Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Guntur di Balik Senyum
Kabar tentang Revanza Cipta yang berhasil mendapatkan investor baru melalui jaringan Arvino, sebuah langkah kecil namun vital, akhirnya terdengar di telinga Tuan Besar Hartono bagaikan pecahan kaca. Di singgasananya yang megah di puncak menara Hartono Group, tempat ia terbiasa mengendalikan nasib banyak orang, berita itu bukan sekadar kekalahan bisnis, itu adalah duri kecil yang menusuk keangkuhannya, mengingatkannya pada pemberontakan yang tak termaafkan.
Awalnya, kemarahan Tuan Besar Hartono adalah badai yang mengamuk dalam diam, merobek ketenangan buatan yang selalu ia jaga. Meja kerjanya yang luas kini dipenuhi berkas laporan intelijen tentang setiap gerakan Leon dan Revanza Cipta. Wajahnya yang keriput terlihat semakin keras, seolah diukir dari batu, matanya yang tajam memancarkan kilatan kebencian yang mendalam dan dingin.
"Jadi, anak itu tidak menyerah,"
gumamnya, suaranya rendah, nyaris seperti geraman binatang buas yang terluka. "Dan gadis itu... dia semakin berani melampaui batasnya."
Ia tak habis pikir. Bagaimana mungkin Leon, putranya sendiri, yang selalu ia pandang lemah, penurut, dan mudah dikendalikan, kini berani menantangnya secara terang-terangan? Dan Lana, gadis yang seharusnya menjadi pionnya dalam permainan kekuasaan, kini justru menjadi benteng pertahanan Leon, pilar yang menguatkannya. Amarahnya memuncak, bercampur dengan rasa malu yang membakar hingga ke sumsum. Kegagalan taktik ‘cekik perlahan’ ini tak bisa ia terima, seolah dunia berkonspirasi untuk menertawakannya.
Tuan Besar Hartono tidak pernah menganggap remeh lawannya, bahkan yang paling kecil sekalipun. Kali ini, ia menyadari bahwa Leon bukan lagi anak lugu yang bisa ia gertak dengan mudah. Ada sesuatu yang berbeda pada Leon, api baru yang ia curigai datang dari keberadaan Lana. Strategi 'David Melawan Goliath' mereka, dengan fokus pada niche dan integritas, mulai menunjukkan celah-celah dalam dominasi Hartono Group yang kaku dan raksasa.
"Jika dia ingin bermain bersih, aku akan bermain lebih kotor," gumam Tuan Besar Hartono, seringai tipis namun kejam tersungging di bibirnya. Ia menyusun rencana baru, kali ini lebih licik, menargetkan akar masalah, reputasi, kepercayaan, dan bahkan jiwa Revanza Cipta itu sendiri.
Hartono Group mulai melancarkan kampanye media yang jauh lebih canggih dan terselubung. Artikel-artikel di media massa besar, yang secara halus meragukan kredibilitas proyek-proyek spesialisasi Revanza Cipta, mulai bermunculan. Cerita-cerita tentang "risiko tinggi" dan "teknologi yang belum teruji" mulai disebarkan, menanamkan benih keraguan di benak calon klien dan investor potensial. Mereka tidak menyerang secara langsung, melainkan secara halus meracuni persepsi publik, mencoreng nama baik Revanza Cipta dengan keraguan yang tak terlihat.
sebuah mesin raksasa yang tak kenal lelah, mulai mengirimkan surat peringatan dan gugatan-gugatan kecil terkait paten atau hak cipta, bahkan jika itu hanya klaim yang lemah dan dibuat-buat. Tujuannya bukan untuk menang di pengadilan, melainkan untuk menguras waktu, tenaga, dan finansial Revanza Cipta dalam menghadapi proses hukum yang panjang dan mahal. Setiap surat tuntutan adalah panah beracun yang menargetkan semangat mereka, membuat mereka lelah sebelum pertarungan sesungguhnya.
dan Hartono Group juga mencoba menyusupkan agen ke dalam tim Revanza Cipta yang kecil dan baru terbentuk. Mereka menyebarkan desas-desus, mencoba membujuk karyawan kunci untuk keluar dengan tawaran gaji fantastis yang sulit ditolak, atau bahkan memecah belah tim dari dalam, menanamkan ketidak percayaan dan kecurigaan di antara mereka. Sebuah usaha untuk menghancurkan dari fondasi.
Ancaman itu terasa lebih pribadi, lebih menyakitkan daripada sekadar kerugian finansial. Ini bukan hanya tentang bisnis. ini tentang kehancuran moral dan psikologis, sebuah upaya untuk menghancurkan jiwa-jiwa di balik Revanza Cipta.
Leon dan Lana merasakan gelombang tekanan yang lebih besar, gelombang yang siap menenggelamkan mereka. Ada momen-momen ketika keputusasaan hampir merayap, mencengkeram. Mereka adalah tim kecil yang berjuang mati-matian melawan kerajaan yang tak terhitung besarnya.
Saat hari menjelang sore, Lana melihat Leon di mejanya, menatap kosong pada tumpukan surat gugatan yang baru tiba. Wajahnya pucat pasi, matanya lelah dan sendu. "Ini terlalu banyak, Lana," bisiknya, suaranya serak, nyaris tak terdengar. "Aku tidak tahu berapa lama kita bisa bertahan melawan semua ini. Ayahku... dia benar-benar ingin melihatku hancur."
