NovelToon NovelToon
Biarkan Aku Pensiun Jadi Artis

Biarkan Aku Pensiun Jadi Artis

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Mengubah Takdir / Cinta pada Pandangan Pertama / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / TimeTravel / Careerlit
Popularitas:6.8k
Nilai: 5
Nama Author: 🌻Shin Himawari 🌻

Subgenre: Wanita Kuat · Second Chance · Love Healing
Tagline pendek: Kisah tentang aktris yang hidup lagi — dan menemukan cinta manis dengan CEO muda, si sponsor utama dalam karirnya

Sinopsis:
Cassia adalah aktris A-class yang hidupnya terlihat sempurna — sampai semuanya runtuh di puncak kariernya.
Cinta yang disembunyikan, jadwal padat tanpa jeda, dan skandal yang merenggut segalanya.

Namun ketika takdir memberinya kesempatan untuk hidup lagi, Cassia hanya ingin satu hal: menjauhi orang-orang toxic di sekitarnya dan pensiun jadi artis.
Ia ingin menebus hidup yang dulu tak sempat ia nikmati — dengan caranya sendiri.

Tapi siapa sangka, hidup tenang yang ia impikan justru membuka pintu ke masa lalu yang belum sepenuhnya selesai… dan pada satu sosok CEO muda yang selalu mendukungnya selama ini dan diam-diam menunggu untuk menyembuhkannya.

💫 Ayo klik dan baca sekarang — ikuti Cassia mengubah takdirnya dan menemukan cinta yang benar-benar menenangk

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 🌻Shin Himawari 🌻, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19 - Penyesalan Felix

Di layar ponselnya, Felix terus memandangi foto foto lama miliknya bersama Cassia. Perasaan di hatinya bercampur aduk. Rindu, penyesalan, marah pada diri sendiri—semuanya berbaur sampai kepalanya terasa berat.

“Kamu yang dulu tersenyum secerah ini untukku,” gumamnya pada foto itu. “Sekarang, jangankan tersenyum…matamu yang indah ini terasa dingin saat melihatku."

Ia mengulang tanya dalam hati. Kapan Cassia berubah? Sejak masuk rumah sakit? Atau sejak makan malam terakhir kami, saat aku bilang akan menikah dijodohkan dengan keluargaku?

Seingat Felix, malam itu, makan malam terakhir mereka, dengan jelas Felix menyatakan bahwa meskipun ia akan menikah dirinya tidak ingin meninggalkan Cassia. Felix berkata akan selalu mencintai Cassia, apakah itu tidak cukup untuk membuatnya bertahan di sisi Felix? Karena setelah itu Cassia diam. Cassia pergi.

Jika dia tidak ingin aku menikah, seharusnya dia tinggal merengek dan memohon kepadaku. Meskipun pasti sulit, tapi akan aku usahakan membatalkan pernikahan. Felix mengalami pergulatan batin yang cukup berat.

Deg. Itu dia!

"Sial. Aku harus bicara dengannya. Akan ku jelaskan semuanya malam ini."

Felix menutup ponselnya dengan kasar, lalu bangkit berdiri dari sofa. Ia meraih dan memakai kembali pakaian yang berserakan, jejak pergulatan malamnya dengan Maura. Dalam kekacauan itu ia tak sadar Maura muncul dari pintu berbalut bathrobe tipis, menenteng dua gelas kosong dan sebotol wine.

Maura bertanya keheranan melihat Felix berpakaian tergesa gesa. “Pak Felix? Kamu mau kemana?” suaranya lembut, hampir dibuat-buat.

“Ke rumah Cassia.” Jawabnya singkat sambil menggambil arloji mewahnya di nakas samping ranjang.

Maura menahan keterkejutan dan emosinya sebentar baru menjawab, “Tapi ini sudah malam. Cassia yang baru pulang dari acara malam amal juga mungkin sudah tidur—” ucapannya terhenti saat mendengar felix menghardiknya.

“Aku tidak perlu pendapatmu, Maura!” Felix memotong dengan suara keras.

Udara di ruangan pun mendadak tegang.

Maura menahan napas, memejamkan matanya sebentar, lalu menurunkan botol dan gelas itu di meja.

Tanganya dengan cepat bergerak membantu Felix mengancingkan bajunya yang masih belum terpasang sempurna—sebuah gerak kecil Maura untuk menenangkan dan mengambil hati Felix yang sedang meledak ledak saat ini.

