Bagaimana jika di hari pernikahan setelah sah menjadi suami istri, kamu ditinggal oleh suamimu ke luar negeri. Dan suamimu berjanji akan kembali hanya untukmu. Tapi ternyata, setelah pulang dari luar negeri, suamimu malah pulang membawa wanita lain.
Hancur sudah pasti, itulah yang dirasakan oleh Luna saat mendapati ternyata suaminya menikah lagi dengan wanita lain di luar negeri.
Apakah Luna akan bertahan dengan pernikahannya? Atau dia akan melepaskan pernikahan yang tidak sehat ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Acuh
Malam itu, rumah keluarga Rafi terasa begitu sepi, nyaris mencekam. Tidak ada suara denting piring, tidak ada gemericik air dari dapur, bahkan gesekan sabun dan piring pun tak terdengar. Keadaan benar-benar hening, seperti kuburan yang dingin. Hanya suara televisi yang menyala dari ruang tengah, namun tak seorang pun yang benar-benar menontonnya. Di sana, di tengah keremangan, terlihat Rafi dan Saras sedang bercumbu dengan tidak tau malu, tenggelam dalam dunia mereka sendiri, seolah tidak ada orang lain di rumah itu.
Luna terbangun dari tidurnya. Rasa haus membuat tenggorokannya kering, mendorongnya untuk mengambil segelas air di dapur. Saat melewati ruang televisi, matanya menangkap pemandangan menjijikkan itu. Perutnya bergejolak, dan rasa muak merayapi dirinya. Namun, kali ini, tidak ada lagi rasa sakit atau cemburu. Hanya kehampaan yang terasa.
"Apa tidak ada kamar untuk melakukan hal menjijikkan? Apa kalian mau menunjukkan hal gila ini kepada semua orang?" ucap Luna, suaranya datar, nyaris tanpa emosi. Ia tidak berhenti, hanya melangkah melewati mereka berdua begitu saja, menuju dapur.
Rafi dan Saras sontak terkejut. Mereka segera melepaskan pelukan, menatap Luna dengan mata terbelalak. Rafi merasa heran dengan sikap Luna yang begitu acuh, bahkan tidak menunjukkan sedikit pun kemarahan atau kecemburuan. Ia mengira Luna akan histeris atau menangis. Namun, Luna hanya berlalu begitu saja, seolah mereka tidak ada.
Di kamarnya, Luna tidak menangis. Tidak ada air mata yang jatuh, tidak ada isakan yang teredam. Dia tidak meratapi nasib buruk yang menimpanya. Sebaliknya, keacuhan itu adalah sebuah tekad yang semakin kuat di hatinya. Dia semakin yakin dengan keputusannya dan akan mengakhiri semua ini.
Pagi harinya, Bu Endah kembali mengomel karena saat dia bangun rumah masih berantakan. Lantai belum disapu, sisa makanan semalam belum dibereskan, bahkan piring kotor pun belum dicuci dan masih menumpuk di wastafel. Sejak Luna masuk ke keluarga ini, Luna memang telah memecat pembantu dengan alasan menghemat biaya pengeluaran, dan dialah yang selalu membereskan semua pekerjaan rumah. Namun hari ini, pintu kamar Luna masih tertutup rapat. Begitu pula dengan kamar Rafi dan istri barunya.
Dengan kesal, Bu Endah berjalan ke kamar Luna dan menggedor pintu kamarnya dengan keras. "Luna! Bangun! Sudah siang! Kenapa rumah belum dibereskan?!"
Gedoran itu berulang kali, namun tidak ada jawaban. Pintu kamar Luna tetap tertutup rapat. Dengan semakin jengkel, Bu Endah beralih ke pintu kamar Rafi dan istri barunya. Kali ini, pintu itu terbuka.
Rafi dan Saras keluar dengan wajah bantal, dan rambut acak-acakan. Sepertinya mereka melanjutkan pergulatan semalam di kamar.
"Ada apa, Bu? Kenapa berisik sekali?" tanya Rafi, suaranya serak khas orang baru bangun tidur.
"Ada apa bagaimana?! Lihat ini rumah! Berantakan semua! Dapur kotor! Belum ada sarapan! Kenapa kalian tidak membereskan?!" Bu Endah melipat tangannya di dada, menatap mereka tajam.
Saras menguap. "Aku tidak bisa membersihkan rumah, Bu. Aku juga tidak bisa masak."
