“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukti Kuliah
Entah mengapa, mendengar nama Saras disebut-sebut dari mulut Baskoro membuat Ratih merasakan bara amarah membuncah dalam dada. Terlebih, Baskoro justru menanyakan soal obat itu. Apa dia benar-benar tidak tahu jika Saras hendak mencelakainya?
“Sudah habis. Lagian, aku sudah nggak perlu minum obat itu lagi,” jawab Ratih, berbohong dengan nada tenang. “Aku cuma pusing biasa, hanya perlu istirahat.”
Baskoro mengangguk, tidak ingin memaksa sang istri untuk menenggak obat lagi. Dia paham, beberapa hari terakhir Ratih memang sudah terlalu sering mengonsumsi obat.
“Kalau begitu, mau teh hangat? Biar Bapak bikinkan,” tawarnya dengan nada lembut.
Ratih menggeleng. “Nggak usah, Pak,” tolaknya pelan. Lalu, setelah jeda sesaat, ia melanjutkan, “Pak… gimana kabarnya sekolah Sandrawi?”
Mengikuti saran Renaya, Ratih mulai mengorek kebenaran tentang pendidikan putri bungsunya. Ia ingin memastikan—ingin mematahkan kecurigaan Renaya, meyakinkan diri bahwa Sandrawi benar-benar kuliah seperti yang selalu diceritakan.
“Kabar? Ya… jelas sudah berhenti sejak Sandrawi nggak ada, Bu. Tapi uang kuliah yang sudah dibayarkan nggak bisa balik, katanya,” jawab Baskoro santai.
“Nggak bisa dikembalikan ya? Ada bukti pembayarannya nggak?” tanya Ratih lagi.
“Bukti pembayaran? Ada… tapi buat apa memangnya?”
“Mau aku hitung semua biaya pendidikan buat Sandrawi selama ini,” ujar Ratih, mengamati perubahan raut wajah suaminya.
Sekilas, ia menangkap bayang kepanikan di mata Baskoro ketika dirinya menyinggung soal bukti pembayaran. Dalam hati kecilnya, Ratih masih berharap Baskoro bisa menunjukkan bukti nyata dan membuktikan Renaya salah.
Namun, bahasa tubuh Baskoro justru menunjukkan sebaliknya.
“Udah malam… besok saja lihat buktinya. Bapak lupa naruh di mana,” ujar Baskoro menghindar, lalu bergegas masuk ke balik selimut.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Baskoro sengaja bangun lebih dulu, sebelum sang istri membuka mata. Diam-diam ia menyelinap keluar kamar, tanpa menyadari bahwa Ratih sebenarnya sudah terjaga.
Ratih membuka matanya tepat saat pintu kamar berderit pelan. Dengan langkah pelan, ia mengikuti suaminya dari kejauhan. Perempuan itu mengintip dari balik jendela, menyaksikan Baskoro berjalan cepat menuju sebuah rumah yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah mereka. Dan Ratih mengenali benar siapa pemilik rumah itu.
Saras.
“Kenapa Bapak ke rumah Saras pagi-pagi begini?” desis Ratih, amarahnya mulai mendidih.
Di sisi lain, Baskoro mengetuk pintu rumah Saras dengan ketukan tergesa, pandangannya awas menoleh ke kiri dan kanan, takut jika ada tetangga yang melihatnya menyambangi rumah janda itu di pagi buta.
“Sebentar!” sahut Saras dari dalam.
“Cepat buka, Sar!” bisik Baskoro tergesa.
Saras membuka pintu dengan wajah masih setengah mengantuk. “Ada apa sih, Mas?”
Baskoro langsung menyelinap masuk dan menutup pintu rapat-rapat.
“Kalau Mas mau jatah pagi ini… aku lagi menstruasi, Mas,” ucap Saras polos.
“Aku ke sini bukan buat itu,” dengus Baskoro, nada suaranya kesal. “Sar, kamu punya kenalan yang bisa palsuin dokumen?”
Saras memandang bingung. “Dokumen? Mas mau palsuin dokumen apaan?”
“Retih nanyain soal bukti pembayaran kuliahnya Sandrawi. Bisa jadi masalah besar kalau aku nggak bisa kasih lihat buktinya,” sahut Baskoro, suara mulai cemas.
