NovelToon NovelToon
INGRID: Crisantemo Blu

INGRID: Crisantemo Blu

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:775
Nilai: 5
Nama Author: I. D. R. Wardan

INGRID: Crisantemo Blu💙

Di balik nama Constanzo, Ingrid menyimpan luka dan rahasia yang bahkan dirinya tak sepenuhnya pahami. Dikhianati, dibenci, dan hampir dilenyapkan, ia datang ke jantung kegelapan-bukan untuk bertahan, tapi untuk menghancurkan. Namun, di dunia yang penuh bayangan, siapa yang benar-benar kawan, dan siapa yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari bayang-bayang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I. D. R. Wardan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 Alleanza

Ingrid berdiri di depan cermin, memandangi pantulan dirinya dalam gaun biru yang jatuh anggun di tubuhnya. Kain satin berkilau, mengalir sempurna mengikuti lekukannya, seolah memang dijahit hanya untuknya.

Ia menggigit bibir, ragu-ragu. Apakah ia harus memakainya ke pesta? Apakah ini bagian dari permainan Frenzzio?

Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya.

"Masuk."

Pintu terbuka perlahan. Saat Ingrid melihat siapa yang masuk, napasnya tertahan.

Frenzzio berdiri di ambang pintu, bersandar santai dengan tangan terselip di saku celananya. Matanya mengamati Ingrid dari kepala hingga kaki dengan intensitas yang membuat darahnya berdesir.

"Seperti yang kuduga," katanya pelan, suaranya rendah dan berbahaya. "Biru memang warnamu, Amore."

Ingrid mendelik, meski dadanya berdebar. "Berhentilah memanggilku seperti itu."

Alih-alih menurut, Frenzzio melangkah lebih dekat. Tangannya terulur, menyentuh helaian rambut Ingrid yang jatuh di bahunya sebelum dengan lembut menyingkirkannya ke belakang. Ingrid seharusnya menepisnya—tapi tubuhnya membeku.

"Kau terlihat cantik, Ingrid."

Ia ingin membalasnya dengan sarkasme seperti biasa, tapi kali ini, kata-kata tertahan di tenggorokannya.

Frenzzio menyeringai kecil, matanya bersinar penuh arti. Ia mencondongkan tubuh, membiarkan bibirnya hampir menyentuh telinga Ingrid, lalu berbisik dengan suara rendah yang membuat bulu kuduknya meremang.

"Dan aku menyukai saat kau tidak bisa berkata-kata."

Sebelum Ingrid sempat merespon, Frenzzio sudah mundur, meninggalkan aroma maskulin dan kesan panas di kulitnya.

"Aku akan kembali."

Lalu dia pergi, sementara Ingrid masih berdiri di tempatnya, memegang dadanya yang berdebar kencang.

Tetap fokus, Ingrid. Kau tidak boleh terjebak.

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

Di ruangan lain. Giorgio tengah berbicara dengan seorang wanita yang berdiri di kegelapan.

"Aku telah memenuhi janjiku. Sekarang giliranmu."

 Giorgio menghisap cerutunya, lalu menghembuskan asapnya. Dia tersenyum merendahkan.

"Baiklah." dia kembali menghisap cerutunya. "Kau dan mereka bebas. Aku tidak akan bersinggungan atau melibatkan kalian lagi. Kalian bebas pergi."

"Tapi, tidakkah kau terlalu kejam?" lanjutnya.

"Becerminlah."

Giorgio terkekeh. "Tidak diperlukan. Akan kutanyakan lagi, kau yakin tak ingin tinggal?"

"Ya."

Wanita yang memakai pakaian tertutup dan masker tersebut segera ke luar dan tak lagi melihat ke belakang.

Giorgio memecah keheningan dengan nada mengejek, "Carlo, apa menurutmu perbuatan mereka berlebihan?"

Carlo mengangguk perlahan, suaranya datar namun penuh pengertian, "Saya rasa begitu, Tuan."

Giorgio menghembuskan asapnya lagi, lalu berkata dengan nada penuh sinisme, "Sudah terjadi. Tidak ada yang bisa membangkitkan orang mati, bukan?"

Dengan itu, ia kembali menghisap cerutunya seolah mencari kesenangan dalam kehancuran, kemudian bangkit dari kursi, melangkah dengan langkah pasti, diikuti oleh Carlo yang terus menatap ke depan dengan mata yang seolah tahu betapa kejamnya dunia ini.

