NovelToon NovelToon
Lucid Dream

Lucid Dream

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Nikah Kontrak / Beda Usia / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers
Popularitas:426
Nilai: 5
Nama Author: Sunny Rush

Sebuah kumpulan cerpen yang lahir dari batas antara mimpi dan kenyataan. Dari kisah romantis, misteri yang menggantung, hingga fantasi yang melayang, setiap cerita adalah langkah di dunia di mana imajinasi menjadi nyata dan kata-kata menari di antara tidur dan sadar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 15

Pagi itu, suasana rumah keluarga Devano berbeda dari biasanya. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruang makan.

Sean sudah duduk di meja makan dengan ekspresi antusias sesuatu yang jarang terjadi. Biasanya lelaki itu lebih suka berlama-lama di kamar atau berangkat kerja tanpa sarapan.

“Ada apa, Sean? Kamu terlihat berbeda hari ini,” tanya Cindy, sambil menyeruput kopinya. Tatapannya curiga namun lembut.

“Tidak ada,” sahut Sean singkat, suaranya datar seperti biasa.

Zia, atau kini “Ziva”, datang membawa sarapan. Ia menaruh piring tanpa menatap Sean sedikit pun.

Tak lama, suara langkah heels terdengar di koridor.

“Pagi, Tante,” sapa Aluna cerah, senyumnya manis seperti biasa.

“Pagi, sayang. Ayo sarapan,” ajak Cindy ramah.

Aluna langsung duduk di kursi sebelah Sean. Tatapannya berbinar, tapi Sean hanya menanggapinya dengan gumaman pendek.

“Pagi, Sean.”

“Hmm.”

Zia tetap sibuk, seolah tidak mendengar apa pun. Ia menuang air ke gelas, lalu menghidangkannya di depan Sean tanpa ekspresi.

“Dia siapa, Tante?” tanya Aluna, menatap Zia dari ujung kepala hingga kaki.

“Dia Ziva, pembantu baru di rumah ini,” jawab Cindy ringan.

Zia memaksa senyum sopan.

“Selamat pagi, Nyonya.”

“Dia masih muda, ya?” Aluna menyipitkan mata, nadanya sedikit sinis.

Saat itu, Sean sempat menatap Zia sekilas dan tersenyum tipis. Tapi Zia tetap dingin, seolah tak menyadari.

Aluna menangkap itu. Ada sesuatu di balik tatapan Sean, dan entah kenapa, hatinya terasa sesak.

Zia pun melangkah pergi ke dapur, menyembunyikan degup jantung yang tiba-tiba melonjak.

Sosok itu… Aluna. Perempuan yang dulu dicintai saudaraku, dan yang kini mencintai Sean. Dunia ini kecil, tapi rasa sakitnya tetap sebesar dulu.

...

Udara sore terasa hangat. Matahari mulai condong, sinarnya menembus sela-sela dedaunan di halaman belakang.

Zia menjemur pakaian sambil mendengarkan musik dari earphone-nya. Ia bersenandung pelan, sesekali menari kecil mengikuti irama lagu.

Rumah sepi. Cindy dan Aluna pergi arisan, Devano dan Sean ke kantor.

Untuk pertama kalinya, Zia merasa bebas — atau ia kira begitu.

Namun tiba-tiba, sepasang tangan melingkar di pinggangnya.

“Bajingan!” seru Zia spontan, dan tanpa pikir panjang, ia melintir tangan itu kuat-kuat.

“Aw, Zi! Sakit!” suara Sean terdengar mengaduh di belakangnya.

Zia terbelalak, lalu mendengus kesal.

“Apa yang kamu lakukan, Sean?! Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba seperti setan?!”

Sean tertawa kecil, memegangi tangannya.

“Kenapa kamu tambah dewasa malah tambah galak?” ujarnya, masih berani menarik jemari Zia agar mendekat.

“Bukannya kamu kerja? Kenapa kamu di sini?” Zia mencoba menjauh, tapi Sean menahan tangannya.

“Aku hanya... merindukanmu, Zia.”

Zia mendelik. Rambutnya sedikit berantakan, dan Sean dengan beraninya mengelus helaian itu.

“Cih, merindukan apanya? Sudahlah, Sean. Aku masih banyak kerjaan.”

“Kenapa kamu nggak mau menikah denganku?” Sean menatapnya serius, nada suaranya kali ini berat.

Zia mendengus, matanya beralih ke tumpukan pakaian.

“Kamu mengajak perempuan lain menikah, Sean. Dan kamu sudah bertunangan.”

Sean menarik napas panjang.

“Itu suruhan Mami. Aku nggak menyukainya. Kamu tahu itu, Zia. Sejak dulu, cuma kamu yang aku mau.”

Kedua tangannya kini bertengger di bahu Zia. Tatapannya dalam, terlalu dekat, terlalu menekan.

“Sean, kamu sekarang menakutkan,” kata Zia pelan. “Dulu kamu cuek, sombong, tapi... bukan seperti ini.”

“Berhenti bicara, Zia. Aku hanya seperti ini di depanmu. Kamu satu-satunya yang bisa membuatku kehilangan kendali.”

Zia terdiam. Ada getaran kecil di dada, entah antara takut atau sesuatu yang lain.

“Kamu mudah sekali bicara cinta. Tapi ucapanmu tidak pernah berarti.”

Zia melepas diri dan berbalik, melanjutkan menjemur.

“Zia, kamu—”

“Kamu lelaki murahan, Sean. Terus mengulang kalimat ‘aku menyukaimu’ seperti itu akan membuatnya kehilangan makna.”