Saras spontan ikut panik. Mereka sama sekali tidak menyangka Ratih akan mempertanyakan hal-hal seperti itu. Selama ini mereka beranggapan Ratih tidak akan peduli, sebab selama bertahun-tahun ia sepenuhnya mempercayakan urusan kuliah Sandrawi kepada Baskoro.
“Waduh… terus gimana, Mas?”
“Makanya itu aku tanya. Kamu ada kenalan nggak yang bisa bikin dokumen palsu? Aku butuh bukti pembayaran palsu, Sar!”
Sayangnya, Saras tidak memiliki kenalan yang mampu memalsukan dokumen seperti yang diminta oleh Baskoro. Keduanya sama-sama tidak tahu harus ke mana mencari orang yang dapat melakukan kecurangan semacam itu.
Baskoro mengacak-acak rambutnya, gusar tak terkendali. “Sar, kamu harus cari orang yang bisa palsuin dokumen itu. Pokoknya harus.”
“Tapi gimana caranya? Aku beneran nggak tahu, Mas,” jawab Saras, nadanya penuh kebingungan.
“Ya terserah kamu gimana caranya!” bentak Baskoro geram. “Aku bakal alihin perhatian Ratih dari soal bukti itu, tugasmu cuma satu—cari orang yang bisa bikin bukti pembayaran palsu. Mengerti?”
Saras mendecak kesal, namun pada akhirnya hanya bisa mengangguk pasrah. Suka atau tidak, dia harus mencari seseorang yang bisa memenuhi permintaan Baskoro, entah bagaimana caranya, entah lewat siapa.
“Aku pulang duluan. Udah mulai terang. Gawat kalau sampai ada yang lihat aku keluar dari rumahmu pagi-pagi begini,” ucap Baskoro seraya mengendap-endap keluar dari rumah Saras, lalu cepat-cepat melangkah pulang.
Sementara itu, Ratih yang sedari tadi diam-diam mengintai dari balik jendela segera berbalik arah, berjalan cepat ke kamar dan merebahkan diri di atas ranjang, berpura-pura tertidur. Dadanya sesak, pikirannya bergejolak. Entah apa yang sebenarnya dilakukan suaminya di rumah Saras pagi-pagi buta seperti ini. Yang jelas, ia sempat menangkap jelas ekspresi Baskoro yang tampak gusar dan tertekan.
Hingga siang menjelang, Ratih memilih untuk tetap diam, seolah tidak tahu apa-apa. Dari sudut matanya, ia mengamati tingkah laku Baskoro yang sejak pagi tampak gelisah, lebih gelisah dari biasanya. Laki-laki itu duduk menatap televisi, namun jelas pikirannya melayang entah ke mana.
“Jadi, mana bukti pembayarannya, Pak?” tanya Ratih tiba-tiba, nada suaranya dingin dan penuh penekanan.
Baskoro sontak menoleh, wajahnya tampak gugup sesaat sebelum menyembunyikan kegelisahan itu di balik senyum tipis. “Ah… iya, tadi Bapak sudah nyari, tapi nggak ketemu, kayaknya hilang. Besok Bapak cari lagi,” kilahnya ringan.
Dalam hati Ratih mendengus sinis.
“Hilang? Atau memang nggak pernah ada?” cetus Ratih, tanpa basa-basi.
Ia sudah tidak sanggup lagi menahan ucapan yang membuncah di kepalanya sejak semalam.
“Maksud Ibu apa?” dahi Baskoro mengernyit, rona wajahnya mulai menunjukkan ketidaksukaan mendengar nada tudingan dari sang istri.
“Iya! Hilang atau memang nggak pernah ada? Sebenarnya Sandrawi itu dikuliahin atau nggak sih, Pak?” Ratih tak lagi bisa menyembunyikan amarahnya. Pertanyaan itu meluncur tanpa filter dari bibirnya.
“Maksud Ibu, nuduh Bapak bohong selama ini?!” bentak Baskoro sengit. “Udah Bapak bilang bukti pembayarannya hilang!”
Dalam hati kecilnya, ia tahu Ratih memang tepat sasaran. Tidak pernah ada kuliah untuk Sandrawi. Selama ini uang bulanan yang dikirimkan Ratih untuk biaya pendidikan putri bungsunya justru digunakan Baskoro demi kepentingan pribadinya. Namun, harga dirinya sebagai lelaki menolak untuk mengakui kesalahan itu.
