NovelToon NovelToon
Cinta Suci Aerra

Cinta Suci Aerra

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:817
Nilai: 5
Nama Author: manda80

Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cinta Bisa Ngasih Kamu Makan?

Pekikan Ibu menggema di dalam kamar sempit itu, lebih tajam dan lebih menyakitkan dari bentakan Lika barusan. Udara terasa berat, sarat dengan kemarahan, keserakahan, dan keputusasaan. Lika, yang tadinya menatapku dengan kebencian, kini mengalihkan pandangannya. Ia seperti seekor rusa yang terpojok oleh dua predator sekaligus.

“Jawab Ibu, Lika!” Suara Ibu melengking, jarinya menunjuk lurus ke wajah Lika yang basah oleh air mata. “Kamu mau menukar masa depanmu yang sudah jelas terjamin di Paris, dengan laki-laki yang gajinya cuma cukup buat bayar sewa motor? HAH?!”

“Bu… ini bukan soal uang…” isak Lika, tubuhnya gemetar hebat. “Ini soal perasaan, Bu. Aku cinta sama Rian.”

Ibu tertawa, sebuah suara serak yang mengerikan. “Cinta? Cinta bisa kasih kamu makan? Cinta bisa belikan kamu mobil mewah kayak di depan itu? Buka matamu, Lika! Kakakmu ini sudah membukakan jalan tol menuju kebahagiaan buat kamu, dan kamu malah mau belok ke jalan setapak penuh lumpur?”

Ibu menoleh padaku, matanya menyipit tajam. “Dan kamu, Aerra! Kenapa kamu malah memberikan pilihan?! Seharusnya kamu langsung paksa dia! Kenapa jadi lembek begini?!”

Aku hanya bisa menelan ludah. Di mata Ibu, aku adalah kakak yang gagal. Di mata Lika, aku adalah iblis berwujud kakak. Kenyataannya, aku hanyalah boneka tak berdaya. “Bu, ini keputusan Lika…”

“Keputusan apa?!” potong Ibu cepat. “Anak ingusan kayak dia tahu apa soal keputusan hidup? Yang dia tahu cuma cinta-cintaan monyet! Ibu yang lebih tahu mana yang terbaik!”

Ibu kembali mendekati Lika yang semakin terisak di tepi tempat tidur. Ia berjongkok, mengubah nadanya menjadi lebih lunak. “Lika, sayang… Dengerin Ibu. Ibu ini ibumu. Mana mungkin Ibu mau menjerumuskan kamu?”

Lika menggeleng, menolak menatap wajah Ibu. “Ibu nggak ngerti…”

“Justru Ibu ngerti!” desis Ibu. “Ibu sudah merasakan hidup susah. Ibu tidak mau anak-anak Ibu merasakan hal yang sama. Lihat kakakmu! Hidupnya enak, dihormati, semua kebutuhannya tercukupi. Apa itu kurang? Sekarang giliranmu, Nak. Kesempatan ini tidak datang dua kali.”

“Tapi syaratnya, Bu… Syaratnya nggak masuk akal! Kenapa Mas Aldo setega itu sama Rian? Kenapa aku harus putusin Rian?” bantah Lika.

“Peduli apa barista itu!” bentak Ibu, kesabarannya habis. “Siapa dia? Bukan siapa-siapa! Sedangkan Nak Aldo itu siapa? Dia masa depan keluarga kita! Kamu pikir mobil di depan itu gratis? Kamu pikir Ibu bisa merenovasi dapur pakai daun kering? Semua itu dari Nak Aldo! Dari kebaikan hatinya!”

Perutku mual mendengar kata ‘kebaikan hati’ disandingkan dengan nama Aldo. Kebaikan hati yang didasari oleh kekejaman. Kebaikan yang datang dengan sebilah pisau untuk ditancapkan ke jantung orang lain.

“Sekarang, mana ponselmu?” tanya Ibu dengan nada perintah yang tak terbantahkan.

Lika memeluk tas selempangnya. “Buat apa, Bu?”

“BERIKAN PONSELMU!”

Dengan tangan gemetar, Lika mengeluarkan ponselnya. Ibu langsung menyambarnya dengan kasar. Jarinya dengan cepat menari di atas layar, mencari sebuah nama di kontak.

“Ini, kan, nomornya si Rian?” Ibu menyodorkan layar ponsel itu ke depan wajah Lika. Di sana tertera nama ‘Rian Sayang’ dengan foto seorang pemuda tersenyum di sebuah kedai kopi.

Lika hanya mengangguk lemah, air matanya kembali mengalir deras.

“Bagus,” kata Ibu dingin. “Sekarang, kamu telepon dia. Di depan Ibu dan kakakmu. Bilang kamu mau putus. Bilang kamu tidak mau lagi berhubungan dengan dia. SEKARANG!”

“Nggak, Bu! Lika nggak mau!” Lika menggeleng panik, mencoba merebut kembali ponselnya, namun Ibu lebih cepat menarik tangannya.

“Kamu mau dia dipecat besok pagi?” ancam Ibu. “Kamu mau lihat dia jadi gelandangan karena nggak ada satu kafe pun yang mau terima dia kerja? Kamu pikir menantuku itu cuma main-main? Aldo itu orang berkuasa, Lika! Satu telepon dari dia, hidup pacarmu itu hancur!”

