Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Mereka memasuki kamar hotel kembali dengan langkah yang lebih ringan, meskipun sisa cemburu dan rasa bersalah masih terasa halus di udara.
Senyum kecil masih menggantung di bibir Helena, sementara Karan tak henti-hentinya mencuri pandang ke wajah istrinya, memastikan ia benar-benar sudah tenang.
Di balkon, croissant yang tadi masih utuh kini sudah dingin dan suasana terasa lebih hangat dari sebelumnya.
Helena duduk lebih dulu, lalu menatap Karan dengan gaya sok galak.
“Mas, pemanasan sudah selesai. Sekarang aku mau sarapan dengan damai. Tanpa gangguan. Bisa?”
Karan mengangkat tangan seperti seorang prajurit menerima titah.
“Siap, Yang Mulia. Tidak akan ada Amelie, kontrak, ataupun tawa-tawa misterius yang mengganggu.”
Ia duduk di depan Helena, lalu dengan ekspresi serius mengambil croissant yang sudah dingin.
“Biarpun ini sudah dingin, tapi cintaku tetap hangat.”
Helena mendelik sambil menahan senyumnya saat mendengar perkataan dari suaminya yang sedang menggombal.
“Gombalan diskon 90%.”
“Kalau begitu…” Karan berdiri, mengambil termos kecil dari troli sarapan, lalu menuangkan teh herbal ke cangkir Helena. Uap hangat perlahan naik, mengisi udara dengan aroma menenangkan.
“Aku hangatkan lagi semuanya. Termasuk suasana hati istriku.”
Helena akhirnya tertawa pelan dan mengambil croissantnya dan menggigit pelan.
“Sekarang rasanya lebih enak,” gumamnya.
“Kok bisa?”
“Karena aku makannya sambil lihat suamiku yang baru saja hampir jatuh malu di depan warga Paris.”
“Demi kamu, Hel, mau berlutut seribu kali pun aku lakukan.”
“Ingat ya. Paris penuh saksi. Jangan main-main.”
“Siap.”
Mereka makan pelan-pelan sambil menikmati pemandangan Menara Eiffel yang kini disinari penuh oleh matahari pagi.
Angin semilir menggoyangkan tirai putih balkon. Burung-burung terbang rendah. Suasana benar-benar seperti lukisan.
Sesekali Karan menyuapi Helena potongan croissant dan Helena membalas dengan menyuapi potongan stroberi ke bibir suaminya tanpa banyak kata.
Setiap gigitan terasa seperti perjanjian baru tentang kepercayaan, kesetiaan, dan cinta yang tak ingin goyah hanya karena selembar kontrak dan satu tawa asing.
Setelah suapan terakhir, Helena bersandar ke kursi sambil mengusap perutnya.
“Mas, ini sarapan romantis di Paris ini resmi kusimpan di ingatan paling spesial.
“Dan kalau nanti kita sudah tua, rambut putih semua, aku tetap mau sarapan sama kamu. Entah itu di balkon Paris atau di dapur sempit rumah kita.”
Helena menatapnya lama, lalu tersenyum penuh arti.
“Kalau gitu, janji ya. Selamanya.”
Karan mengulurkan tangannya di atas meja sambil menganggukkan kepalanya.
“Selamanya.”
Sementara itu di tempat lain dimana Dion dan Sinta masih berada di rumah sakit.
"Mas, maaf ya. Malam pertama kita malah di rumah sakit." ucap Sinta yang takut jika suaminya kecewa.
Dion menghela napas pelan, lalu tersenyum lembut.
“Sayang,” panggilnya pelan.
Tanpa ragu, Dion naik ke atas tempat tidur rumah sakit yang sempit itu dan duduk di samping Sinta.
Ia memeluk istrinya dengan hati-hati agar tidak mengenai bagian tubuhnya yang masih terluka.
“Kalau sama kamu, di rumah sakit pun aku bahagia.”
Sinta terdiam sejenak, menahan haru. Dion kemudian mengendurkan pelukannya dan merogoh saku jaket yang ia gantung di kursi.
“Aku sebenarnya mau ngasih ini nanti, pas kita udah pulang. Tapi kayaknya sekarang adalah waktu yang paling tepat.”
Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna putih, dihiasi pita silver sederhana.
“Apa itu?”
“Hadiah pernikahan pertamaku untukmu,” jawab Dion pelan.
