau membebani kita dan membuat kita sedih, Pa. Dia memendam semuanya sendirian."
Bagas tak kuat lagi, hatinya serasa hancur. Tak tahan, ia segera bangkit dan keluar dari ruangan tanpa permisi.
"Maaf, saya izin keluar dulu. Bisakah kita bicara lain kali? Soal video yang beredar, saya sudah mengerahkan orang untuk menyelidiki pelaku dan menghapus video yang sudah tersebar," ucap Brayn, langsung bangkit meninggalkan tempat duduknya dan menyusul ayah mertuanya.
Pak Vino pun langsung meninggalkan ruangan, setelah sebelumnya berpamitan dengan pimpinan rumah sakit dan orang tua Siska.
Bagas berjalan cepat menuju taman belakang rumah sakit untuk menangkan diri.
Di sana ia duduk di tepi danau sambil menarik napas dalam-dalam.
Apa yang didengarnya beberapa detik lalu masih terasa menikam jantung.
Perih rasanya. Putri semata wayangnya sedang berjuang sendirian tanpa ia ketahui.
"Alina ...."
Sekarang Bagas paham alasan di balik Alina mati-matian memintanya menolak saat tahu akan dilamar oleh keluarga Hadiwijaya, padahal sebagai seorang ayah, ia tentu tahu perasaan putrinya.
Alina memendam perasaan untuk Brayn sejak lama, tapi malu karena sadar dirinya tidaklah sepadan dengan keluarga Hadiwijaya.
"Ayah ... aku minta maaf." Ucapan Brayn membuat Bagas menoleh sejenak.
"Aku benar-benar berharap ini tidak benar. Alina, putriku ... bagaimana dia bisa menyembunyikan masalah sebesar ini dari Ayahnya? Dan kamu, bagaimana bisa ikut menutupinya?"
Brayn berlutut di hadapan ayah mertuanya. Air mata tampak menggenang di pelupuk mata.
"Aku tahu, selama ini dia sengaja melakukan semua yang berlawanan dengan prinsipku supaya aku tidak menyukainya, supaya aku menjauh darinya. Dia sengaja melakukan semua itu. Ayah pasti tahu itu, kan?"
Bagas terdiam. Apa yang dikatakan Brayn memang benar adanya.
"Dia keras kepala dan pembangkang, tapi aku tahu hatinya sangat lembut. Aku sangat mencintainya, Ayah. Hanya dia yang kuinginkan jadi teman hidupku, menginginkan dia jadi Ibu dari anak-anakku. Saat menemukan bahwa dia menyimpan beban sendiri, aku merasa sangat hancur."
"Bro, kamu adalah seorang dokter. Kamu pasti paham kondisi Alina. Apa dia masih bisa sembuh? Adakah yang bisa kita lakukan untuknya? Kita bisa melakukan pencangkokan hati, bukan? Ambil saja hatiku, berikan pada putriku. Aku Ayahnya, hatiku pasti cocok untuknya, kan?"
Brayn tak kuasa menjawab, membuat Bagas memeluknya sambil menangis.
Sementara Pak Vino hanya menatap dari jarak jauh. Hatinya dipenuhi rasa khawatir.
**
**
Di sisi lain,
Sejak melihat video tentang suaminya yang beredar di sosial media, Alina mengurung diri di kamar. Ia menghabiskan waktunya untuk berdoa.
Kini ia sedang duduk di atas sajadah dengan mengenakan mukena.
Memetik tasbih di tangannya. Setiap doa yang terucap dari bibirnya diiringi air mata.
Ternyata sesakit ini melihat suaminya dipeluk wanita lain, meskipun ia sendiri yang membuka kesempatan bagi wanita lain untuk mengisi hati suaminya.
"Ampuni aku, Ya Rabb. Apakah caraku menunjukkan cinta untuk suamiku ini salah?" Ia menangis sesegukan.
Hingga rasanya seluruh tenaga seperti terpisah dari raganya.
"Ya Rabb, aku akan berusaha ikhlas seandainya waktuku tidak lama lagi. Kuatkan mereka, Ya Rabb. Terutama suamiku. Mengapa aku harus jadi beban untuknya. Bisakah aku pergi tanpa meninggalkan luka untuknya...?"
*************
*************
up lagi thor