Ancaman itu adalah pukulan terakhir. Semua perlawanannya lenyap, digantikan oleh kekalahan total. Ia menatapku dengan tatapan kosong, seolah meminta pertolongan yang ia tahu tidak akan pernah datang.

“Aku… aku nggak bisa ngomong, Bu,” bisiknya lirih.

“Kalau begitu ketik!” perintah Ibu tak kalah kejam. “Ketik pesan. Bilang padanya semua hubungan kalian berakhir! Cepat!”

Ibu menekan tombol panggil sebelum Lika sempat menjawab. Ia mengaktifkan mode pengeras suara dan meletakkan ponsel itu di atas meja belajar, tepat di antara aku dan Lika.

Nada sambung terdengar beberapa kali, setiap detiknya terasa seperti bunyi lonceng kematian bagi hubungan adikku.

“Halo, sayang? Kenapa, kok telepon?” Suara ceria seorang pemuda terdengar dari pengeras suara, memenuhi keheningan kamar yang mencekam.

Lika menutup mulutnya, isakannya tertahan. Ia menatap Ibu. Ibu balas menatapnya dengan tajam, seolah berkata, ‘Bicara, atau Rian yang menanggung akibatnya.’

“Halo? Lika? Kamu di sana, kan?” Suara Rian terdengar lagi, kali ini sedikit cemas.

Dengan tarikan napas yang bergetar, Lika akhirnya membuka suara. “Rian…” suaranya serak dan nyaris tak terdengar.

“Iya, kenapa, sayang? Suaramu kok gitu? Kamu sakit?”

“Aku… aku mau kita putus.”

Hening sejenak di seberang sana. Aku bisa membayangkan wajah bingung Rian saat ini. “Putus? Maksud kamu apa? Kamu lagi bercanda, ya? Ini nggak lucu, Lik.”

“Aku nggak bercanda,” kata Lika, memaksakan suaranya agar terdengar datar, meski setiap suku kata yang keluar dari bibirnya bergetar menahan tangis. “Aku sadar kita nggak cocok. Kita… beda dunia.”

“Beda dunia? Lika, kamu ini ngomong apa, sih? Kemarin kita baik-baik aja, kan? Ada masalah apa? Cerita sama aku, jangan kayak gini.” Suara Rian terdengar memohon.

Ibu memberiku isyarat dengan matanya, memerintahkan Lika untuk mengakhiri drama itu secepatnya.

“Nggak ada yang perlu diceritain,” sahut Lika cepat, air matanya sudah tak terbendung lagi. “Pokoknya, mulai hari ini, jangan hubungi aku lagi. Anggap aja kita nggak pernah kenal.”

“Lika! Tunggu! Jelasin dulu!”

Ibu yang mengakhiri panggilan itu. Seketika itu juga, pertahanan Lika runtuh. Ia menjatuhkan wajahnya ke telapak tangannya dan menangis sejadi-jadinya, sebuah tangisan pilu yang menyayat hati.

Aku merasa seluruh udara di paru-paruku tersedot habis. Aku baru saja menyaksikan sebuah adegan. Cinta dan harapan adikku sendiri.

“Sudah,” kata Ibu dengan nada puas, sama sekali tidak terpengaruh oleh pemandangan di hadapannya. Ia mengambil ponsel Lika dan menghapus kontak Rian, lalu memblokir nomornya. “Jangan cengeng. Harusnya kamu bersyukur. Pintu menuju surga baru saja terbuka untukmu.”

Ibu menepuk pundak Lika dengan gerakan kaku. “Sekarang bersihkan wajahmu. Nanti sore kita ke mal, cari beberapa baju baru yang pantas untuk calon mahasiswa Paris.”

Ibu kemudian berjalan ke arahku yang masih membeku di dekat pintu. Ia berhenti sejenak, menatapku dari atas ke bawah.

“Tugasmu selesai di sini, Aerra,” katanya pelan. “Sekarang pulang. Sampaikan pada suamimu, urusan di sini sudah beres. Pastikan dia senang dengan hasil kerjamu.”

Tanpa sepatah kata pun, aku berbalik dan berjalan keluar dari kamar itu, meninggalkan raungan tangis adikku di belakang. Aku berjalan melewati ruang tamu, melewati mobil putih berhias pita merah yang kini tampak seperti peti mati yang indah, dan keluar dari rumah yang terasa seperti neraka.

Di dalam taksi dalam perjalanan pulang, aku hanya bisa menatap kosong ke luar jendela. Aku merasa hina. Aku telah menjual kebahagiaan adikku demi keselamatanku sendiri. Aku tidak lebih baik dari Ibuku.

Saat mobil berhenti di depan gerbang rumah megahku, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk.

Dengan tangan dingin, aku membukanya. Pesan itu dari Aldo.

Isinya singkat, namun cukup untuk membuat darahku membeku dan seluruh harapan yang tersisa di hatiku lenyap seketika.

“Kerja bagus. Aku suka istri yang penurut. Cepat pulang, ada hadiah untukmu juga.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!