Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
Menjalin hubungan dengan duda ❌
Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Satu Hari Kemudian…
Mawar menghabiskan sepanjang malam dalam kebisuan, pikirannya terus berputar tanpa henti. Tidur tak lagi terasa penting ketika hatinya dipenuhi gejolak emosi yang saling bertabrakan. Di pagi yang masih basah oleh embun, ia berdiri di dekat jendela kontrakannya yang sempit. Tatapannya kosong, menembus langit yang perlahan beranjak terang.
Hatinya berkecamuk.
Keputusan ini bukan yang ia inginkan, tapi mungkin ini adalah satu-satunya cara.
Satu-satunya jalan untuk mendekati Lusi.
Satu-satunya cara untuk membalas dendam atas apa yang telah dilakukan wanita itu kepada ibunya.
Mawar menghela napas panjang, seolah ingin mengusir ragu yang menggerogoti hatinya.
“Tidak apa-apa… Meskipun aku hanya menjadi seorang pembantu, ini adalah langkah awal. Setidaknya, aku bisa masuk ke dalam rumah itu, menyusup ke dalam hidupnya, dan menguak kebenaran yang selama ini tersembunyi. Aku akan mencari tahu semuanya… dan aku akan membuatnya membayar mahal untuk semua penderitaan yang telah ia sebabkan kepadaku, kepada Mbak Anjani, dan terutama kepada Ibu!”
Tangannya sedikit gemetar saat meraih kartu nama yang diberikan oleh Mutia—omanya sendiri. Wanita itu bahkan tak mengenalinya. Betapa menyedihkan.
Dengan hati berdebar, ia menekan nomor yang tertera di sana.
Telepon berdering. Sekali… dua kali…
“Halo?” Suara perempuan terdengar di ujung sana.
Mawar menelan ludah, mencoba menguasai dirinya sebelum akhirnya berbicara dengan nada setenang mungkin.
“Selamat pagi. Saya Mawar. Saya ingin menerima tawaran pekerjaan sebagai pembantu di rumah Ibu Lusi.”
Sejenak, keheningan menyelimuti sambungan telepon. Mawar bisa merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat, seolah menunggu vonis yang akan menentukan langkah berikutnya.
Lalu, suara di seberang akhirnya terdengar, “Oh, kamu Mawar? Bagus! Tadi Ibu Mutia sempat menelepon dan memberitahuku. Datanglah malam ini ke alamat yang tertera di kartu nama. Aku akan segera memberi tahu Bu Lusi tentang kedatangan dan tujuanmu.”
Tanpa aba-aba, sambungan telepon terputus.
Klik.
Mawar menatap layar ponselnya yang kini gelap. Tangannya mengepal erat, sementara napasnya terasa berat. Ini bukan sekadar pekerjaan—ini adalah awal dari segalanya.
Tapi tiba-tiba, kecemasan menyelinap ke dalam benaknya. “Bagaimana kalau Tante Lusi mengenaliku?”
Sekilas, bayangan masa lalu melintas dalam benaknya—wajah wanita itu, suara sinisnya, sikap bengisnya, dan semua luka beserta penderitaan yang ditinggalkannya. Namun, Mawar segera mengenyahkan ketakutannya.
“Ah, tidak mungkin. Bahkan Oma saja tidak mengenaliku. Apalagi Tante Lusi… setelah bertahun-tahun tak bertemu, dia pasti tak akan mengenaliku.”
Ia mengepalkan tangannya semakin erat, jemarinya bergetar menahan amarah yang mendidih dalam dadanya. Matanya membara, sementara sudut bibirnya terangkat perlahan, membentuk senyum sinis yang menyiratkan tekad dan dendam yang sudah lama ia pendam.
“Baiklah… Aku akan melakukannya.”
**
Pagi itu, setelah Mawar mengambil keputusan, ia kembali ke tempat di mana ia menghabiskan hari kemarin—di antara anak-anak jalanan yang baru ia kenal, namun entah mengapa terasa begitu dekat di hatinya.
Langit mulai menghangat, menandakan hari baru telah dimulai. Beberapa anak sibuk berlarian kecil, membawa tumpukan koran lusuh di tangan mereka. Suara mereka riang, canda mereka terdengar ringan, seolah dunia yang keras ini bukanlah beban bagi mereka.
Begitu melihat Mawar, seorang anak dengan mata berbinar berlari mendekat, menyodorkan beberapa lembar koran.
“Kak Mawar! Ini koran untuk kakak jual hari ini!” katanya penuh semangat.
Namun, tidak seperti kemarin, Mawar tak segera menyambutnya. Ia hanya diam, menatap wajah-wajah kecil yang penuh harapan itu.
Hatinya terasa berat.
Akhirnya, ia menarik napas panjang, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya. “Maaf, ya… Kak Mawar nggak bisa jualan koran lagi bersama kalian.”
Seolah angin dingin menyapu tempat itu, keceriaan mereka sirna dalam sekejap.
Beberapa anak saling berpandangan, kebingungan. Yang lain terdiam, menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Lho, kenapa, Kak? Bukannya kakak baru mulai jualan kemarin? Kenapa tiba-tiba berhenti?” suara seorang anak terdengar kecewa.
Mawar tersenyum tipis, meski getirnya sulit ia sembunyikan. “Kakak sudah dapat pekerjaan lain,” katanya pelan. “Tapi Kakak janji… Kakak nggak akan pernah melupakan kalian.”
Namun, kata-kata itu tak cukup untuk meredakan rasa kecewa mereka.
