“Mama, dadan Luci atit, nda bita tatan ladi. Luci nda tuat..."
"Luci alus tatan, nda ucah bitala dulu. Abang Lui nda tuat liat Luci nanis,” mohon Rhui berusaha menenangkan adik kembarnya yang tengah melawan penyakit mematikan.
_____
Terasingkan dari keluarganya, Azayrea Jane terpaksa menghadapi takdir yang pahit. Ia harus menikah dengan Azelio Sayersz, pimpinan Liu Tech, untuk menggantikan posisi sepupunya, Emira, yang sedang koma. Meski telah mencintai Azelio selama 15 tahun, Rea sadar bahwa hati pria itu sepenuhnya milik Emira.
Setelah menanggung penderitaan batin selama bertahun-tahun, Rea memutuskan untuk pergi. Ia menata kembali hidupnya dan menemukan kebahagiaan dalam kehadiran dua anaknya, Ruchia dan Rhui. Sayangnya, kebahagiaan itu runtuh saat Ruchia didiagnosis leukemia akut. Keterbatasan fisik Rhui membuatnya tidak bisa menjadi pendonor bagi adiknya. Dalam upaya terakhirnya, Rea kembali menemui pria yang pernah mencampakkannya lima tahun lalu, Azelio Sayersz. Namun, Azelio kini lebih dingin dari sebelumnya.
"Aku akan melakukan apa pun agar putriku selamat," pinta Rea, dengan hati yang hancur.
"Berikan jantungmu, dan aku akan menyelamatkannya.”
Dalam dilema yang mengiris jiwa, Azayrea harus membuat pilihan terberat: mengorbankan hidupnya untuk putrinya, atau kehilangan satu-satunya alasan untuknya hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19. BUTUH AYAHNYA
Pukul dua dini hari. Waktu seharusnya Rhui terlelap. Namun, kantuk tak sudi menyentuh kelopak mata bocah tampan itu. Di seberangnya, adik kembarnya, Ruchia, terbaring lemah. Senyapnya kamar rumah sakit seolah mencekik. Tak ada dokter spesialis anak malam itu, pemeriksaan Ruchia harus menunggu pagi.
Wajah mungil nan jelita sang adik memang terlihat tenang. Terlalu tenang. Tapi Rhui tahu, di balik ketenangan palsu itu, adiknya pasti sedang berperang melawan rasa sakit yang menggigit. Perasaan itu menghujamnya.
“Mama…”
Lirihan itu pecah dari Rhui, matanya mendongak menatap Rea. Wajah sang Ibu terukir jelas kelelahan, bayang-bayang hitam melingkari mata yang dipaksakan terjaga. Semalaman, Rea berjuang sendirian mengurus segala administrasi Ruchia, bahkan harus bolak-balik keluar rumah sakit, menerjang gelapnya malam hanya demi menarik uang dari bank.
“Hm? Ada apa, Sayang? Rhui mengantuk, mau tidur?” Rea mencoba tersenyum. Suaranya terdengar dipaksa rendah, lembut, menciptakan ilusu ketenangan.
“Belum, Lui nda tantuk,” jawab Rhui, menggeleng keras.
“Lalu, apa yang Rhui risaukan?” tanya Rea. Sentuhan jarinya di pipi Rhui terasa seperti belaian bulu angsa, menenangkan namun getir.
“Lui atut Adik Luci nda banun-banun.”
Tangis itu akhirnya tumpah. Air mata Rhui yang selama ini tertahan di pelupuk, kini mengalir deras, membasahi pipi. Rea dengan hati yang remuk, menghapus lelehan duka di wajah putranya. Pasalnya, Ruchia jarang sakit, tapi sekali sakit, hati Rhui yang serasa hancur.
“Jangan takut, Sayang. Jangan pernah berpikir begitu. Adikmu hanya kelelahan setelah kita jalan-jalan kemarin,” bisik Rea. Senyum hangatnya hanyalah topeng sempurna untuk menutupi gemuruh ketakutan di dadanya.
Rhui mengangguk, mencari ketenangan dalam pelukan Ibunya. Perlahan, beban kelopak mata bocah itu memberat, hingga akhirnya ia terlelap dalam pangkuan sang Ibu.
