NovelToon NovelToon
Gara-Gara COD Cek Dulu

Gara-Gara COD Cek Dulu

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama / Wanita Karir / Romansa / Trauma masa lalu
Popularitas:939
Nilai: 5
Nama Author: Basarili Kadin

Berawal dari pembelian paket COD cek dulu, Imel seorang guru honorer bertemu dengan kurir yang bernama Alva.
Setiap kali pesan, kurir yang mengantar paketnya selalu Alva bukan yang lain, hari demi hari berlalu Imel selalu kebingungan dalam mengambil langkah ditambah tetangga mulai berisik di telinga Imel karena seringnya pesan paket dan sang kurir yang selalu disuruh masuk dulu ke kosan karena permintaan Imel. Namun, tetangga menyangka lain.

Lalu bagaimana perjalanan kisah Imel dan Alva?
Berlanjut sampai dekat dan menikah atau hanya sebatas pelanggan dan pengantar?

Hi hi, ikuti aja kisahnya biar ga penasaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Basarili Kadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penolakan

"Gimana, diterima?" tanya Alva membuatku gemetaran.

Aku menatapnya, senyumnya tulus penuh harap, tetapi aku masih keberatan meski aku nyaman ngobrol bersamanya.

"Ini dari A Alva, beneran dari A Alva?" tanyaku dengan nada perlahan.

Alva mengangguk.

Aku merapikan kembali kotak emas itu, begitupun surat-suratnya aku rapikan kembali.

Ya, ini memang di luar dugaanku, aku berpikir jika ini adalah ulah Pak Ardi, tetapi ternyata ini Alva.

Apa aku senang? Tidak. Aku belum bisa sepenuhnya senang.

"Ini, ambil lagi." Aku menyerahkan kembali kotak tersebut kepadanya.

"Kenapa, Gak suka?" tanyanya dengan raut wajah kecewa.

"Suka kok," jawabku menyunggingkan senyum terpaksa.

"Terus kenapa dikasih lagi?"

Aku diam sejenak, untuk berpikir menjawab pertanyaannya dengan baik dan masuk akal.

"Apa karena murah hanya empat jutaan?" Dia sudah merasa tidak enak sepertinya.

"Engga kok, bukan. Saya suka, kok."

"Terus kenapa? Harus cincin? Kan cincin dipakainya nanti kalau mau melamar, sedangkan ini hanya sebuah bukti dan juga izin saya," jelasnya.

"I-iya tapi ... saya tidak bisa," jawabku tertunduk.

"Kenapa? Ada orang lain?" tanya lagi.

"Engga."

"Lalu?"

"Izinkan saya berpikir dulu," ujarku seraya menatapnya.

Rasanya tidak tega, tetapi aku lebih tidak tega jika melihat dia ke depannya akan seperti apa.

Senang, aku senang banget tiba-tiba sudah mau dilamar aja, padahal baru kenal. Tapi aku masih belum percaya, bahkan aku pun belum terlalu menyebalkan dan menjengkelkan.

Memang sih, seumur hidup baru kali ini aku dibuat senang dan merasa bangga seperti benar-benar ingin dimiliki, tetapi kenapa harus sama Alva?

Iya, aku juga memang nyaman bersama Alva, tetapi aku juga bingung bagaimana ke depannya. Aku tidak bisa suka dengan Alva.

Kalung yang dia berikan padaku memang tidak sebanding dengan harga kalung yang kumiliki di rumah, tetapi mungkin karena aku tidak memakainya di sini dan kerjaanku hanya sebatas honorer, Alva pun memberikan kalung. Meskipun begitu, aku benar-benar suka dan bangga walaupun aku menolaknya.

"Sudah mikirnya?" tanya Alva, membuatku seketika langsung menolehnya.

"Saya perlu waktu," jawabku menatap wajahnya.

"Tapi kenapa? Ga suka? Apa karena saya hanya kurir?"

Waduh, ini benar-benar membuatku bingung.

"Tidak, A. Benar-benar tidak bermaksud begitu, tetapi saya belum bisa. Maaf," ujarku kembali memberi penjelasan.

"Tapi apa alasannya jika memang tidak ada orang lain yang ditunggu atau yang sudah memiliki, apa alasannya?" Lagi-lagi Alva memintaku untuk memberikan alasan yang pastinya.

"Aku belum jatuh cinta sama A Alvanya," jawabku sekenanya.

"Hanya itu?"

"Iya."

"Apa susahnya bilang itu dari tadi."

"Lalu?"

"Saya tetap ingin mendapatkan izin dari teteh guru ini," ucapnya kembali tersenyum.

Lah kok aneh? Kenapa dia malah tersenyum? batinku bertanya-tanya. Apa dia tidak sakit mendengar pengakuanku kalau aku tidak cinta?

