Sebuah kumpulan cerpen yang lahir dari batas antara mimpi dan kenyataan. Dari kisah romantis, misteri yang menggantung, hingga fantasi yang melayang, setiap cerita adalah langkah di dunia di mana imajinasi menjadi nyata dan kata-kata menari di antara tidur dan sadar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Kita
"Kapan kamu akan jujur ?" tanya Reyna, matanya menatap tajam, bibirnya sedikit menekuk menandakan penasaran sekaligus tegas.
"Jujur ?" tanya Aldo, alisnya terangkat, tangan menggenggam gelisah.
Reyna memperlihatkan chatannya dengan Aldo yang disangka Bastian, menahan napas sebentar sebelum menatap Aldo.
"Kamu darimana tahu ?" tanya Reyna, nada suaranya sedikit menekan.
"Seseorang." jawab Reyna singkat, matanya menatap lurus, penuh arti.
"Maaf." ucap Aldo, menunduk malu, jemarinya memainkan pinggiran baju.
"Untuk apa ?" tanya Reyna, alisnya mengernyit, menunggu jawaban.
"Mengganggumu." jawab Aldo lirih, suaranya bergetar sedikit.
"Ya, gak papa." jawab Reyna, menelan napas, wajahnya tetap serius tapi lembut.
"Apa kamu marah ?" tanya Aldo, bibirnya sedikit mengerucut.
"Beri aku berpikir satu detik." ucap Reyna cepat, menutup mata sejenak.
"Hah." ucap Aldo kaget, matanya membesar.
"Kita coba pendekatan dulu." jawab Reyna, cepat tapi sedikit tersenyum tipis.
"Ini serius ?" tanya Aldo, matanya berbinar, bahunya sedikit bergetar menahan senyum.
"Lihat ke depan !" titah Reyna, menepuk bahu Aldo ringan.
Aldo tersenyum lega begitu pun Reyna, keduanya saling bertukar pandang malu-malu.
Nina menonton film, bahunya tergetar. Air mata menetes, matanya merah. Ia menghapusnya dengan tisu. Tangannya gemetar sedikit saat mengambil popcorn di tangan Bastian, lalu ia juga minum dari minuman Bastian.
"Nina, menghayati banget lo !" ejek Doni sambil menahan tawa, matanya menyorot Nina.
"lagi fokus, jangan ganggu !" ucap Nina cuek, menunduk.
"Cubby, lo gak papa?" tanya Bastian, mencondongkan badan, matanya penuh perhatian.
Nina melirik ke arah Bastian, wajahnya basah, napas tersengal, lalu tangisnya tambah parah meski berusaha menahan suara.
"Nanti gue bayar laundry untuk bersihin ingus ya." ucap Nina sambil mencoba tersenyum tipis, pipinya merah, membuat Bastian menahan tawa.
"Gue masih banyak duit." jawab Bastian santai, bahunya mengangkat.
Nina terus menangis, hidungnya mampet, napas tersendat.
"Bastian, hidungku mampet. Tuh gak bisa nafas !" ucap Nina, tubuhnya sedikit menekuk, mata merah.
"Lagian nangisin film kaya gitu." ucap Doni sambil menggeleng.
"Berisik lo, Doni." kesal Nina sambil menoleh tajam.
Handphone Nina terjatuh. Saat hendak mengambil, Bastian lebih cepat meraihnya. Tanpa sengaja ia menekan tombol on/off dan terlihat chat dengan Gilang.
"Handphone Lo !" ucap Bastian, menyerahkannya sambil tersenyum tipis.
"Ya, makasih!" jawab Nina, cepat-cepat mengambilnya, wajahnya merah.
Bastian menatap Nina sejenak, pikirannya berputar.
"Dia patah hati? Dia menjodohkan cintanya dengan temannya?" batinnya gelisah.
"Nina, ingus lo jangan awas jangan banyak-banyak !" ucap Bastian, suaranya lembut tapi tegas.
"Dikit doang, tapi gak bisa nafas !" ucap Nina, sesenggukan, memeluk Bastian, cengkeramannya erat, tubuhnya bergetar.
Mereka keluar dari bioskop, langkah Nina lesu di belakang Bastian.
"Gila, filmnya banyak sedihnya." ucap Melisa, tangan mengibas-ngibaskan rambut.
"Iyaa, walaupun aku gak bisa nangis." ucap Reyna datar, menyandarkan tubuh ke kursi bioskop.
"Heh, Nina mana lihat mata lo." tanya Reyna sambil menatap Nina, matanya terkejut.
"Siapa sih yang menyuruh nonton film ini? Bikin mata gue jadi kaya gini, gak bisa lihat, mana pusing sebelah karena nangis. Sialan kalian!" ucap Nina dengan suara serak, wajah memerah, keluar di belakang tubuh Bastian.
"parah sih lo mah !" Reyna dan Melisa tertawa ngakak, menutupi mulut mereka.