“Kalo Bapak emang bener-bener kuliahin Sandrawi, mana buktinya? Mana buktinya Sandrawi kuliah?! Kasih bukti itu ke aku!” pekik Ratih, suaranya meninggi, matanya berkaca-kaca karena amarah yang selama ini ia pendam.
“Akan aku cari! Akan aku lempar bukti itu ke mukamu!” hardik Baskoro penuh emosi, kemudian tanpa sepatah kata lagi, pria itu melangkah keluar dari rumah, membanting pintu di belakangnya.
Ratih terduduk lemas di kursi ruang tengah, kedua tangannya meremas dadanya yang terasa sesak. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa keluarganya akan sehancur ini pasca kepergian Sandrawi. Wajahnya yang mulai dipenuhi garis-garis usia tampak muram, air matanya menetes tanpa suara melihat Baskoro meninggalkannya begitu saja.
Di saat Ratih tertidur siang, Saras menyelinap masuk ke rumah dan menghampiri Baskoro untuk membicarakan masalah pemalsuan dokumen. Ia sudah mencari ke berbagai arah, mengerahkan segala cara yang ia mampu, namun tetap tak menemukan sosok yang dapat membantu mereka memalsukan dokumen itu.
“Jadi gimana, Mas?” bisik Saras lirih, matanya menyelidik ke segala penjuru, memastikan tak ada seorang pun yang mendengar. Meski ia tahu, siang itu rumah hanya dihuni Baskoro dan Ratih.
Baskoro mengusap wajahnya, menahan rasa tertekan. “Ratih udah mulai curiga. Aku harus bisa kasih bukti itu bagaimanapun caranya, Sar.”
“Mbak Ratih udah curiga? Maksud Mas, curiga soal kita... atau dokumen itu?” tanya Saras, suara bergetar, matanya membesar.
“Ya dokumen lah. Urusan kita mah aman-aman aja. Yang penting sekarang gimana caranya nemuin orang yang bisa bikin dokumen palsu,” jawab Baskoro cepat, nada suaranya sengit namun penuh perhitungan.
Tak satupun dari mereka menyadari, di balik tembok kamar, ada telinga yang tajam menguping. Ratih ternyata hanya berpura-pura tertidur demi mengetahui apa yang suaminya lakukan diam-diam di belakangnya.
Dan kecurigaannya kini terjawab gamblang. Saras datang tanpa permisi kala ia sedang berbaring, dan kini suara bisikan di dapur menjadi bukti kebusukan yang selama ini ia ragukan.
“Jadi… mereka benar-benar berencana memalsukan dokumen itu,” bisik Ratih, dadanya terasa semakin berat.
Pahit, getir, semuanya bercampur aduk dalam benaknya. Suaminya sendiri ternyata dengan tega membangun istana dusta di atas kepercayaannya. Bukan hanya soal kuliah Sandrawi yang ternyata penuh kebohongan, Baskoro juga telah menikamnya dengan perselingkuhan bersama Saras.
Ratih bahkan tak sanggup membayangkan sudah berapa lama mereka bermain api di belakangnya. Yang jelas, hatinya remuk seketika saat samar-samar terdengar suara kecupan-kecupan kecil dari arah dapur. Ia tak sanggup lagi mendengar. Dengan langkah berat, Ratih kembali masuk kamar, menenggelamkan diri di bawah selimut, membiarkan isaknya pecah sejadi-jadinya.
Suami yang selama ini ia sangka setia, pria yang dulu ia percaya untuk menjaga kehormatan keluarga, kini berubah menjadi duri yang menikam tanpa belas kasih.
Beberapa saat kemudian, Baskoro masuk ke kamar, wajahnya sedikit terkejut melihat Ratih yang sudah terduduk di ranjang.
“L-loh… Bu… kapan bangun? Kok Bapak nggak tahu…” suaranya terdengar kaku, gugup. Dalam benaknya, ia dihantui ketakutan—bagaimana jika Ratih mengetahui Saras baru saja datang?
“Baru aja bangun,” sahut Ratih datar, berpura-pura menguap untuk menyembunyikan perih yang membakar dadanya.
Baskoro menarik napas lega. Ia mengira semua aman, istrinya tidak mengetahui apa pun tentang yang terjadi di balik tembok itu.
Namun Ratih hanya diam. Luka di hatinya terlalu dalam untuk diungkapkan lewat kata-kata. Tubuhnya terasa rapuh, pikirannya kacau. Demi keluarga, ia pernah Mengorbankan hidupnya, meninggalkan tanah kelahiran, menahan rindu, bekerja mati-matian di negeri orang. Dan kini, upah dari semua pengorbanannya hanyalah pengkhianatan.