Bu Endah menghela napas kasar. Ia menatap Rafi, yang hanya menggaruk kepalanya. Akhirnya, Bu Endah lagi-lagi yang harus turun tangan. Dengan menggerutu, ia mulai membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan untuk mereka semua.
Pagi ini Rafi sudah siap dengan baju kerja yang ada di kopernya karena luna masih belum menunjukkan pergerakan dari dalam kamar. Bahkan pintu itu tertutup rapat. Sedangakan dia sudah harus masuk kerja untuk melaporkan pekerjaannya selama beberapa bulan di luar negeri, Begitu juga dengan Saras yang sudah terlihat rapi dan cantik dengan pakaian kerjanya.
Saat sarapan siap di meja makan, dan aroma nasi goreng buatan Bu Endah mulai tercium, pintu kamar Luna terbuka. Luna keluar dari kamarnya, juga sudah berpakaian rapi. Tanpa melihat ke arah meja makan, ia mengunci pintu kamarnya rapat-rapat.
Lalu, berjalan melewati keluarga bahagia itu begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya mantap, menuju pintu depan.
Bu Endah yang melihat keacuhan Luna merasa kesal. Umpatan-umpatan kasar keluar dari mulutnya, "Dasar menantu tidak berguna! Tidak punya sopan santun! Pergi saja sekalian!"
Rafi yang melihat keacuhan Luna sedikit terusik, dia bahkan tidak diberi kesempatan untuk bicara dengannya. Dan kemarin saat bicara pun dia sudah terbawa emosi hingga menamparnya. Tidak ada kata maaf terucap dari Luna atau memaafkan. Sebenarnya apa yang dipikirkan wanita itu.
Namun, Luna tidak peduli. Dia terus melangkah keluar rumah, meninggalkan semua drama di belakangnya. Tujuannya satu bertemu sahabatnya, Naura. Dia akan menghabiskan hari ini diluar dan menjauh dari keluarga yang penuh ke munafikan itu.
Setibanya di kafe tempat mereka janjian, ternyata Naura sudah menunggu. Senyum cerah Naura sedikit melunturkan beban di hati Luna.
"Hai, Lun! Sudah lama tidak bertemu begini," sapa Naura sambil memeluk Luna.
"Iya, Ra. Ada yang ingin aku bicarakan serius," kata Luna, raut wajahnya berubah serius.
Naura melihat perubahan di mata Luna. "Ada apa? Kamu tampak... berbeda. Apa yang terjadi? "
"Aku sudah memutuskan, Ra," Luna menarik napas dalam-dalam. "Aku ingin bercerai dari Rafi."
Naura terkejut. "Cerai? Kenapa, Lun? Apa yang terjadi?"
Luna menceritakan semua yang terjadi selama pernikahannya. Ditinggal setelah akad, Rafi pulang bersama wanita lain, pengakuan Bu Endah tentang istri baru Rafi, perdebatan sengit tentang uang dan pengorbanan Luna, hingga puncaknya, tamparan Rafi.
"Dia bilang butuh kebutuhan biologisnya, Ra. Padahal aku di sini mati-matian menjaga rumah dan orang tuanya. Dan sekarang, dia menamparku," suara Luna bergetar saat mengucapkan kata-kata itu.
Naura mengepalkan tangannya. "Brengsek! Berani sekali dia melakukan itu padamu!"
"Aku sudah muak, Ra. Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi. Aku tidak akan membiarkan diriku diinjak-injak," kata Luna, matanya menatap tajam. "Aku ingin mengajukan gugatan cerai dengan alasan perselingkuhan dan perbuatan tidak menyenangkan, karena mereka selama hidup dengan uangku juga, tapi mereka memperlakukan aku dengan seenaknya."
Naura menatap Luna, melihat tekad yang membara di mata sahabatnya. "Aku akan mendukungmu, Lun. Apa pun keputusanmu, aku bersamamu."
"Terima kasih, Ra. Aku akan butuh bantuanmu," ujar Luna. "Aku butuh bantuanmu untuk menjadi kuasa hukumku, kamu harus membantuku agar semua ini cepat selesai dan aku bebas dari keluarga parasit itu."
"Tentu saja! Aku akan dengan senang hati membantumu," jawab Naura, dia akan membantu sahabatnya itu dan memastikan kalau dia tidak sendirian dalam menghadapi masalah ini.
Luna mengangguk. Berat memang, tapi ia tahu ini adalah langkah yang benar. Ia tidak bisa lagi hidup dalam kepalsuan dan penderitaan ini. Ia berhak mendapatkan kebahagiaan.