"Gilang, gimana?" tanya Nina, menoleh ke arah Gilang yang memegang tangan Melisa.
"seperti yang lo lihat !" ucap Gilang santai, tersenyum.
"berarti gue bisa jadi mak comblang, kasih bonus ya Lang. Awas lo kalau sombong saat sudah punya, gue jitak lo." ucap Nina sambil tersenyum lebar, matanya berbinar tapi sedikit palsu menurut Bastian.
"Apapun nanti gue kasih." jawab Gilang sambil mengacak rambut Nina, membuatnya tertawa ringan.
"Ayo kita cari makan, Gilang dan Melisa yang traktir." ajak Nina, menepuk tangan.
Mereka duduk, makanan di depan.
"Eh, nin, gue kira kalian berdua pacaran ternyata enggak." tanya Reyna, sedikit terkejut.
"Enggaklah, masa kita pacaran iya gak, Lang?" tanya Nina sambil tersenyum tipis.
"Iya, kita gak mungkin pacaran. Dia sahabat gue dari orok juga sampai sekarang, makanannya kita akur, bahkan dari SD saja kita disangka cinta monyet eh tapi dulu gue emang nembak lo kan tapi ya nembak-nembak biasa." ucap Gilang sambil tertawa.
"Ya, lo juga masih SD sudah main taruhan untuk pacaran satu hari eh malah gue yang kena, mana langsung di surat yang ditulis di depan teman-temannya. Gila si Gilang dulu, sekarang tambah gila, apalagi ditambah lagi sama yang di samping gue." ucap Nina, mata sesekali menoleh ke Bastian.
"Gak usah nyindir !" jawab Bastian, sedikit menjitak jidat Nina.
"Sakit." ucap Nina, kesal, memegangi jidatnya.
"Eh baju lo kenapa Bastian?" tanya Reyna.
"noh, air mata buaya dia bersama dengan antek-anteknya pada keluar." ucap Bastian sambil menunjuk Nina, tersenyum nakal.
"berlebihan." ucap Nina, menyesuaikan kacamatanya. Mereka makan sambil bercanda.
**
Mereka pulang ke kost. Reyna dan Melisa tidur, Nina masih menangis, mengatur napas hidung yang mampet sebelah.
Jam menunjukkan 12 malam. Nina hendak mematikan handphone, tapi Bastian menelpon. Ia menolak panggilan, menaruh handphone, menunduk lelah.
Tring… notifikasi berbunyi.
"Uang buat lo, angkat teleponnya, gue tahu lo belum tidur." pesan dari Bastian, bukti transfer 200 ribu.
Nina mengangkat telepon.
"Matre dasar !" umpat Bastian di seberang, nadanya setengah kesal setengah geli.
"Gak papa dong, harus ada bonusnya. Lagian ini jaman kapan sih, nelpon jam segini, lo lagi pesugihan atau lo nunggu gratisan nelpon?" tanya Nina, senyum tipis tapi matanya merah.
"Gak usah ngejek kali, lagian buat apa gue pesugihan gue udah kaya dari lahir." jawab Bastian sombong, bahunya terangkat.
"Ya kaya toke." jawab Nina, bibirnya menyeringai.
"Lo nangis lagi? Lo gak papa kan?" tanya Bastian lembut.
"Bisa gak lo jangan nanya seperti itu, bikin gue mau nangis lagi." ucap Nina, menahan sesenggukan, pipi basah.
Bastian minta alih video.
"Ngapain video call udah saja gini, lo gak bosan lihat muka gue." ucap Nina, menunduk, rambut menutupi wajah.
"Angkat nanti gue kasih lagi, matre." jawab Bastian, nada bercanda.
"Ya, badboy!" jawab Nina, tersenyum tipis.
Nina mengambil tisu, membuang ingus, rambut menutupi sebagian wajahnya.
"Kacamata gue mana ya?" tanya Nina, mencari.
"Nin, bisa diam gak muka lo gak keliatan!" ucap Bastian.
"bentar, kacamata gue gak ada!" ucap Nina.
Krekkkk… terdengar suara patah.
"Bastian kacamata gue patah." ucap Nina, pipinya merah, menatap layar.
"mana lihat!" tanya Bastian, kaget.
Nina menyesuaikan posisi handphone, wajahnya terlihat tanpa kacamata. Bastian terdiam, matanya menatap mata Nina yang sedikit bengkak.
"Liat bas, besok pakai apa kalau kaya gini! Mana mata gue minus karena terlalu hobi nonton drama." kesal Nina.
"Bastian!" panggil Nina, tapi Bastian tetap diam.
Nina mendekati kamera, hanya wajahnya terlihat.
Bastian dengan cepat screenshot wajah Nina.
"ada apa?" tanya Bastian, sedikit gugup.
"lo Kesambet?" tanya Nina.
"enggak." jawab Bastian, pipinya memerah.