Rea kembali mengusap lembut kepala Rhui, namun pandangannya terkunci pada Ruchia yang terbaring tak berdaya. Jarum infus yang menancap di tangan kecil itu, laksana belati yang menusuk langsung ke ulu hatinya. Setiap detik yang berjalan terasa seperti palu godam, menghancurkan ketenangan yang ia coba pertahankan. Ketakutan itu menjalar, dingin dan mematikan.
Waktu merangkak lambat, menggerus sisa-sisa tenaga Rea. Dua jam setelah Rhui terlelap, rasa lelah yang menusuk, dinginnya udara malam, dan kecemasan yang mendera, memaksa kelopak mata Rea menyerah. Kepala Rea terjatuh perlahan di tepi ranjang, dan ia pun terlelap di samping putranya yang masih memeluk pinggangnya.
Kini, kamar itu benar-benar diselimuti keheningan yang mematikan. Hanya bunyi lembut mesin monitor yang menjadi saksi bisu.
Tiba-tiba, di tengah sunyi itu, kelopak mata Ruchia bergetar—sekali, lalu dua kali. Mata itu terbuka.
Kesadaran Ruchia kembali, namun gadis mungil itu seakan terperangkap dalam tubuhnya sendiri. Ia berusaha menggerakkan kepala, ingin mencari sosok hangat ibu dan kakak kembarnya, tetapi tenaga seakan telah dicuri. Lehernya kaku, tubuhnya seolah diikat pada ranjang. Rasa sakit yang tadi ia tahan, kini mendera bersama keputusasaan.
Dari sudut mata cantiknya, setetes air mata jatuh ke pipinya. Air mata itu mengalir lambat, membasahi bantal putih. Bibir kecilnya bergetar hebat, mencoba merangkai suara, memanggil benteng terkuatnya.
“Mama…”
Lirihan itu nyaris tak terdengar, hanya desahan angin putus asa. Ia memanggil Ibunya, sandaran terdekat yang kini terlelap karena kelelahan.
Lalu, air mata kedua menetes. Ia memanggil sosok yang paling ia butuhkan untuk menghilangkan rasa takut yang mematikan ini. Sosok yang kekuatannya selalu menjadi harapan terbesar si kembar.
“Papa…”
Nama itu terucap lebih pilu, sebuah doa, sebuah seruan rindu yang mendesak. Ruchia butuh Ayahnya. Ia butuh pelukan kuat yang mampu mengusir rasa takut dan sakitnya.
.
.
Pagi telah datang, membawa sinar yang seharusnya memberi harapan. Namun di ruang dokter, cahaya terasa membakar. Setelah pemeriksaan intensif Ruchia, Dokter datang dengan wajah yang sulit diartikan.
“Bu Rea, mohon tenang. Ada hal berat yang harus saya sampaikan.”
Jantung Rea mencelos. Ia hanya sanggup berdiri mematung. Dokter berdeham, lalu kata-kata yang keluar dari bibirnya bagai vonis hukuman mati. Ruchia mengidap Leukemia Akut.
Dokter melanjutkan penjelasannya dengan suara datar dan profesional, “Untuk kesembuhan total, Ruchia memerlukan donor sumsum tulang secepatnya. Sembari menunggu, kita harus segera memulai kemoterapi untuk mengendalikan sel-sel ganasnya.”
Rea tidak lagi mendengar detail medis. Tubuhnya bergetar hebat tak terkendali. Segenap kekuatan lenyap dari kakinya. Ia ambruk, jatuh bersimpuh ke lantai dingin rumah sakit. Air mata tumpah, mengalir deras, namun isaknya tertahan, tanpa suara. Ia hancur. Putrinya, gadis kecilnya yang selalu ceria, penuh semangat, ternyata selama ini menahan pertempuran mematikan di dalam tubuh mungilnya. Rasa sakit itu, kini Rea yang merasakannya berlipat ganda.
Rea bangkit, meninggalkan ruangan dokter dengan langkah gontai. Pikirannya kacau balau. Jiwanya terasa hilang. Ia berjalan sendirian di lorong rumah sakit yang panjang dan sunyi. Kakinya lemas. Langkahnya tanpa tujuan. Hatinya teriris sakit, semua sakit. Perihnya mengalahkan lelah fisik.
