NovelToon NovelToon
Rahasia Di Balik Cinta Terlarang

Rahasia Di Balik Cinta Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Duniahiburan / Rumahhantu / Mafia / Cintapertama / Berondong
Popularitas:978
Nilai: 5
Nama Author: Ulina Simanullang

Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14: Luka yang tak terobati

Hujan turun sejak pagi, seolah langit ikut berduka bersama Stefany. Hari itu adalah hari ketiga setelah pemakaman Stefanus, tapi rasa sakit di dada gadis itu sama sekali belum berkurang. Malah semakin berat, semakin menghimpit, seakan setiap detik yang berlalu hanya menambah perih yang ia rasakan.

Sejak kepergian Stefanus, kamar Stefany menjadi saksi bisu bagaimana seorang gadis yang biasanya ceria kini berubah menjadi bayang-bayang dirinya sendiri. Rambutnya yang selalu tergerai rapi kini berantakan. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Nafsu makannya hilang, bahkan tidur pun sulit.

Ia hanya berbaring di ranjang, menatap kosong ke langit-langit kamar. Dunia di luar berjalan seperti biasa,burung-burung masih berkicau, matahari tetap terbit, orang-orang tetap bekerja dan kuliah,tapi bagi Stefany, semuanya sudah berhenti sejak hari itu.

Hari ketika Stefanus pergi.

“Kenapa harus dia… Kenapa bukan orang lain saja…” bisiknya lirih, suara nyaris tak terdengar.

Ada rasa tak percaya yang terus menggerogoti hatinya. Baru beberapa minggu yang lalu mereka resmi pacaran. Baru beberapa kali Stefanus mengantarnya pulang setelah kuliah. Baru beberapa kali mereka tertawa bersama di kantin universitas, berbagi cerita tentang dosen yang galak atau tugas yang menumpuk.

Semua terasa terlalu singkat. Terlalu cepat berakhir.

Malam-Malam yang Penuh Isak Tangis

Malam selalu menjadi waktu yang paling berat untuk Stefany. Begitu sepi datang, kenangan tentang Stefanus menyerbu tanpa ampun.

Malam pertama setelah pemakaman, ia memeluk bantalnya erat-erat, mencoba menahan isak. Tapi tangis itu selalu menemukan jalannya, keluar begitu saja hingga dadanya terasa sesak.

Di kepalanya, wajah Stefanus terus muncul. Senyum sederhana itu. Tatapan teduhnya setiap kali memandangnya. Cara Stefanus memanggil namanya dengan nada hangat yang entah kenapa selalu membuatnya merasa berarti.

Sekarang semua itu hanya ada di ingatannya.

Stefany ingat saat terakhir kali mereka bertemu di kampus. Stefanus mengajaknya duduk di bangku taman universitas setelah kelas selesai. Waktu itu Stefanus berkata pelan,

“Aku nggak janji bakal selalu sempurna buat kamu, Stef… tapi aku janji bakal selalu ada.”

Kalimat itu menusuk seperti pisau sekarang. Bagaimana mungkin Stefanus berjanji akan selalu ada, kalau sekarang bahkan bayangannya pun tak bisa ia temui lagi?

Air mata jatuh lagi, dera

Pak Arman, ayah Stefany, beberapa kali mencoba mengajak putrinya bicara. Tapi Stefany selalu menolak.

Suatu sore, ketika Stefany akhirnya keluar dari kamarnya hanya untuk mengambil segelas air, ayahnya menghentikannya.

“Stef… Ayah tahu kamu lagi sedih. Tapi kamu nggak bisa terus begini. Kamu harus makan, kamu harus istirahat.”

Stefany menatap ayahnya dengan mata merah dan penuh amarah.

“Kalau Ayah bener-bener ngerti, Ayah pasti datang ke pemakaman itu. Ayah bahkan nggak keliatan sedih sama sekali!”

“Stef, bukan gitu maksud Ayah…”

“Udah, Yah! Stef nggak mau ngomong!” potong Stefany, lalu berjalan cepat ke kamarnya dan menutup pintu dengan keras.

Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi menyapa ayahnya. Bahkan di meja makan pun Stefany hanya diam, lalu pergi tanpa sepatah kata.

Pak Arman berdiri memandangi punggung putrinya dengan wajah sulit terbaca. Tidak ada yang tahu apa yang ada di pikirannya.

Rasa Kehilangan yang Tak Tertahankan

Hari-hari berikutnya, Stefany makin terpuruk. Ia tidak lagi datang ke kampus. Teman-temannya mencoba menghubungi, tapi semua pesan hanya dibaca tanpa balasan.

Ia sering duduk di tepi jendela kamarnya, memandangi jalanan di depan rumah. Entah apa yang ia tunggu. Mungkin berharap Stefanus tiba-tiba muncul, tersenyum, dan berkata kalau semua ini hanya lelucon buruk.

Tapi yang datang hanya angin sore yang membawa debu dan daun-daun kering.

“Stefanus… aku bahkan nggak sempat bilang kalau aku bener-bener sayang sama kamu,” bisiknya suatu malam.

Penyesalan itu menghantam lebih keras dari apa pun. Mereka baru saja memulai, tapi takdir langsung merenggut segalanya sebelum sempat tumbuh.