Kenapa orang ini aneh sekali.

"Izin apa maksudnya?"

"Izin melamar dan terima ini."

Dia kembali memberikan kotak kalungnya.

"Tapi kata saya kan tidak bisa, saya menolaknya A."

"Hanya karena alasan tidak cinta bukan berarti tidak boleh mendapatkan izin."

"Ya sudah, saya tidak akan mengizinkan A Alva melamar saya. Itu maksudnya, saya menolak permintaan lamarannya, saya belum siap."

"Saya akan tunggu sampai siap."

"Ya sudah, Aa nya pulang aja. Sebelum saya berubah jadi monster dan marah-marah sama Aa nya. Kan saya sudah bilang saya ini gak sebaik yang Aa kira."

"Oh, ya begitu?"

"Lah iya." Tiba-tiba saja percakapan yang tadinya seakan sedih menjadi percakapan yang membuat naik darah dan bar-bar.

"Yakin gak baik teteh nya sama saya?"

"Ya yakin, kan saya sudah bilang."

"Ya sudah, ini terima atuh kalungnya."

"Ya gak mau, kan saya dah bilang gak mau."

"Katanya matre."

Huff, seketika mulutku terkunci.

"Ya ... ya emang," ucapku percaya diri menyembunyikan kegugupanku dengan netra yang berani menatap bola matanya.

"Kalau matre, ini kalung bakalan diambil tanpa mikirin hati pemberinya, namanya orang matre pasti memanfaatkan orang lain, yang penting dirinya diuntungkan."

"Ckkkk, apa sih!" decakku berdiri.

"Iya emang bener kan?" tanyanya mendongak ke arahku, dia masih tetap dalam posisi duduk.

"Sudahlah, Aa pulang aja sebelum saya jadi monster, atau emang sengaja mau lihat saya marah? Atau mau tahu kecerewetan saya menghadapi Aa nya. Padahal kan saya sudah bilang gak cinta."

"Ya wajarlah, tapi bukan tidak cinta melainkan belum cinta, dan itu hal wajar karena teteh nya baru kenal saya. Tapi saya yakin, teteh bakal jatuh cinta ke depannya."

"Enggak! Saya gak mau jatuh cinta!" teriakku karena tidak mau jatuh dan sakit hati.

"Kalau membangun cinta mau?" tanyanya membuatku kikuk, aku diam tidak menjawab.

"He he, mau kan?"

"Ah apaan, sih. Sudahlah A, Aa nya pulang dan ambil kembali kalungnya. Saya belum mengizinkan, sebentar lagi magrib, ini sudah gelap."

"Gapapa, saya akan tunggu sampai diberi izin."

"Aish, ya sudah. Aa keluar," usirku seraya mengangkat tangannya.

Tanpa ada kata lagi, Alva pun keluar berjalan menunduk. Sedangkan aku buru-buru mengunci pintu takut ada yang datang lagi.

***

Jam sembilan malam, aku terbangun setelah mengerjakan tugas-tugasku. Aku lelah sampai ketiduran di atas meja kerjaku.

Setelah bangun, aku pun cuci muka karena ingin belanja ke mini market depan, aku lupa kalau sejak tadi aku belum makan, dari pagi hanya memikirkan orang lain dan juga bisnis sekaligus pekerjaan, kalau saja tidak ada Gian tadi pagi, mungkin aku tidak akan makan untuk hari ini, tetapi tiba-tiba saja saat ini aku ingin camilan.

Cklekk

Saat pintu terbuka, seketika langkahku terhenti, aku kaget karena Alva masih ada di depan kost-an ku. Apa maksudnya ini? Bagaimana kalau Alva banyak yang lihatin dan omongin, masih mending Nirma belum pulang karena kost-an masih gelap.

Aku diam menatap ke arahnya. Apa ini yang dinamakan cinta sejati dan dicintai dengan hebat atau dicintai secara ugal-ugalan?

Tapi ... Aku benar-benar bingung menghadapi situasi ini.

"Saya akan tetap di sini sampai saya diberi izin." Dia bersuara, tapi aku tidak bisa menerima pemberiannya, memberikan izin untuknya. Tidak bisa meskipun ada rasa khawatir dalam diriku.

Tanpa basa-basi dan melanjutkan niatku, aku pun kembali masuk dan mengunci pintu. Aku mau tahu sampai mana dia akan bertahan.

Jam sepuluh sudah lewat, aku mengintip dari balik gorden dan dia masih saja tetap di sana, bahkan aku pun melihat Nirma.

Nirma sepertinya heran, sampai iya pun mendekati Alva, aku melihatnya mereka mengobrol, tetapi aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

Tok tok tok!

"Mel, sudah tidur belum?" tanya Nirma mengetuk pintu.

