Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14: di restui
Setibanya di rumah, suasana terasa lebih hening dari biasanya. Namun hati Fanda masih dipenuhi dengan kegembiraan dan harapan baru.
Ia duduk di sofa ruang tamu sambil tersenyum kecil, masih teringat pada pertemuannya dengan Andre.
Namun senyum itu perlahan memudar ketika Pak Hendra dan Ibu rita muncul dari arah dapur. Keduanya berdiri di depannya dengan tatapan serius.
“Fanda…” suara Ibu Rita terdengar lembut namun tegas.
“Kenapa kamu begitu bersikeras dengan Andre? Kau tahu, Stevan itu serius padamu.”
Fanda menelan ludah, suaranya bergetar pelan.
“Ibu… aku tahu Stevan orang yang baik. Tapi hatiku… hatiku tidak bisa untuk dia. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku mencintai Andre, Ibu…”
Ibu Fanda menghela napas, lalu duduk di samping Fanda. Tangannya menepuk bahu putrinya perlahan.
“Sayang, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kami tidak ingin kamu menyesal suatu hari nanti.”
Air mata Fanda menetes, namun ia berusaha bicara dengan suara tegas.
“Aku tahu Ibu… tapi tolong percayalah padaku. Aku sudah dewasa, aku tahu apa yang aku pilih. Aku siap menanggung semua risikonya, asal aku bisa bersama Andre. Aku tidak mau hidup dengan penyesalan karena tidak jujur pada hatiku sendiri.”
Pak Hendra yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara.
“Fanda… kamu terlalu keras kepala. Ayah hanya takut kalau nanti kamu akan menderita.”
Fanda menatap ayahnya, air matanya mengalir deras.
“Aku tahu risikonya, Ayah… tapi aku mohon, jangan larang aku. Aku butuh Ayah dan Ibu percaya padaku, karena aku sungguh serius dengan Andre.”
Ibu Fanda melirik suaminya, lalu berkata pelan,
“Hendra… lihat mata putrimu itu. Mungkin kita memang harus memberinya kesempatan.”
Pak Hendra menatap Fanda lama. Suasana ruang tamu hening, Hatinya berdebat antara rasa khawatir dan keinginan untuk mempercayai anaknya sendiri.
“Ayah… Ibu…” suara Fanda lirih tapi penuh keteguhan,
“Aku menangis bukan karena takut, tapi karena aku ingin kalian percaya padaku. Aku mohon…”
Pak Hendra akhirnya menarik napas panjang dan menatap putrinya dengan tatapan yang mulai melunak.
“Fanda… kalau ini memang yang kamu inginkan, kalau kamu yakin, Ayah akan memberimu kesempatan.”
Fanda tersenyum di balik air matanya. “Terima kasih, Ayah… terima kasih, Ibu. Aku sungguh menghargai kepercayaan kalian.”
Ibu Fanda langsung memeluk putrinya erat. “Sayang… Ibu cuma ingin kamu bahagia.”
Pak Hendra menepuk pundak Fanda perlahan.
“Besok, Ayah akan berbicara dengan Andre. Suruh dia datang ke kantor.”
Fanda mengangguk sambil tersenyum lega.
“Baik, Ayah…”
Malam itu, setelah perasaan tegang dan takut akan penolakan, Fanda akhirnya bisa bernapas lega. Ia merasa damai untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Di kamar, Fanda berbaring sambil menatap atap, lalu mengambil ponselnya. Ia menekan nomor yang tadi disalin dari catatan di mobil. Nada dering terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara yang sangat ia rindukan muncul.
“Halo… Mbak Fanda?” suara Andre terdengar lembut, sedikit terkejut menerima telepon larut malam.
Fanda menggigit bibirnya, menahan senyum haru.
“Mas Andre… besok aku ingin kamu datang ke kantor.”
“Kantor? Ada apa, Mbak Fanda?” nada Andre berubah serius.
Fanda menarik napas panjang.
“Selain kembali bekerja… Ayah ingin bicara denganmu, besok.”
Andre terdiam lama.
“Ayahmu… ingin bicara denganku?”
“Iya,” jawab Fanda pelan tapi tegas.
“Ini kesempatan kita, Mas. Ayah dan Ibu akhirnya mau memberi kita kesempatan.
Jadi kumohon… datanglah besok. Jangan takut. Aku akan di sampingmu.”
“Aku akan datang besok, Mbak Fanda.”
Fanda menutup matanya, senyum kecil muncul di wajahnya.
“Terima kasih, Mas Andre. Aku percaya… kita bisa melewati ini bersama.”
Setelah panggilan itu berakhir, Fanda berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Dadanya berdebar, antara gugup dan bahagia. Besok akan menjadi hari penting, hari di mana cintanya diuji di hadapan ayahnya.
Keesokan harinya, pagi itu udara terasa berbeda. Andre melangkah ke arah gedung kantor tempat Fanda bekerja. Ia mengenakan kemeja putih bersih, rambut disisir rapi. Walau tampak tenang di luar, di dalam dadanya ada kegugupan yang tak bisa disembunyikan.