Dengan langkah gontai, Ratih menuju kamar mandi. Ia membasuh wajahnya, menutupi jejak air mata yang tadi mengalir. Dada yang tadinya sesak perlahan-lahan ia paksa mereda. Kini pikirannya sibuk menimbang, menelaah apa yang terjadi dan memikirkan langkah apa yang harus ia ambil selanjutnya.
Ratih menelan pahitnya luka dengan cara paling sunyi, menyimpan getir itu seorang diri tanpa membaginya pada siapa pun, termasuk Renaya. Ia tak ingin menambah beban di pundak putrinya, terlebih badai yang menimpa mereka belum juga reda.
Ia paham benar seperti apa tabiat Renaya. Gadis itu tak akan tinggal diam bila mengetahui perbuatan Baskoro terhadap dirinya. Renaya akan berjuang mati-matian, melakukan apa pun demi melindunginya. Maka Ratih memilih mengunci luka itu rapat-rapat dalam dada, bertekad membalas semua pengkhianatan itu dengan cara setenang mungkin. Sama seperti mereka yang lihai menyembunyikan perselingkuhan selama ini, Ratih pun akan bergerak dalam senyap, tanpa suara, tanpa jejak.
Di sisi lain, Renaya juga tengah berkutat dengan misinya sendiri. Selain menggali misteri kematian Sandrawi, ia sibuk menguntit Saras dan Bagantara. Sudah jelas obat yang hampir merenggut nyawa ibunya berasal dari tangan mereka berdua.
Sayangnya, kejadian tempo hari masih menggoreskan penyesalan dalam hati Renaya. Saat ia memergoki keduanya, ia begitu terpaku oleh keterkejutan hingga lupa mengabadikan momen penting itu. Berkali-kali ia mengutuk kebodohannya sendiri. Seandainya ia sempat merekam atau mengambil gambar, tentu semuanya akan lebih mudah.
Namun kesempatan kedua seolah datang tanpa diundang. Sore itu, Renaya mengirim pesan kepada ibunya, menanyakan apakah Saras berada di rumah atau tidak. Jawaban dari Ratih datang cepat, mata ibunya menyaksikan Saras baru saja melangkah pergi beberapa menit sebelumnya.
Tanpa membuang waktu, Renaya segera menuju rumah sakit tempat Bagantara bekerja. Instingnya mengarah ke tempat itu, berharap Saras akan muncul. Dugaannya tepat. Tak butuh waktu lama, sosok Saras muncul, turun dari ojek online. Dan seperti yang sudah-sudah, Bagantara sigap menyambutnya di halaman rumah sakit.
Renaya bersembunyi di balik pepohonan rindang, ponsel telah siaga di tangan. Matanya memperhatikan pergerakan mereka dengan tajam. Keduanya berbincang sebentar, lalu Bagantara merogoh saku celananya dan menyelipkan plastik kecil ke tangan Saras secara diam-diam.
Tanpa ragu, Renaya mengabadikan semuanya. Jari-jemarinya cekatan menekan tombol perekam, menangkap gerak-gerik mencurigakan itu tanpa melewatkan satu detik pun.
“Kena kalian… dasar perempuan licik!” gumamnya lirih, senyum puas mengembang di sudut bibirnya.
Ia menyimpan ponsel ke dalam tasnya, dada terasa lebih lega. Mencari siapa yang ingin membahayakan ibunya tak sesulit yang ia bayangkan. Semua petunjuk mengarah pada satu nama: Saras.
Namun ada satu hal yang membuat benaknya terusik, keterlibatan Bagantara. Ia tak pernah menduga, pria yang menyandang status kakak iparnya itu ternyata turut andil dalam permainan kotor ini. Entah apa motif yang tersembunyi di balik wajah pura-puranya.
Tapi satu kesimpulan mulai mengkristal dalam pikiran Renaya, jika mereka tega meracuni ibunya, maka bukan tidak mungkin merekalah yang mendorong Sandrawi menuju kematian.
Renaya mengepalkan tangannya erat. Tatapannya tajam, penuh dendam yang menggelegak. Jika benar Saras dan Bagantara menjadi biang keladi dari semua kehancuran ini… ia bersumpah, mereka tak akan hidup tenang selama-lamanya.