Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Pendekatan Halus
Di ruangan kantor yang luas, aroma kopi dan kertas bercampur jadi satu. Seorang pria berpakaian hitam berdiri tegak di hadapan Yoga yang bersandar di kursi kerjanya.
“Bos,” ucapnya pelan namun tegas, “wanita bernama Rima itu… istri kedua Pak Ardi, ayah Nona Kevia. Riri adalah anak bawaan dari suami pertamanya. Dari informasi yang kami dapat, Pak Ardi menikah dengan Rima hanya demi biaya pengobatan istrinya, Bu Kemala. Beliau menderita gagal ginjal dan harus cuci darah dua minggu sekali.”
Wajah pria itu menegang, suaranya semakin berat. “Tapi keluarga Pak Ardi diperlakukan seperti budak. Usaha Rima dikelola oleh Pak Ardi tanpa gaji, bahkan tanpa akses keuangan. Bu Kemala dikurung di kamar. Nona Kevia… diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu. Setelah hampir enam tahun, akhirnya mereka kabur. Sampai sekarang, Rima masih mencari keberadaan mereka.”
Rahang Yoga mengeras. Pena di tangannya berderit saat diremas. Matanya dingin, tapi ada bara yang berkobar di baliknya.
“Awasi mereka,” ucapnya rendah. “Jangan sampai keluarga Kevia menderita lagi. Dan… bantu cari donor ginjal untuk ibunya. Aku tidak mau mereka menunggu terlalu lama.”
Pria berpakaian hitam itu mengangguk. “Baik, Bos. Oh, ya… saya juga dengar, mereka sedang mencari tempat untuk membuka warung kelontong.”
Yoga menghela napas panjang. “Carikan tempat yang strategis. Jangan terlalu jauh dari kampus Kevia.”
“Baik, Bos.” Pria itu kembali menunduk, lalu keluar ruangan.
Keheningan menyelimuti kantor. Yoga mengangkat ponselnya, layar menyala memperlihatkan foto Kevia. Gadis itu tersenyum, seakan menatap langsung ke arahnya.
Senyum tipis terbit di wajah Yoga. "Aku begitu penasaran mencari siapa yang menolongku dulu. Dan saat bertemu… ternyata kaulah gadis kecil itu."
Namun sesaat kemudian, senyum itu memudar. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya.
"Om… begitu kau memanggilku. Dua belas tahun… terlalu jauh usia kita."
Yoga terdiam sejenak. Antara perasaan yang tumbuh… dan kenyataan yang tak bisa ia bantah.
Ia memejamkan mata. Dan seketika, kilasan kecelakaan itu datang.
... truk yang menghantam motornya. Bayangan samar seorang gadis kecil, wajahnya buram di antara darah dan rasa sakit, namun matanya terlihat bergetar ketakutan.
“Om…” bisiknya lirih.
Suara itu… masih terngiang jelas.
Dalam samar kesadarannya, Yoga ingat tubuh mungil itu berlutut di sampingnya. Tangannya gemetar, tapi tetap berusaha menahan darah yang mengalir deras dari luka-lukanya.
“Ya Tuhan…” suara kecilnya bergetar. “Jangan tidur, Om… dengar aku… tolong bertahan…”
Yoga nyaris tak mampu membuka mata. Dunia berputar, suaranya pun hanya terdengar seperti gema jauh. Namun kehangatan jemari itu masih terasa. Jemari kecil yang menekan lukanya, menolak menyerah.
Sirene meraung. Lampu merah-biru menembus kelam malam.
Yoga masih samar-samar merasakan genggaman kecil di tangannya, hangat, penuh ketakutan namun tak mau lepas. "Bertahanlah, Om…" suara itu berbisik, menjadi jangkar yang menahan dirinya di antara hidup dan mati.
Yoga terhenyak, membuka mata. Kilasan itu menghilang, meninggalkan sesak di dadanya. Ia mengusap wajah, menahan gejolak yang muncul.