Lana duduk di sampingnya, meraih tangannya yang dingin, menggenggamnya erat, menyalurkan kehangatan dan kekuatan. “Kita tidak sendirian, Leon. Kita punya tim yang percaya pada kita, yang rela berjuang bersama. Kita punya Arvino, yang tanpa pamrih membantu kita. Dan yang terpenting... aku dan kamu… kita berjuang bersama, Leon.”
Ia menatap Leon, sorot matanya penuh kelembutan dan harapan. "Ingat tujuan kita, Leon. Bukan hanya tentang cara bertahan hidup. Tapi membuktikan bahwa ada cara lain. Bahwa integritas itu berharga, lebih dari uang dan kekuasaan. Bahwa kamu bisa menjadi pemimpin yang lebih baik dari ayahmu, membangun perusahaan yang akan dibanggakan."
Leon menoleh, menatap Lana dalam-dalam. Di matanya, ia melihat bukan hanya dukungan semata, tetapi juga cerminan kekuatan yang ia butuhkan. Dialah perisai dan pilar bagi Leon, jangkar yang menahannya di tengah badai. Terapi yang selama ini ia jalani membantunya mengelola kemarahan dan ketakutan yang mendalam, mengubah emosi destruktif itu menjadi fokus dan strategi yang jernih.
Mereka memutuskan untuk melawan dengan cara mereka sendiri, membangun perisai tak terlihat dari integritas dan transparansi.
Lana dan Leon secara proaktif merilis pernyataan resmi tentang gugatan-gugatan itu, menjelaskan duduk perkara dengan jujur dan menegaskan bahwa mereka tidak gentar. Mereka menggunakan platform media sosial mereka untuk mengedukasi publik tentang taktik kotor yang dilakukan Hartono Group, tanpa menyebut nama secara langsung, namun dengan bukti yang jelas dan narasi yang mengena. Mereka memilih untuk menjadi ‘the good guys’ dalam cerita ini, membiarkan kebenaran berbicara.
Mereka mengadakan pertemuan rutin dengan tim kecil mereka, menjelaskan situasi yang sebenarnya dengan jujur, dan meminta masukan dari setiap individu. Leon secara pribadi meyakinkan setiap karyawan tentang visi mereka dan masa depan Revanza Cipta, memberikan semangat dan kepercayaan diri. Lana memastikan kesejahteraan tim, menciptakan lingkungan kerja yang suportif dan transparan, jauh dari intrik dan ketakutan. Ini menciptakan loyalitas yang kuat, membentengi mereka dari upaya Hartono Group untuk memecah belah.
Lana mengambil inisiatif untuk menghubungi beberapa asosiasi industri dan organisasi nirlaba yang mempromosikan praktik bisnis yang etis. Ia membagikan kisah mereka, menggarisbawahi upaya Hartono Group untuk menghancurkan persaingan sehat dan inovasi. Perlahan, suara-suara dukungan mulai muncul, meskipun masih kecil, namun itu cukup untuk memberikan tekanan moral pada Hartono Group.
Kemenangan Kecil yang Berarti
Meskipun Hartono Group terus melancarkan serangan, Revanza Cipta, dengan modal baru dari Arvino dan strategi niche mereka yang cerdik, mulai menunjukkan hasil. Proyek-proyek spesialisasi yang mereka garap mulai mendapatkan perhatian serius di pasar. Kualitas kerja mereka berbicara lebih keras daripada semua gosip dan tuntutan hukum. Klien-klien yang tadinya ragu, perlahan mulai melihat bukti nyata dari keunggulan mereka, dari etos kerja yang jujur, dan dari solusi inovatif yang mereka tawarkan.
Suatu sore yang cerah, Revanza Cipta berhasil memenangkan tender kecil namun prestisius untuk sebuah proyek teknologi inovatif yang tergolong rumit. Kabar itu tersebar cepat di industri kecil mereka, menjadi perbincangan hangat. Bagi mereka, ini bukan hanya kemenangan bisnis, ini adalah kemenangan moral, sebuah validasi bahwa jalan yang mereka pilih adalah benar.
Leon dan Lana merayakannya dengan tim kecil mereka, hanya dengan makan malam sederhana di sebuah warung bakso langganan. Dalam sorot mata Leon, Lana melihat bukan lagi bayangan keputusasaan yang menghantui, melainkan api yang menyala terang, api harapan dan kebanggaan.
"Kita berhasil, Lana," bisik Leon, saat mereka berjalan pulang di bawah bintang-bintang Sukabumi yang gemerlap, udara malam membawa aroma melati yang menenangkan. "Kita berhasil melewati satu lagi badai. Ini... ini karena kamu."
Lana tersenyum, menyandarkan kepalanya di bahu Leon, merasakan detak jantungnya yang stabil. Liontin kupu-kupu di lehernya terasa hangat, berdenyut seirama dengan detak jantungnya. Ini adalah bukti nyata bahwa cinta dan integritas bisa bertahan, bahkan di tengah badai terhebat, bahkan ketika melawan raksasa. Namun, mereka tahu, pertarungan belum berakhir. Tuan Besar Hartono adalah musuh yang cerdik, tak kenal lelah, dan punya ego yang tak terbatas. Mereka harus tetap waspada, karena badai yang lebih besar mungkin sedang menunggu di cakrawala, mungkin yang terakhir dan paling menentukan.
Bagaimana Tuan Besar Hartono akan bereaksi terhadap kegagalan serangannya kali ini, terutama setelah Revanza Cipta berhasil mendapatkan investor baru dan memenangkan proyek prestisius? Akankah ia menyerah, atau justru melancarkan serangan terakhir yang paling brutal, yang mungkin melibatkan ancaman yang lebih pribadi dan langsung?