Setibanya di lobi, Andre menyapa petugas keamanan dengan sopan, lalu naik menuju ruangan Fanda.
Tok... tok... tok...
“Masuk,” terdengar suara berat dari dalam ruangan.
Andre menelan ludah, lalu membuka pintu dengan hati-hati.
“Assalamualaikum, Pak... Mbak Fanda.”
Pak Hendra menatapnya dari balik meja kerja, ekspresinya datar namun tegas.
“Silakan duduk,” ucapnya.
Andre duduk pelan. Fanda hanya bisa menatap dari sisi ruangan, tampak gugup tapi mencoba memberi senyum penyemangat.
Pak Hendra bersandar di kursinya.
“Aku tidak suka bertele-tele,” ucapnya datar.
“Kau tahu kenapa aku memanggilmu ke sini?”
Andre menarik napas.
“Saya tahu, Pak. Fanda sudah bicara pada saya tadi malam.”
“Kalau begitu, jawab pertanyaanku,” lanjut Pak Hendra.
“Apa kau benar-benar mencintai Fanda? Atau kau hanya mengincar hartanya?”
Andre menatap mata Pak Hendra.
“Saya mencintai Fanda, Pak. Saya sadar saya bukan siapa-siapa, tapi saya tidak pernah, sekalipun, memikirkan hartanya.”
Pak Hendra menatap tajam, mencoba menilai kejujuran di wajah Andre.
“Kau sadar, jalan yang kau pilih tidak akan mudah? Fanda sudah terbiasa hidup berkecukupan. Apa kau siap menanggung semua beban, bukan hanya perasaanmu, tapi juga masa depannya?”
Andre menghela napas panjang, lalu mengangguk mantap.
“Saya sadar, Pak. Saya memang tidak sempurna. Tapi selama saya masih bisa bernapas, saya tidak akan membiarkan Fanda menderita. Itu janji saya.”
Fanda menutup mulutnya dengan tangan, air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Ia tahu, Andre bicara dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar detak jam dinding. Pak Hendra terdiam lama, lalu perlahan bersandar ke kursinya.
“Kau berani juga berkata begitu di hadapanku,” ucapnya pelan.
“Baiklah. Di mana orang tuamu sekarang?”
“Di kampung, Pak,” jawab Andre sopan.
“Undang mereka datang ke sini secepatnya,” ujar Pak Hendra, menatap Andre lekat-lekat.
“Karena kalian... akan saya nikahkan.”
Fanda membelalakkan mata, sementara Andre nyaris tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar.
“maksud Bapak?”
“Ya,” potong Pak Hendra dengan nada tenang.
“Kalian berdua akan menikah.”
Fanda dan Andre saling berpandangan, air mata bahagia mulai menggenang di mata mereka.
“Apakah kalian tidak setuju?” tanya Pak Hendra, pura-pura serius.
Dengan serentak, mereka menjawab: “Setuju, Ayah.”
“Setuju, Pak.”
Sekilas, senyum tipis muncul di wajah Pak Hendra.
“Ayah berencana menikahkan kalian secepatnya. Ayah ingin saat Ayah berangkat bulan depan, Fanda sudah memiliki seseorang yang bisa menjaganya.”
“Tapi, Pak…” Andre sempat ragu.
“Uang saya belum cukup untuk biaya pernikahan…”
Belum sempat ia melanjutkan, Pak Hendra memotong tegas,
“Soal itu, tidak perlu kamu pikirkan. Kami tidak kekurangan untuk membuat pesta yang layak. Kamu hanya perlu menyiapkan mas kawinnya saja.”
Ia menatap Fanda.
“Dan kamu, jangan memberatkan calon suamimu dengan mahar yang berlebihan.”
“Iya, Ayah,” jawab Fanda lembut.
“Aku hanya ingin menikah di kantor agama saja. Aku tidak ingin pesta yang mewah. Aku hanya ingin pernikahan yang sederhana, tapi penuh makna.”
Pak Hendra menatapnya dengan bangga, lalu tersenyum kecil.
“Baiklah. Kita lanjutkan pembicaraan ini setelah keluargamu tiba di sini,” katanya kepada Andre.
“Baik, Pak. Saya akan memberi kabar pada mereka besok.”
“Bagus. Lebih cepat lebih baik,” ujar Pak Hendra sambil berdiri.
“Ayah pamit dulu.”
Andre dan Fanda berdiri, mengantarnya sampai ke depan kantor. Di sepanjang lorong, langkah mereka terasa ringan. Mata mereka saling bertemu, dan senyum kecil muncul di bibir masing-masing.
Mereka tahu, perjuangan panjang yang selama ini terasa berat akhirnya berbuah manis. Cinta yang sempat diragukan kini mendapat restu.
Andre menggenggam tangan Fanda erat.
“Terima kasih sudah percaya padaku,” bisiknya pelan.
Fanda tersenyum haru.
“Dan terima kasih sudah berani memperjuangkan aku.”
Hari itu, hati mereka dipenuhi harapan baru. Perjuangan cinta yang lama teruji akhirnya menemukan akhir yang indah ,bukan hanya karena restu, tapi karena mereka memilih bertahan dengan ketulusan.