Malam itu, Stefany kembali terjaga. Jam di dinding menunjukkan pukul dua lewat lima belas menit. Udara dingin merayap masuk dari celah jendela, membuat tubuhnya menggigil. Tapi bukan dingin yang membangunkannya—melainkan mimpi buruk yang sama seperti malam-malam sebelumnya.

Dalam mimpi itu, ia melihat Stefanus berlari di sebuah lorong gelap, dikejar bayangan hitam yang tak pernah bisa ia kenali. Stefany berlari mengejarnya, berteriak memanggil namanya, tapi suaranya tak pernah sampai. Stefanus berlari… dan berlari… sampai akhirnya cahaya menyilaukan datang, dan tubuh Stefanus terhempas ke tanah.

Setiap kali mimpi itu datang, Stefany terbangun dengan jantung berdebar kencang dan napas tersengal-sengal. Seolah ia ikut berlari bersama Stefanus di mimpi itu. Seolah ia melihat detik-detik terakhir hidupnya yang sebenarnya tidak pernah ia saksikan.

Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, menangis lagi. Tubuhnya gemetar.

“Stefanus… kenapa semua harus begini?”

Pemakaman yang Tak Pernah Terlupakan

Bayangan pemakaman Stefanus juga terus menghantuinya.

Ia masih ingat jelas aroma tanah basah yang menusuk hidungnya waktu itu. Langit mendung, tapi tidak sampai hujan. Orang-orang berdiri mengelilingi liang lahat, sebagian menunduk, sebagian lagi berbisik-bisik pelan.

Stefany berdiri mematung, menatap peti kayu sederhana yang perlahan diturunkan. Kakinya terasa lemas, seperti kehilangan tulang. Ia bahkan tidak ingat bagaimana bisa sampai di situ. Semua terasa seperti mimpi buruk yang berjalan terlalu cepat.

Ketika tanah mulai menutupi peti itu, Stefany akhirnya menangis histeris. Teman-teman kampus yang ikut melayat mencoba menenangkannya, tapi tangis itu tak bisa dibendung.

“Stefanus… jangan pergi…” jeritnya waktu itu, suara pecah di antara isak.

Sejak saat itu, setiap kali memejamkan mata, Stefany selalu melihat peti kayu itu tertutup tanah sedikit demi sedikit. Wajah Stefanus yang dulu penuh senyum kini hanya tersisa di kepalanya sebagai bayangan samar yang terus menimbulkan rasa sakit.

Hari-Hari yang Berjalan Hampa

Hari berganti, tapi Stefany seperti tidak peduli.

Ia mulai jarang bicara dengan siapa pun di rumah. Bahkan dengan para pembantu yang biasanya akrab dengannya. Semua pesan dari teman-teman kuliah hanya dibaca tanpa balasan. Telepon dari dosen pembimbing pun diabaikan.

Kehidupan kuliahnya yang biasanya sibuk kini seolah tidak berarti apa-apa. Tugas-tugas menumpuk, tapi Stefany tidak peduli.

Yang ia rasakan hanyalah kekosongan.

Kadang ia duduk di teras rumah, memandangi jalanan di depan pagar. Ada harapan konyol bahwa Stefanus tiba-tiba muncul di ujung jalan, melambaikan tangan, dan berkata kalau semua ini hanya salah paham.

Tapi yang ada hanya suara mesin mobil lewat, atau anak-anak kecil bersepeda sore-sore. Tidak pernah ada Stefanus.

Pertengkaran yang Tak Pernah Selesai

Suatu malam, Pak Arman kembali mencoba berbicara dengan putrinya.

“Stef, Ayah tahu ini berat buat kamu. Tapi kamu harus kuat. Stefanus pasti nggak mau lihat kamu begini,” ucapnya pelan.

Stefany menoleh dengan mata merah dan wajah penuh amarah.

“Kalau Ayah benar-benar ngerti perasaanku, Ayah pasti datang waktu pemakaman itu. Tapi Ayah nggak datang. Ayah bahkan nggak keliatan sedih sama sekali!”

Pak Arman terdiam.

“Buat Ayah, Stefanus cuma… orang biasa, kan? Nggak ada artinya sama sekali!” suara Stefany bergetar tapi tajam.

“Stef…” Pak Arman mencoba bicara, tapi Stefany sudah lebih dulu berlari ke kamarnya, membanting pintu keras-keras.

Di balik pintu itu, ia menangis lagi.

Penyesalan yang Menghantui

Stefany duduk di lantai kamarnya, memeluk lutut. Kepalanya terasa berat, matanya bengkak.

Ia teringat hari terakhir mereka bertemu di kampus. Stefanus mengantarnya pulang, seperti biasa. Tapi hari itu, Stefany buru-buru masuk ke rumah karena ada urusan keluarga. Ia bahkan tidak sempat mengucapkan kalimat apa pun selain “Hati-hati di jalan.”

Itu saja. Tidak ada pelukan. Tidak ada ucapan terima kasih. Tidak ada ungkapan perasaan yang seharusnya ia sampaikan.

Dan sekarang… ia tidak akan pernah punya kesempatan itu lagi.

1
Ida Bolon Ida Borsimbolon
mantap,Tetap semangat berkarya💪☺️
argen tambunan
istriku jenius bgt lah♥️♥️
argen tambunan
mantap
Risno Simanullang
mkasi kk
Aiko
Gila keren!
Lourdes zabala
Ngangenin ceritanya!
Risno Simanullang: mkasi kk
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!