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

Mobil yang dikendarai Ingrid dan Frenzzio berhenti melaju di depan gedung sekolah, yang kini sudah dihiasi lampu pesta.

Frenzzio turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi lain dan membuka pintu untuk Ingrid.

"Naikkan tanganmu."

Ingrid menatapnya bingung.

"Gaunmu terlalu indah untuk dibiarkan kusut saat keluar mobil," katanya, menyodorkan tangannya.

"Oh, maksudmu, gaun ini lebih baik dari yang mengenakannya? Pergi saja dengan gaun ini."

Meskipun menyudutkan Frenzzio, Ingrid tetap menerima uluran tangan itu. Frenzzio menariknya keluar dengan gerakan yang mulus, tapi tangannya tidak langsung dilepaskan. Sebaliknya, ia menatap Ingrid seakan sedang menilai sesuatu.

"Kau yakin? Kalau begitu lepaskan saja di sini."

Ingrid tak habis pikir. "Kau serius?!"

"Buka saja, hanya aku yang melihat."

Gadis itu meninju perut Frenzzio. "Aku akan melenyapkanmu!"

"Aw," ejek Frenzzio. Saat matanya turun ke kruk yang masih menopang Ingrid, ekspresi Frenzzio berubah kelam.

"Aku ingin sekali menghancurkan kaki orang yang telah membuatmu seperti ini. Sayang, dia telah tiada."

Ingrid merinding. Caranya berbicara seolah ia benar-benar menyesal tidak bisa membalaskan dendam itu.

Mereka berjalan memasuki aula pesta. Musik berdentum keras, lampu warna-warni berpendar, dan murid-murid menari dengan penuh semangat. Ingrid tidak menyukai keramaian seperti ini.

"Hey! Kau sangat cantik!" suara Elsa menginterupsi.

"Kau juga sangat cantik, Elsa. Bahkan lebih cantik," puji Ingrid, meski matanya masih waspada mengawasi sekitar.

Elsa tertawa kecil. "Jangan berlebihan."

Ia menatap pria bersetelan rapi di samping Ingrid, mencoba menyapa, tapi pria itu bahkan tak melihatnya.

Elsa tak ambil pusing. Ia menyerahkan segelas minuman pada Ingrid.

"Tenang, ini hanya jus. Tidak ada alkohol di pesta ini."

Setelah mendengarnya, Ingrid mengambil gelas itu dan meneguknya sedikit.

"Di mana Navarro?"

"Dia tengah memeriksa sekitar, memastikan tidak ada masalah." Ingrid mengangguk mengerti.

"Aku pergi dulu, ada banyak yang harus ku sapa." Elsa mendekat ke Ingrid lalu berbisik, "ceritakan padaku nanti." Elsa mengedipkan sebelah matanya.

"Kita sudah di sini. Sekarang bicaralah. Aku tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi di sini," kata Ingrid tegas.

"Tidak di sini, Blu. Ayo!"

Saat mereka melewati kerumunan, seorang laki-laki kehilangan keseimbangan terjatuh ke arah mereka. Ingrid terhantam ke lantai, dan dua gelas minuman yang dibawa laki-laki itu tumpah, mengenai rambut dan gaunnya.

Seketika, pesta yang ramai menjadi hening.

"Maaf, aku benar-benar tidak sengaja!" laki-laki itu terlihat panik.

Ingrid menghela napas, menahan amarah dan rasa malu. "Tidak apa-apa."

Tapi Frenzzio berpikir sebaliknya. Rahangnya mengeras, dan tanpa pikir panjang, ia meraih kerah laki-laki itu, menariknya dengan kasar. Kepalan tangan Frenzzio mendarat pada wajah laki-laki tersebut. laki-laki itu menghantam lantai, sudut bibirnya mengalirkan darah segar.

Frenzzio kembali meraih orang itu, Ingrid buru-buru menarik tangan Frenzzio. "Jangan membuat masalah!"

Mereka saling bertatapan sejenak. Ketegangan terasa di udara sebelum akhirnya Frenzzio melepaskan cengkeramannya, meski matanya masih tajam menatap si pemuda.

Dengan enggan, ia membantu Ingrid berjalan, lalu menggiringnya keluar dari aula pesta melalui pintu belakang.

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

Di luar, sebuah mobil hitam sudah menunggu mereka.