Merasa berhasil, ia tersenyum tipis lalu membelai dada bidang Felix, mulai menggoda.

“Aku paham perasaanmu. Kalau kamu ingin membujuk Cassia lagi, tunggulah sampai besok pagi. Aku punya rencana—"

Felix menepis tangan itu dengan kasar, matanya menatap Maura, dingin.

“Cukup! Cukup dengan rencana-rencana bodohmu yang tak pernah berhasil itu!”

Tatapannya menajam, nyaris tak berperasaan. "Saranmu, yang berkata Cassia mau jadi simpananku setelah aku menikah, rumor-rumor yang kamu sebarkan—tapi justru rumor itu membuatnya dan Max semakin dekat. Bahkan semua orang sedang mendoakan mereka menjadi pasangan sekarang!" Kemarahan Felix menggelegak, seperti semua itu sudah bertumpuk dan meledak bagai gunung api.

"Sebenarnya kamu bukan mau membantuku tapi hanya ingin menghancurkan Cassia, bukan?” Mata Felix menuding, menunjukan kecurigaan yang ia rasakan selama ini.

Maura terdiam sejenak, sekilas matanya menyipit lalu tersenyum sinis, “Kenapa itu semua jadi salahku? Aku memberikan semua saran karena pak Felix yang memintanya duluan. Jadi, itu artinya yang menghancurkan Cassia adalah pak Felix sendiri.” Kesal, Maura mulai melawan balik dengan kemampuannya memutar kata kata.

Felix terguncang mendengar fakta yang tak bisa ia bantah lalu memukul meja. “Tutup mulutmu!”

Botol wine dan gelas yang ada di meja bergetar. Suara benturannya membuat Maura terpaku. Sejak Cassia mulai menjauh, Maura melihat Felix sering sekali kehilangan kendali seperti ini.

Felix menatapnya dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, sorot matanya kosong.

"Tidak. Kurasa kamu benar. Aku sudah menghancurkan orang yang paling tulus dalam hidupku… demi perjodohan keluarga, demi keuntungan perusahaan yang nggak pernah benar benar kubutuhkan. Karena, perusahaan ini bisa ada karena perjuangan Cassia dan aku dari nol. Aku hanya butuh Cassia.” ada kegetiran dalam setiap kata yang ia keluarkan dari kerongkongannya sendiri.

Suaranya pecah, tapi Felix masih berusaha terdengar tegas. “Dan kau, Maura…hubungan kita yang konyol ini membuat ku semakin sadar betapa bodohnya aku. Lupakan yang terjadi, jangan sekali-kali mengatakan apapun ke Cassia tentang kita.”

Maura menahan napas. Emosi yang tadi dikendalikan kini meledak. “Apa? Kamu membuang aku sekarang? Kamu merasa menyesal, begitu? Kalau memang dia segitu berharganya buatmu, kenapa waktu itu kamu suruh dia tetap di sisimu—sebagai simpanan? Hah?” kilat kemarahan karena merasa dicampakan dengan tidak ada harganya.

Teriak Maura, hampir histeris. “Kamu nggak kehilangan Cassia karena memilih keluargamu, Felix. Kamu kehilangannya karena kamu tukar cinta kalian dengan harga yang terlalu murah!”

Felix menatapnya tanpa reaksi, tapi rahangnya menegang.

Untuk sesaat, hanya hujan di luar jendela yang terdengar, membuat suhu udara di ruangan ini menjadi semakin dingin.

“Pakai bajumu lalu keluar dari rumahku. Jangan pernah datang lagi,” ucapnya dengan dingin, sebelum membanting pintu apartement dengan keras.

Maura berdiri terpaku, dada naik turun. Matanya berkaca-kaca—karena amarah yang tak tahu harus ke mana. “Kamu akan menyesal meninggalkanku,” bisiknya, hampir tak terdengar.

...🌻🌻🌻...

Kembali ke ballroom acara malam amal.

MC sudah membuka acara utama malam amal itu — pelelangan barang-barang berharga milik pribadi, dengan seluruh hasilnya akan disumbangkan ke panti asuhan di bawah naungan perusahaan Zayne Kyle.

Cahaya dari panggung menari di permukaan gelas anggur. Max berusaha untuk tidak mabuk.

Bukan karena anggurnya, tapi karena aroma samar parfum Cassia di sebelahnya — wangi lembut yang entah kenapa terasa lebih memabukkan daripada alkohol itu sendiri.