Sean tersenyum miring.

“Aku hanya murahan di depanmu, Zia.”

Tiba-tiba, ia merengkuh Zia dari belakang. Wajahnya menempel di bahu gadis itu, mencium kulitnya dengan lembut.

Zia membeku. Napasnya tercekat.

“Cihh, Sean! Saat seperti ini kamu malah cari kesempatan?!” bentaknya.

Pelukan Sean justru menguat.

“Kamu tetap akan bersamaku, apa pun yang terjadi, Ziavana Erlangga.”

Zia menggertakkan gigi.

“Nyesel aku kenal kamu, Sean!”

Tapi Sean hanya tersenyum, memandangi punggung Zia yang berusaha tegar.

Aku tidak akan melepaskanmu, Zia. Karena kamu… alasan masa depanku.

....

Suasana rumah kembali ramai. Sean duduk di ruang tamu bersama keluarganya dan Aluna. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi.

“Sean, apa ini bagus?” tanya Aluna sambil menunjukkan desain undangan di ponselnya.

“Hmm,” sahut Sean pendek.

Cindy menghela napas keras.

“Sean! Berhentilah bersikap seperti itu!”

“Berhentilah menyuruhku bertunangan, Mam!” jawab Sean cepat, nada suaranya meninggi.

“Kamu harus bertanggung jawab!” Cindy membalas tajam. “Kamu sudah menidurinya, Sean. Kamu sudah mengambil kehormatannya!”

Sean menatap ibunya tajam.

“Aku tidak melakukannya, Mam! Aku nggak pernah meniduri Aluna!”

“Tapi ada buktinya! Kalian di kamar yang sama—”

“Hanya karena itu? Bukti kalau aku sekamar dengannya?” Sean tertawa pendek, sinis.

“Cukup kalian berdua!” suara berat Devano akhirnya terdengar.

“Mas, tapi kita harus menikahkannya dengan Aluna,” Cindy tetap keras kepala.

“Tante, jika Sean tidak mau, aku tidak apa-apa…” Aluna berkata lembut, berusaha menenangkan.

“Ini bukan soal mau atau tidak, tapi soal tanggung jawab!” seru Cindy. “Aku putuskan satu minggu lagi Sean dan Aluna menikah!”

“Terserah, Mam!” Sean bangkit dan berjalan pergi, membanting pintu keras-keras.

Brakk! Suara kaca pecah terdengar dari lantai atas.

Sean memukul lemari hingga tangannya berdarah.

“Sean! Buka pintunya!” Cindy menjerit.

“Sean, tolong buka!” Aluna ikut menangis sambil menggedor pintu.

Devano tetap duduk tenang di sofa, matanya menatap kosong.

Zia yang baru pulang membawa belanjaan, langsung menghampiri.

“Om, ada apa?” tanyanya pelan.

“Temui Sean nanti, setelah semua pergi dari depan kamarnya,” kata Devano datar, tanpa menatap Zia.

“Tapi Om—”

“Jangan menolak tuan rumah, Zia. Temui dia.”

Zia menelan ludah.

“Baiklah, Om.”

....

Rumah sunyi. Udara malam menusuk kulit.

Zia berdiri di depan kamar Sean dengan jantung berdegup cepat.

“Ini namanya menyerahkan diri ke lubang buaya…” gumamnya.

Tok tok tok.

“Berhentilah menggangguku!” suara Sean terdengar dari dalam, disusul lemparan benda keras yang menghantam pintu.

Zia mundur setapak.

“Sean…” panggilnya pelan.

Ceklek.

Pintu tiba-tiba terbuka. Dalam hitungan detik, Sean menarik Zia masuk ke dalam.

Kamar itu berantakan kaca pecah, lemari rusak, kertas dan foto berserakan.

Zia menatap sekeliling, menahan napas.

“Marahmu seperti anak kecil. Main banting barang tanpa rasa bersalah,” katanya pelan.

Lalu matanya menangkap sesuatu di dinding.

Foto-foto dirinya. Banyak. Dari kecil, remaja, hingga dewasa. Disusun membentuk bentuk hati.

Zia terpaku.

“Sean… apa kamu ingin mempelet aku?” tanyanya setengah bercanda, setengah takut.

“Kalau boleh , mungkin iya tapi pelet hanya sementara "jawab Sean datar dari ranjang.

Zia menatap foto-foto itu lagi, matanya melembut.

Kenapa selalu orang yang tidak kita cintai yang mencintai kita seperti ini?

Ia duduk di samping Sean.

“Kenapa kamu tidak mau menikah dengan Aluna?” tanyanya akhirnya.

Sean menatapnya. Dalam. Panas.

“Ziavana Erlangga, menikahlah denganku.”

Entah kenapa, kali ini suaranya berbeda. Tidak lagi sekadar menggoda, tapi sungguh.

Jantung Zia berdetak tak karuan.

“Kenapa aku jadi gugup begini?” batinnya.

“Aku harus pergi.”

Zia berdiri cepat, tapi Sean menarik tangannya dan memeluknya.

Pelukan itu hangat. Terlalu hangat.

Zia terpaku di tempat.

Apa yang aku rasakan ini? Jangan-jangan… aku mulai menyukainya?

Tidak, tidak mungkin! Ini Sean, lelaki yang selalu menyebalkan dari dulu… tapi kenapa sekarang rasanya berbeda?

1
Idatul_munar
Tunggu kelanjutan thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!