Saat Ingrid melihatnya, ia menyipitkan mata. "Kau tidak berniat menculikku, bukan?"

"Anggap saja begitu."

Ekspresi jengkel Ingrid membuat laki-laki itu puas. Mereka masuk ke dalam mobil, dan Hen, orang kepercayaan Frenzzio, segera menyalakan mesin.

"Ehh, bauku seperti jeruk dan semangka. Sebenarnya kita akan ke mana?" tanya Ingrid.

"Tempat yang akan menjawab rasa penasaranmu."

Setelah hampir tiga puluh menit berkendara, mereka tiba di sebuah dealer mobil.

"Kenapa kita di sini?" Ingrid bertanya curiga.

"Pakai ini." Frenzzio menyampirkan jasnya pada pundak Ingrid.

Mereka memasuki area bengkel di belakang dealer. Hen memutar sebuah obeng di rak alat, sekali searah jarum jam, berhenti di arah jam sebelas, lalu memutar berlawanan hingga jam tiga.

Suara mekanis terdengar. Lantai terbuka, memperlihatkan tangga menuju ruang bawah tanah.

"Wow." Ingrid tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Hen turun lebih dulu, lalu tanpa peringatan, Frenzzio menggendong Ingrid.

"Aku bisa sendiri! Turunkan aku!" protesnya.

Tapi Frenzzio tetap melangkah turun tanpa menggubrisnya.

Di bawah, terbentang ruangan luas seperti markas rahasia.

"Tempat apa ini?" Ingrid bertanya, masih dalam gendongan Frenzzio.

Ia menatapnya dalam. "Ini markas kami."

"Markas apa?"

Frenzzio tersenyum tipis. "Nanti akan kujelaskan, amore."

Ingrid menghela napas. Ia tahu satu hal, ini bukan lagi hanya tentang rasa penasarannya. Ia sudah masuk lebih dalam dari yang ia kira.

Ingrid masih dalam gendongan Frenzzio saat mereka memasuki ruangan, begitu pintu logam berat tertutup di belakang mereka, Frenzzio akhirnya menurunkannya ke sofa empuk berwarna hitam. Ingrid segera menyingkirkan tangannya dari genggaman Frenzzio, menatapnya dengan tatapan tajam yang dipenuhi kecurigaan.

"Jadi, Kau membawaku ke sini hanya untuk bermain drama misterius?" Ingrid menyilangkan tangan di dada, menahan debaran jantungnya yang masih kacau akibat kejadian tadi.

Frenzzio tidak langsung menjawab. Ia berjalan menuju rak minuman di sudut ruangan, menuang anggur ke dalam gelas kristal sebelum berbalik, menatap Ingrid dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Aku akan menjelaskan semuanya," katanya akhirnya, suaranya lebih rendah dan serius dari biasanya.

"Aku harap begitu." Ingrid mengangkat dagunya, tidak mau terlihat gentar.

Frenzzio duduk di kursi di depannya, meletakkan gelasnya di meja sebelum akhirnya mulai berbicara.

"Dulu, keluargaku adalah pemilik organisasi mafia," Frenzzio memulai, matanya berkilat penuh kenangan pahit. "Kami bukan orang baik. Ayahku, Alessio, memimpin dengan tangan besi, dan kekuasaannya tidak bisa diganggu gugat."

Ingrid menelan ludah, merasakan sesuatu yang gelap dalam nada suara Frenzzio.

"Kekuasaan seperti itu selalu mengundang kebencian. La Cosa—adalah musuh terbesar kami. Mereka tidak hanya ingin mengambil bisnis kami, mereka ingin menghapus seluruh keberadaan keluarga kami." Ingrid semakin serius mendengar nama La Cosa disebut.

"La Cosa adalah organisasi mafia turun-temurun keluarga Constanzo, yang kini dibawah kepemimpinan ayahmu, Giorgio Constanzo." Akhirnya Ingrid mendapat jawaban dari pertanyaannya selama ini.

Frenzzio mengusap wajahnya, menghela napas panjang sebelum melanjutkan.

"Suatu malam, mereka menyerang. Tidak ada peringatan. Tidak ada belas kasihan." Matanya menatap kosong ke lantai, seolah masih bisa melihat darah yang mengalir di antara pecahan kaca dan peluru. "Aku masih kecil saat itu. Ayahku menyuruh beberapa orang kepercayaannya untuk membawaku pergi, tapi ... perjalanan itu tidak pernah sampai."