Setelah percakapan singkat mereka di awal tadi, baik Max maupun Cassia memilih diam. Namun, keheningan di antara mereka terasa jauh lebih bising daripada tepuk tangan penonton yang baru saja menggema.

Cassia menunduk sedikit, pura-pura memperhatikan daftar lelang di tangannya. Padahal sejak duduk tadi, ia bisa merasakan tatapan Max kepadanya— bukan tajam, tapi seolah sedang mencoba menyelami sesuatu di dalam hatinya.

Cassia mengangkat kepalanya, ketika Max mulai membuka topik pembicaraan.

“Dengar-dengar kamu ikut nyumbang barang untuk dilelang?” suara Max pelan, nyaris tenggelam oleh riuh tepuk tangan tamu.

Cassia tersenyum tipis. “Ya… agak mendadak sebenarnya. Aku kirim di batas akhir pendaftaran.”

“Barang apa, kalau boleh tahu?”

Cassia terdiam sebentar. Jemarinya menggenggam kertas daftar lelang itu pelan. “Perhiasan,” jawabnya akhirnya. “Beberapa yang… sudah terlalu lama kusimpan.”

Max menoleh sedikit, nada suaranya lembut tapi matanya tajam. “Sayang juga, padahal aku tahu sebagian dari itu langka.”

Cassia mengangguk pelan. “Justru karena langka, dan terlalu banyak kenangan yang nggak seharusnya aku simpan. Barang seperti itu… lebih baik berpindah tangan. Setidaknya kalau dijual di sini, hasilnya bisa berguna untuk orang lain.”

Cassia tidak perlu menjelaskan lebih jauh. Max tahu, tanpa perlu mendengar nama siapa pun, dari mana perhiasan itu berasal.

Semua hadiah hadiah itu dari Felix, saat Cassia dan pria itu masih bersama.

Layar di panggung menampilkan foto kalung dan gelang berlian yang sering dipakai Cassia. Saat MC menyebut nama donaturnya, tepuk tangan memenuhi ruangan.

Harga naik cepat, disertai beberapa bisik kagum dari tamu-tamu wanita.

Cassia menatapnya sesaat, lalu menunduk dengan senyum kecil yang entah mengandung lega atau sedih.

Terlepas dari siapa yang memberikannya, kalung itu juga menyimpan perjuangan dirinya saat masih berjuang dari bukan apa apa sampai menjadi aktris besar seperti sekarang. Tapi Cassia rela menjualnya agar tidak merasa terikat lagi dengan semua kenangan Felix.

Begitu barangnya laku, Max bersandar pelan di kursinya. “Salah satu cara melupakan selain membuang,” katanya perlahan, “adalah menggantinya dengan kenangan yang lebih berharga.”

Cassia memandang Max, ia separuh bingung, separuh penasaran. Ekspresi Cassia sekarang sangat menggemaskan, bagi Max.

Max tersenyum lembut, senyum yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun. “Kalung yang tadi,” katanya tenang. “Aku menawarnya.”

Cassia terdiam, matanya melebar sedikit. “Itu kamu...yang menawar paling tinggi?"

Max mengangguk samar dan tersenyum.

Pria ini hampir lupa kalau beberapa jam lalu ia merasa tidak nyaman dengan pandangan sekitar. Namun sekarang, semua yang ia pedulikan hanya wanita cantik yang ada di sampingnya ini.

“Anggap saja hadiah. Aku tahu kamu menyukai kalung itu. Sekarang kalung itu sudah menjadi milikku, dan akan ku hadiahkan untukmu butterfly." sela Max lembut.

“Ingat ucapanku dulu?” suaranya nyaris berbisik. “Apa pun yang kamu tinggalkan, akan kuambil dan kukembalikan padamu, hanya untukmu, Sia.”

(🌻: ada yang inget ada di bab berapa ?)

"Tapi kenapa...memberiku hadiah?" Cassia masih terkejut, menutup mulutnya tak percaya.

“Hadiah, karena kamu sudah berani maju untuk dirimu sendiri.” lanjut Max dengan mata teduhnya.

Saat Cassia sempat akan memperlihatkan rasa sungkannya, Max lebih dulu menahannya. "Tolong jangan menolak."

Cassia terdiam. Lalu menatap lurus ke depan — dan perlahan, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Terima kasih, Max.”