"Belum, kenapa?" sahutku meninggikan suara.

"Ada paket tuh, gak tau paket nyasar atau apa. Katanya dari tadi kamu belum buka pintu."

"Oh iya? Aku baru bangun soalnya ketiduran, ya sudah biarin aja. Aku cuci muka dulu," ujarku masih meninggikan suara.

Oh ternyata begitu alasannya Alva, dia mengaku nyasar mau kirim paket, giliran ketemu orangnya gak ada. Hihi, pinter juga dia, jadi orang lain tidak curiga.

Tapi ini Alva beneran masih mau nunggu di luar? Kenapa tidak pulang saja, kan besok dia masih harus kerja?

Hatiku tidak tenang, pikiranku kalut dengan berbagai urusan, pun dengan kata-kata yang tadi terlontar ke hati Alva.

Apa aku terlalu keras? Apa perkataanku terlalu menyakitkan. Tapi jika iya begitu, kenapa dia masih menunggu?

Apa kubuka saja pintunya? Tapi tidak, siapa tahu sebentar lagi dia pulang.

Waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam, aku kembali mengintip dan ya masih saja dia di sana belum bergerak sedikit pun.

Rasanya aku jadi khawatir dan tidak enak hati, kenapa juga dia harus melakukan ini? Kan izin itu bisa kapan saja, kenapa haru sekarang sampai tidak ada waktu untuk aku berpikir.

Akhirnya aku pun membuka pintu, keluar lalu menghampirinya.

"Izin di ACC, kalungnya akan saya terima," ujarku dengan berat hati karena tidak enak hati, seraya mengulurkan tangan tanda menerima.

Alva tersenyum, sontak iya langsung menyimpan kotak itu di telapak tanganku.

"Saya yakin, kalau hati kamu itu tulus. Kamu tidak benar-benar pemarah melainkan butuh perhatian dan kasih sayang lebih, kamu tidak matre melainkan kamu takut salah pasangan. Iya begitu 'kan nona?" Kata Alva sembari bertanya.

Dalam hati aku menjawab "Iya memang, tetapi aku juga tidak yakin kalau kamu bisa sabar"

"Saya tidak begitu, jangan terlalu memandang baik. Kayak bisa aja ngalahin ego saya."

"Bisa dong, nona. Kenapa juga tidak bisa, nona Imel calon istri saya," bisiknya membuat jantungku berdetak kencang.

"Baik Tuan, akan kulihat sampai mana Anda akan berjuang, Tuan," balasku penuh penekanan.

"Sampai Tuhan dan semesta menyaksikan aku memilikimu seutuhnya," ujarnya kembali membalas perkataanku.

Aku diam menatap bola matanya yang indah. _Apakah ucapannya bisa kupegang saat nanti dia tahu akan mendapatkan kepahitan hati saat bersamaku?_ batinku.

"Sini, kalungnya ku pasangkan," ujarnya membuatku membulatkan mata.

"Ini?" tanyaku menunjukkan kotaknya.

"Iya, saat ini kamu milik aku meski belum sepenuhnya, dan kamu benar-benar membuatku senang hari ini meski diberi tantangan. Aku akan pakaikan kalungnya, aku harap kamu suka."

"Emh." Aku hanya berdehem.

Dia meminta kotaknya aku pun memberikannya sekaligus membelakanginya.

Rambutku diikat, jadi sangat mudah jika ada yang mau memasangkan kalung si leherku.

"Selesai, coba natap sini," perintahnya membuatku berbalik menatap ke arahnya.

"Cantik, lebih cantik lagi kalau dibuka ikat rambutnya. Coba dibuka."

Aku pun melepas ikat rambutku dan membiarkan rambutku terurai.

"Sempurna." Pujinya, tetapi wajahnya tidak meyakinkan.

"Ikat kembali rambutnya!" titahnya.

"Sekarang akan panggil kamu Neng Imel atau Nona Imel atau mungkin sayang? Tapi, lebih baik Neng atau Nona atau bahkan tuan putri. Tidak akan ada lagi sebutan "saya" di antara kita sekarang. Jangan terlalu formal, kita sudah semakin dekat," jelasnya panjang lebar dan aku hanya mendengarkan saja karena tidak ada yang harus dijawab, sekarang terserah dia aja mau manggil apa.

"Neng!" Dia mencoba memanggilku dengan nama itu, aku pun menatapnya.

"Kamu cantik, kamu sempurna di mataku. Untuk itu, tutuplah kecantikanmu itu dengan jilbabmu. Apa kamu keberatan?"

Pertanyaan itu ....

1
Bonsai Boy
Jangan menunda-nunda lagi, ayo update next chapter sebelum aku mati penasaran! 😭
Hiro Takachiho
Gak sabar nih baca kelanjutannya, jangan lama-lama ya thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!