"Apa maksudmu?"

"Mobil yang membawaku mengalami kecelakaan." Frenzzio tersenyum sinis. "Saat aku sadar, aku sudah kehilangan segalanya—termasuk ingatanku."

Ingrid menggigit bibir. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya kehilangan seluruh keluarga dalam satu malam, lalu bangun di dunia yang asing tanpa tahu siapa dirimu.

"Ayahmu, menemukanku. Awalnya dia ingin membunuhku, tapi kemudian dia berubah pikiran."

Ingrid merasakan hawa dingin merayapi tubuhnya.

"Entah apa tujuannya." Frenzzio meneguk anggurnya, matanya menatap Ingrid tajam. "Dia menciptakan sebuah kebohongan. Dia berkata, dia adalah ayahku, Vilia adalah ibuku, bahwa Marcello adalah saudara kembarku, saat mereka berdua datang ke kediaman Constanzo."

Frenzzio tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. "Aku dua tahun lebih tua dari kalian."

Ingrid menelan ludah, menyadari betapa dalam dan kejamnya manipulasi Giorgio.

"Orang-orang di sekitar kami tahu itu kebohongan, tapi mereka tidak punya pilihan selain mengikuti sandiwara Giorgio," lanjut Frenzzio. "Dan aku? Aku tumbuh besar mempercayai kebohongan itu ... sampai aku mendapatkan kembali ingatanku."

Hening menyelimuti ruangan selama beberapa detik sebelum Frenzzio akhirnya bangkit, berjalan mendekati Ingrid.

"Dan sekarang, aku hanya punya satu tujuan." Suaranya begitu pelan, tapi penuh dengan ancaman. "Membalas dendam untuk segalanya. Untuk kehormatan yang telah direnggut dan nyawa yang tiada."

"Kau ingin menghancurkan La Cosa?" Ingrid bertanya, meskipun jawabannya sudah jelas.

Frenzzio tersenyum miring. "Segalanya."

Ingrid merasa dadanya sesak. Ada sesuatu yang menakutkan tentang Frenzzio ketika ia berbicara soal balas dendam.

Ingrid bertanya akhirnya. "Kenapa kau membawaku ke sini?"

Frenzzio menatapnya lama, sorot matanya tak terbaca. "Karena kita memiliki tujuan yang sama. Untuk ayahmu."

Langkahnya mendekat, begitu dekat hingga Ingrid bisa merasakan kehangatan napasnya yang beraroma anggur yang khas.

"Bagaimana kau bisa tahu?" Ingrid menatapnya tajam, kecurigaan terpancar jelas di matanya.

Frenzzio menyeringai tipis, tetapi tidak ada jejak kesenangan di sana. "Kau masih bertanya?"

Ingrid menahan napas, hatinya berdebar saat menyusun keberanian untuk mengucapkan pertanyaan yang menghantuinya selama ini.

"Apa ... Giorgio terlibat dalam pembunuhan ayahku?"

Frenzzio terdiam sejenak, lalu dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan, ia menjawab, "Giorgio dan La Cosa memang terlibat. Tapi tangan siapa yang benar-benar mengakhiri hidup ayahmu ... itu masih menjadi misteri."

Darah Ingrid berdesir, jemarinya meremas erat kain gaunnya. Ada kemarahan, ada ketakutan, tapi yang paling mendominasi adalah tekad.

"Aku akan mencari tahu. Tidak peduli jika aku harus mempertaruhkan nyawaku," suaranya bergetar, bukan karena gentar, tetapi karena keteguhan yang mengakar.

Frenzzio memiringkan kepalanya, menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya berbisik, "Kalau begitu ... kau tidak akan melakukannya sendirian, Amore."

Senyum kecilnya bukan sekadar janji—itu adalah peringatan.

...         •┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

1
minato
Terhibur banget!
I. D. R. Wardan: makasih udah mampir, semoga gak bosan ya🥹💙
total 1 replies
Yuno
Keren banget thor, aku jadi ngerasa jadi bagian dari ceritanya.
I. D. R. Wardan: Makasih ya🥹
total 1 replies
Yoh Asakura
Menggugah perasaan
I. D. R. Wardan: Makasih ya🥹 author jadi makin semangat nulisnya 💙
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!