"Mas, bukannya cincin pernikahan kita sudah cukup?”
“Ini bukan cincin,” ucap Dion sambil tersenyum misterius. Ia membuka kotak itu pelan-pelan.
Di dalamnya, tergeletak sebuah gelang tipis dari perak, dihiasi charm kecil berbentuk hati.
Namun bukan gelangnya yang membuat Sinta terkejut melainkan ukiran halus di charm itu.
Tetap hidup bersamaku.
Sinta mengangkat wajahnya, air matanya mulai menggenang.
“Mas…”
Dion mengambil gelang itu dan perlahan memasangkannya ke pergelangan tangan Sinta.
“Hadiah ini bukan cuma perhiasan. Ini janji. Kamu selamat, kamu kuat, dan kamu milikku sekarang sampai kapan pun. Jadi jangan minta maaf lagi hanya karena kita berada di rumah sakit. Karena bagiku, yang penting bukan tempatnya. Yang penting sekarang kamu ada di sini. Di sampingku. Hidup.”
Air mata Sinta akhirnya jatuh, namun kali ini bukan karena sakit, melainkan karena rasa syukur.
Ia menunduk, mencium tangan Dion dengan lembut.
“Terima kasih, Mas…”
Dion tersenyum, lalu kembali menarik tubuh Sinta ke dalam pelukannya.
Meski ruang perawatan itu sempit dan suara infus masih berbunyi pelan di samping mereka, rasanya seolah dunia mendadak menjadi tempat paling damai.
“Mulai hari ini sampai selamanya,” bisik Dion di telinganya, “kita hadapi semuanya berdua.”
Sinta tersenyum dalam pelukan suaminya yang sangat menyayanginya
“Meskipun kadang di rumah sakit…”
“Meskipun di rumah sakit,” sahut Dion cepat sambil tertawa kecil.
Malam pertama mereka memang tidak dipenuhi lilin dan bunga mawar.
Disisi lain dimana Firdaus sudah menyiapkan semuanya dimana ia akan kabur dari penjara.
"Kak Karan, tunggu pembalasanku. Aku akan membuat hidup kalian menderita." gumam Firdaus.
Dengan tenang, ia menyembunyikan beberapa lembar kain robek yang ia kumpulkan selama berminggu-minggu.
Kain itu ia selipkan di bawah rak besi dekat ruang utilitas yang terhubung ke pipa gas.
Dengan korek kecil hasil barter dengan napi lain, ia menyulut kain itu.
Api membara perlahan, lalu mulai menjilat pipa gas yang bocor.
BRAGGGG!!!
Suara ledakan kecil terdengar di lorong timur penjara.
Api menjalar cepat, alarm kebakaran meraung keras. Para sipir dan narapidana panik, semua berhamburan keluar.
Di tengah kekacauan itu, Firdaus melangkah tenang, mengenakan seragam sipir yang ia curi beberapa hari sebelumnya dari ruang laundry.
Topi diturunkan untuk menutupi wajahnya dan ia berpura-pura menjadi salah satu staf yang mengevakuasi tahanan.
“Cepat! Semua ke lapangan utama!” teriak Firdaus dengan suaranya yang keras dan berwibawa, membuat para sipir lain tak curiga.
Melangkah melewati gerbang utama, kunci terbuka karena situasi darurat.
Tak ada yang benar-benar memperhatikan siapa yang keluar karena semuanya sibuk memadamkan api.
Begitu berada di luar pagar, Firdaus berbalik sebentar, menatap kobaran merah yang menerangi langit malam.
“Ini baru permulaan.”
Dengan langkah ringan, ia menyusuri kegelapan malam dan menghilang tanpa jejak.
Ia memanggil taksi dan memintanya untuk mengantarkannya ke bandara.
Firdaus mendapatkan informasi kalau kakaknya sedang bulan madu bersama dengan Helena.
"Calon istriku sekarang sangat bahagia dengan kakakku." gumam Firdaus.
Tak berselang lama ia telah sampai di bandara dan ia menggunakan paspor yang sudah disiapkan oleh pengacara nya.
Petugas bandara tidak mencurigakan jika Firdaus melarikan diri dari penjara.
Ia pun lekas duduk di dalam pesawat sambil menunggu pesawat lepas landas.
Lima belas menit kemudian pesawat mulai lepas landas menuju ke Paris.