"Gadis kecil itu… ternyata Kevia."
Dan kenyataan itu membuat segalanya semakin rumit.
***
Ardi mengusap peluh di dahinya. Kakinya terasa berat setelah seharian berkeliling mencari tempat usaha.
“Tempat strategis, sewanya memang mahal…” gumamnya letih, membeli sebotol air mineral lalu mencari tempat untuk sekadar melepas penat.
Belum sempat duduk di bawah pohon rindang, teriakan menggema dari kejauhan.
“Copet! Copet!”
Ardi menoleh, jantungnya ikut berdegup kencang. Dari arah belakang, seseorang tiba-tiba menabraknya keras.
“Ak—!”
Tubuhnya terhempas, pelipisnya membentur trotoar. Pandangannya berkunang.
Sementara itu, suara langkah riuh dan teriakan massa semakin menjauh, mengejar pencopet yang sudah melarikan diri. Tak seorang pun menyadari Ardi yang terjatuh.
“Pak! Bapak tak apa-apa?”
Sebuah suara tegas namun hangat terdengar. Seorang pria muda segera menunduk, meraih bahu Ardi, membantu menegakkan tubuhnya.
Ardi meringis, tangannya meraba pelipis. Saat menatap, jemarinya berlumur darah.
“Pelipis Bapak berdarah,” ucap pria itu dengan sorot mata khawatir. “Biar saya antar berobat.”
Ardi berusaha menolak, suaranya lemah. “Terima kasih, Nak… cukup beli obat di apotek saja.”
“Darahnya banyak, Pak. Ini harus ditangani medis.” Tanpa memberi ruang untuk membantah, pria itu, Yoga, menopang tubuh Ardi, menuntunnya menuju mobil.
Beberapa jahitan menutup luka di pelipisnya. Ardi duduk di ruang tunggu klinik, wajahnya pucat meski sudah dibersihkan. Semua biaya, tanpa diminta, ditanggung oleh Yoga.
“Bapak sepertinya kelelahan. Mari saya antar pulang,” ucap Yoga lembut, menatapnya penuh rasa hormat.
Ardi menggeleng cepat. “Ah, terima kasih, Nak. Bapak tak apa-apa. Masih ada urusan yang harus diselesaikan.”
“Tapi wajah Bapak pucat. Jahitan itu… Bapak perlu istirahat,” bujuk Yoga pelan.
Namun Ardi tersenyum, meski getir. “Bapak benar-benar belum ingin pulang. Waktu terlalu berharga untuk dibuang.”
Yoga terdiam, menatap pria paruh baya itu dengan hormat yang tak bisa ia sembunyikan. Dalam hati, ia tahu, di hadapannya berdiri calon mertua yang teguh, seorang ayah yang berjuang tanpa henti untuk keluarganya.
Sudah tiga hari Ardi berkeliling, menelusuri jalan demi jalan, menanyakan kios kosong. Namun hasilnya tetap nihil. Semua tempat strategis, sewanya terlalu tinggi.
Hatinya dicekam cemas. Takut uang yang tadinya diniatkan untuk modal usaha akan habis begitu saja, terpakai untuk kebutuhan harian dan biaya cuci darah Kemala. Jika itu terjadi, harapan mereka untuk lepas dari jerat kemiskinan kembali menguap.
Ardi menghela napas panjang. Tubuhnya semakin terasa letih.
“Bapak mau ke mana? Biar saya antar,” suara hangat Yoga memecah lamunan.
Ardi menoleh, tersenyum tipis. “Bapak lagi nyari lokasi buat buka usaha. Jadi gak pasti arahnya ke mana. Kamu sudah banyak bantu Bapak. Biaya berobat dan semua itu, Bapak gak enak kalau terus merepotkan kamu.”
Yoga menggeleng pelan, senyumnya tetap terjaga. “Usaha? Kalau boleh tahu, usaha apa, Pak? Siapa tahu saya bisa bantu.”