"Doni, teman lo jagain takut dibawa lari kunti jomblo." ucap Nina, tertawa kecil melihat Doni di layar.
"Siap, nin. Eh lo Nina? Cantik bener lo kalau gak pakai kacamata." ucap Doni.
"awww." rintih Doni saat kakinya tertendang Bastian.
"kenapa lo Don?" tanya Nina, tertawa.
Doni langsung pergi, wajah kesakitan.
"Bastian si Doni Kenapa sih dia nggak kejepit sama kaki meja kan ekspresinya sangat tersisih kan?" ucap Nina, tertawa.
Bastian hanya tersenyum menikmati.
"kenapa lo bisa tahan, chubby?" tanya Bastian pelan.
"apanya?" tanya Nina.
"hati lo." jawab Bastian, tersenyum tipis.
Nina menunduk, pipinya memerah, tahu arah masalahnya kemana.
"gak usah sok tahu Lo." jawab Nina, rebahan, handphone di samping boneka.
"Lama lo, berapa tahun?" tanya Bastian.
"13 tahun, sejak dia terus bilang akan menikahinya setelah dewasa." jawab Nina, menatap langit-langit.
"Tk ?! cinta berudu dong." jawab Bastian, tertawa pelan.
"lo nyamain gue kaya anak kodok." jawab Nina kesal.
"Enggak, sayang!" ucap Bastian, tertawa.
"Ishhh, ishhh, panggilan lo badboy." ucap Nina.
"tenang, nanti gue tambahin lagi. Dasar cewek matre." ucap Bastian.
"Ya, aku memang matre, biar aku punya banyak duit, biar bisa jalan-jalan dan beli ini itu sesuai kemauanku." jawab Nina.
"Ya, nanti gue sumbang." jawab Bastian.
Mereka lanjut mengobrol sampai tertidur masing-masing.
**
Keesokan paginya, Nina sudah berada di depan kelas. Gilang menariknya ke taman belakang.
"Lo bicara apa sama Melisa?" tanya Gilang, matanya menatap tajam.
"Bicara apa?" tanya Nina
"Bicara apa?" tanya Nina, alisnya mengernyit, tangan menggenggam tas erat.
"Dia menyuruh gue untuk menjauhinya." ucap Gilang, matanya sedikit menunduk, bibirnya menekuk kecewa.
"Aku gak bicara apa-apa." jawab Nina, suaranya datar, tapi jantungnya berdebar cepat.
"Jangan bohong! Lo bilang bahwa gue akan menikahi lo setelah dewasa, lo gak salah? Mungkin lo dulu memang impian gue tapi sekarang impian gue Melisa." ucap Gilang, nadanya tegang, bahunya menegang, tangannya mengepal.
"Lalu kenapa? Apa yang salah? Kenapa bertanya seperti itu? Lo baru sehari pacaran sudah kaya rumah tangga. Kita sahabatan dari orok Lo Gilang, kenapa lo jadi begini." ucap Nina, wajah memerah, matanya berkaca-kaca, tangan menutup sebagian wajahnya.
"Kenapa? Cinta lo yang kenapa? Ternyata lo suka sama gue? Kenapa? Kenapa lo merusak semuanya?" tanya Gilang, suara meningkat, nada frustasi terdengar jelas, alisnya mengerut.
"Gue gak ganggu percintaan lo kan? Gue emang suka sama lo, tapi apa gue ganggu percintaan lo dari dulu, enggak kan? Cinta gak salah, hanya orangnya yang salah. Lagian Melisa kenapa gak bilang sama gue, pakai langsung bilang, sama saja kaya mau merusak semuanya. Gue bahkan bantuin Lo, tapi ini balasannya, Lo harusnya tahu, kalau Gue suka sama Lo berarti, gimana perasaan Gue saat Lo cerita tentang Melisa, bagaimana Gilang ?" kesal Nina, matanya memerah, napas tersengal, tangannya meremas tas.
"pokoknya buang perasaan lo dan jangan bicara macam-macam lagi, jauhin gue." ucap Gilang sambil menoleh, langkahnya cepat meninggalkan Nina, bahu tegap tapi kaku.
Nina langsung jongkok, kepala menunduk, menenggelamkan wajahnya di antara dua lutut, bahunya bergetar menahan tangis yang tersisa.
Tiba-tiba, Bastian datang, langkahnya tenang tapi matanya waspada, seakan mengawasi Nina. Ia menaruh jaketnya menutupi kaki Nina dan langsung memeluknya dari belakang.
"boleh gue pukul dia?" tanya Bastian, rahangnya mengeras, matanya menatap tajam namun terdengar nada menahan amarah.
"Gak guna juga." jawab Nina, suaranya parau, menepuk jaket Bastian lemah.
"Kenapa?" tanya Bastian, matanya menatap wajah Nina yang tertunduk, tangannya masih menahan tubuh Nina agar tetap di dekatnya.