Hingga ia tak sadar, Bruuuk! Rea menabrak seseorang di belokan lorong.
Orang itu adalah Arzan yang sedang berjalan santai untuk pemulihan. Arzan terkejut melihat Rea. Wajah cantik wanita itu muram, kosong, seperti tak berjiwa, air mata masih membasahi pipinya.
“Rea? Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Arzan, panik melihat kondisi Rea.
Rea tak mampu menahan lagi. Ia menceritakan vonis Leukemia Akut yang baru saja menghantam Ruchia. Arzan terhenyak. Kabar itu sungguh mengejutkan.
“Aku… aku tidak tahu harus bagaimana menyelamatkan putriku,” isak Rea, suaranya tercekat. “Aku harus mencari donor yang cocok, tapi… dari mana?”
Arzan mencoba berpikir cepat. “Bagaimana kalau Rhui? Bukankah mereka kembar?”
Rea menggeleng putus asa. “Dokter sudah bilang, tidak bisa. Daya tahan tubuh Rhui juga lemah. Rhui tidak akan kuat untuk operasi donor. Aku harus mencari dari pihak keluarga Ayahnya, atau saudara kandung… tapi Ruchia hanya punya Rhui!”
Arzan mengepalkan tangannya, frustrasi karena tak berdaya. “Aku ingin membantu, Rea, tapi...”
“Dan biayanya, Mas…” potong Rea, air matanya kembali membanjiri wajah. “Biaya kemoterapi itu mahal sekali. Aku tidak tahu bagaimana bisa mengumpulkan uang sebanyak itu secepatnya.”
Mata Arzan menyala, terbersit niat tulus. “Jual saja mobilku. Itu bisa menutupi biaya awal kemo.”
“Tidak!” tolak Rea cepat, kepalanya menggeleng keras.
“Aku tidak mau merepotkanmu lagi. Jangan lakukan itu, Mas Arzan. Kau sudah cukup banyak membantuku.”
Mereka terdiam, hanya suara Rea yang terisak pelan yang mengisi lorong itu. Dua orang yang terperangkap dalam keputusasaan yang sama.
Cklek!
Rhui yang terduduk di sisi adiknya, menengok ke Rea yang berjalan masuk. Rhui bertanya tentang sakit Ruchia.
“Tidak apa-apa, adikmu cuma demam ringan,” jawab Rea terpaksa berbohong demi kesehatan Rhui juga.
“Benelan?” tanya Rhui selidik, tak yakin. Rea tersenyum diiringi anggukan kecil. Rhui kemudian memalingkan pandangannya pada Ruchia yang belum bangun sambil menggenggam lembut tangan adiknya yang lemah. Rea pun keluar, membeli sarapan untuk Rhui. Beberapa menit kemudian, perhatian Rhui terusik oleh dering ponsel di nakas. Ponsel Rea yang lupa dibawa. Rhui mengambilnya. Dahinya berkerut melihat kontak tak dikenal. Rhui pun mengangkatnya, berharap itu dari Ayahnya. Namun harapannya meleset.
“Halo, Kakak Lui!”
Suara yang keluar justru suara Rexan yang melengking.
Dali mana dia tapat nomol Mama?
Rexan memang anak cengeng dan lemah, tapi ia tidaklah bodoh. Dihina anak gagal dan bodoh, justru Rexan adalah anak jenius. Hanya saja, ia penakut.
_________
Bersambung
srmoga saja fia mau, wlu pyn marah dan kesal pada kelakuan papa ny
tapi ingin menyelsmat kan putri ny darimaut
maka ny dia marsh sambil ngebrak meja 😁😁😁
songong juga nech si Ron2.
henti kan kegilaan mu Rhui, utk memberi pelajaran dan menghancue kan perusahaan ayah mu
jika bukan Luna dan Celina...
Emira hafis baik, dia tdk akan mauenikah dengan mu, katena ituenyakiti jati afik ny Rea.
paham kamu..
kokblom keliatan.
jarus kuat. pergi lah sejauh mungkin, dan utup indentitas mu, agar yak afa yg bisa menemu kan mu Rea.
biar kita lihat, sampai do mana sifat angkuh nu ny si Azeluo