Ardi terdiam sejenak, lalu menjawab jujur. “Bapak pengen buka toko kelontong kecil. Sederhana saja. Tapi… sampai sekarang belum ketemu tempat strategisnya.”
Tatapan Yoga melembut. Bibirnya melengkung dalam senyum tenang. “Ah… kebetulan sekali. Saya punya rumah kosong. Letaknya cukup strategis untuk usaha semacam itu.” Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan dengan nada meyakinkan, “Kalau Bapak berkenan, rumah itu bisa Bapak sewa. Saya yakin cocok buat toko kelontong.”
Ardi menatapnya, ragu sekaligus terkejut. Tawaran itu terdengar seperti jawaban dari doa yang ia panjatkan setiap malam.
Namun di balik senyum santunnya, mata Yoga menyimpan sesuatu yang tak bisa ditebak.
Ardi masih menimbang-nimbang, ragu menerima tawaran yang datang begitu tiba-tiba. Namun sebelum ia sempat membuka suara, Yoga kembali bicara.
“Sewanya bisa kita negosiasikan, Pak. Saya gak akan minta mahal,” ujarnya tenang. “Saya cuma minta satu hal, rumah itu dirawat dengan baik. Selama ini, penyewa sebelumnya… jorok. Rumah jarang disapu, rumput dibiarkan tinggi. Genteng melorot gak dibenerin, plafon sampai rusak karena bocor. Saya capek harus benerin tiap kali ada yang keluar.”
Ardi mengernyit, mendengarkan dengan seksama.
“Letaknya di perkampungan, gak jauh dari universitas. Banyak anak kos di sana. Kalau Bapak buka toko kelontong di situ, pasti ramai. Dan kalau Bapak mau tambah ramai lagi…” Yoga mencondongkan tubuh, suaranya sedikit menurun tapi penuh keyakinan. “…kita bisa kerja sama.”
Ardi menatapnya heran. “Kerja sama apa maksudmu?”
“Saya bisa datangkan mesin fotokopi, juga peralatan tulis-menulis. Bapak jaga tempat fotokopinya, hasilnya kita bagi. Mahasiswa butuh fotokopi tiap hari, apalagi di musim ujian. Kalau Bapak bisa amanah, saya bahkan punya rencana lebih jauh.” Yoga berhenti sejenak, lalu menatap Ardi dengan sungguh-sungguh.
“Ada kontrakan khusus putri, gak jauh dari rumah itu juga. Saya butuh orang yang bisa dipercaya untuk mengelolanya. Kalau Bapak bersedia, saya serahkan ke Bapak. Saya gaji, Bapak tinggal jalankan.”
Ardi tertegun. Kata-kata Yoga bergema di kepalanya, bagai tawaran yang terlalu indah untuk nyata.
Toko kelontong. Fotokopi. Bahkan kontrakan khusus putri. Semua itu terdengar seperti jalan keluar dari lingkaran penderitaan yang selama ini menjerat keluarganya.
Namun di balik harapan itu, Ardi juga digelayuti rasa sungkan. “Nak…” suaranya lirih, nyaris bergetar, “…kenapa kamu mau bantu Bapak sejauh ini? Kita bukan siapa-siapa…”
Yoga tersenyum tipis, matanya teduh. “Anggap saja… saya sedang belajar berbuat baik pada orang yang tepat.”
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
“Kevia!”
Spontan Kevia menoleh. Napasnya tercekat. Di sana, seorang pemuda berjalan mendekat, mengenakan kemeja putih sederhana namun terlihat begitu menonjol di antara kerumunan. Senyum tipis menghiasi wajahnya.
To be continued
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus
klo sekarang jadi serba salah kan...
sabar aja dulu,Selami hati mu.ntar juga ayank mu balik lagi kok Via...
setelah itu jangan sering marah marah lagi ya,hati dan tubuh mu butuh dia.
sekarang udah bisa pesan...
hidup seperti roda,dulu dibawah, sekarang diatas...🥰🥰🥰🥰