Suasana kembali tenang, sebelum Max membuka suara lagi, “Jadi… setelah ini, apa rencanamu?”

Cassia menghela napas pelan, suaranya rendah. “Mungkin aku akan pensiun. Sudah cukup rasanya aku berkarir di seni peran. Dunia yang dulu kupikir indah… ternyata bisa sangat melelahkan.” tatapannya menerawang jauh.

Max menatapnya dengan tenang. “Kalau memang ingin berhenti, berhentilah. Tapi jangan berhenti untuk menemukan dirimu sendiri. Atau mungkin sisi dirimu yang baru."

Merasa tertarik dengan ucapan pria itu Cassia menoleh agak mendekat, menatapnya dengan tatapan ingin tahu.

Aneh. Kenapa dia seperti selalu bisa membaca isi pikiranku. Karena sudah membahas ini, mungkin sekalian saja ku minta pertolongannya.

“Kamu tahu Max? Aku selalu menginginkan sesuatu yang lahir dari diriku sendiri. Brand kosmetik dengan namaku, mungkin? Sesuatu, yang saat orang lain melihatnya akan bilang 'ini Cassia banget'....."

Cassia berhenti sejenak, suaranya merendah. “Tapi mungkin sulit ya.”

“Aku bisa bantu. Mari kita lakukan bersama" bisik Max dengan suara baritonnya yang membuat Cassia berdebar.

Cassia menatapnya lama, seolah ingin membaca maksud di balik kata-kata itu. "Kamu selalu punya cara bicara yang membuat segalanya terdengar mudah,” katanya akhirnya, pelan tapi jujur.

Max tersenyum kecil. “Karena aku tahu, kamu bisa. Dan, kamu punya aku untuk bantu mewujudkannya." Ada makna serius, ketika Max mengucapkannya.

Sebelum Cassia sempat menjawab, lampu panggung kembali terang — tanda lelang terakhir malam itu dimulai.

Dan di saat semua mata tertuju ke panggung, Cassia merasakan ponselnya bergetar di atas meja.

Satu pesan singkat muncul di layar, tapi cukup untuk membuat darahnya berhenti mengalir sesaat. Sekilas senyum Cassia yang sempat hangat tadi telah menghilang.

From: Felix

“Kita harus bicara. Pilih mana, aku jemput di ballroom… atau aku tunggu di apartemenmu?”

Bersambung

🌻: Thank you for like and commentnya :)

1
Rahma Rain
nyebelin tapi suka kan🤭🤭
Rahma Rain
macem dalam keadaan formal ya Thor..
Wida_Ast Jcy
kekuatan cinta emang begitu
Wida_Ast Jcy
nah itu kamu tau. udah gitu pun kok kamu mau sich
mama Al
sebentar sebentar apa jangan-jangan ini Maura temannya cassia
ih nusuk juga
mama Al
lebay kamu Felix
Dewi Ink
kalo ini hempass aja cas
Dewi Ink
itulah namanya takdir. ada hal2 yg bisa kamu ubah ada juga yg mutlak tidak bisa diubah..
Dewi Ink
banyak terjadi hal seperti ini
sunflow
mulai kepikiran max kan..
sunflow
asek2 .. gass. bang max 😍😍
Anul (PPSRS)
tonjok lah, masa narik baju doang 🗿
Anul (PPSRS)
awas, tidak semudah itu... jangan sampe yang baru hanya jadi pelampiasan 🗿
@dadan_kusuma89
Owalah, ternyata Maura juga seorang pengkhianat.
@dadan_kusuma89
😁 Dia ngomong gitu cuma buat ngehibur kamu, Felix! Kenyataannya Cassia benar-benar mau menghindar darimu😄
@dadan_kusuma89
Coba hantamkan ke tembok ata ke lantai juga, Lix!
☠ᵏᵋᶜᶟ🦋⃟‌⃟𝕋𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Wah bangke juga si maura, trnyata dia musang berbulu kelinci 😏
☠ᵏᵋᶜᶟ🦋⃟‌⃟𝕋𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Banting guci2 dan perbot rumahmu sekalian lix jgn hnya pintu aj 😂😂😂
Muffin🧚🏻‍♀️
Waduhh gerak cepat sekali ini langsung dikokop. Takut hilang yaa bang max hihi
Melisa Satya
kalau pensiun apa masih bisa kerja yang lain
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!