Seorang anak kecil tiba-tiba melingkarkan lengannya di pinggang Mawar, memeluknya erat seolah takut kehilangan. Tubuhnya yang mungil bergetar.
“Jangan pergi, Kak…” bisiknya lirih.
Mawar menelan ludah. Dadanya mencelos.
Anak-anak lain mulai menarik ujung bajunya, memeluknya, menatapnya dengan mata penuh harap seakan ingin menahannya agar tetap tinggal.
Hanya dalam satu hari, mereka sudah begitu menyayanginya.
Air mata menggenang di mata Mawar. Ia berusaha menenangkan diri, sebelum akhirnya menunduk dan membalas pelukan mereka satu per satu.
“Kak Mawar juga pasti akan merindukan kalian…” bisiknya, suaranya hampir patah.
Sebuah perasaan aneh menyeruak di hatinya. Ia tak menyangka bahwa perpisahan dengan orang-orang yang baru ia kenal bisa terasa seberat ini.
Namun, ia harus pergi.
Dengan berat hati, ia melepas pelukan itu perlahan. Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan secarik kertas yang telah ia siapkan.
“Ini… tolong kasih ke Kak Anjas, ya,” katanya seraya menyerahkan kertas itu kepada seorang anak yang lebih besar. “Kak Mawar nggak sempat bertemu dengannya. Tolong sampaikan rasa terima kasih Kakak untuk semua yang sudah Kak Anjas lakukan.”
Anak itu menerima kertas itu dengan ragu, sementara yang lain masih menatap Mawar dengan sorot mata yang sama—enggan melepaskannya.
Saat Mawar mulai melangkah pergi, suara mereka kembali menggema di belakangnya.
“Kakaaaak… jangan lupa sama kita, ya…”
Langkah Mawar terhenti.
Ia mengepalkan jemarinya.
Demi Tuhan, kenapa perpisahan ini terasa lebih menyakitkan daripada yang ia bayangkan?
Dengan napas yang hampir patah, ia berbalik. Menatap mereka satu per satu.
Senyumnya lemah, namun penuh ketulusan.
“Kakak nggak akan pernah lupa sama kalian…”
Suara itu serak. Sakit. Penuh perasaan yang tertahan.
Mata anak-anak itu semakin basah, dan satu per satu mereka mulai menangis.
Tak ada lagi kata-kata.
Tak ada lagi canda tawa.
Hanya lambaian tangan penuh harapan dan air mata yang mengalir di pipi mereka yang masih belia.
“Dadaaaah, Kak Maaawar…”
Mawar menggigit bibirnya, berusaha sekuat tenaga agar tangisnya tak pecah. Ia mengangkat tangannya, membalas lambaian mereka.
“Dadah…” bisiknya, hampir tak terdengar.
Lalu, ia melangkah pergi.
Menjauh.
Meninggalkan mereka.
Meninggalkan kenangan di trotoar yang akan selalu ia ingat, meski pertemuan mereka hanya sekejap.
Hingga akhirnya, malam pun tiba…
Langit telah sepenuhnya gelap ketika Mawar duduk di sudut kontrakannya yang sempit. Cahaya redup dari lampu pijar di langit-langit hanya menambah kesan muram pada ruangan kecil itu. Tangannya sibuk melipat pakaian ke dalam tas lusuhnya, tapi pikirannya melayang jauh, menelusuri jalanan masa lalu yang penuh luka.
Hari ini adalah hari terakhirnya di tempat ini.
Ia mengangkat wajahnya, menatap sekeliling ruangan yang selama ini menjadi tempatnya berteduh di Jakarta. Dindingnya kusam, lantainya dingin, dan tidak ada barang mewah—hanya kehangatan semu yang pernah ia coba ciptakan di tempat ini.
Namun, kenangan tidak bisa ia bawa pergi. Yang tersisa hanyalah beberapa helai pakaian dan tekad yang telah mengeras di dalam dadanya.
Ia menarik napas panjang, menenangkan detak jantungnya yang berdebar cepat.
Malam ini, semuanya akan berubah.
Tatapannya jatuh pada satu-satunya cermin kusam di sudut ruangan. Dengan langkah pelan, ia mendekat dan menatap bayangannya.
Seorang gadis dengan mata tajam dan penuh luka menatap balik kepadanya.
Sorot matanya yang dulu penuh ketakutan kini telah berubah—dipenuhi sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap.
Dendam.
Bibirnya bergerak pelan, suaranya lirih namun sarat dengan kepastian.
“Aku bukan Mawar yang dulu.”
Tangannya meremas tali tasnya dengan erat, seolah menggenggam seluruh rasa sakit dan amarah yang telah ia pendam selama ini.
Pandangannya melembut sesaat ketika pikirannya kembali pada satu-satunya orang yang ia sayangi di dunia ini.
“Mbak Anjani… Maaf, Mawar belum bisa menghubungi Mbak. Tapi Mawar tahu, Mbak pasti mendukung Mawar. Dan Ibu…”
Seketika dadanya terasa sesak.
Kenangan akan sosok ibunya muncul begitu saja. Senyum lembutnya, tatapan hangatnya, pelukan yang dulu sempat memberikan rasa aman—semua itu kini hanya tinggal kenangan yang terasa begitu jauh.
Ia memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.
“Ibu… Mawar tahu Ibu pasti melihat Mawar dari sana. Mawar tahu Ibu pasti ingin Mawar kuat. Maka Mawar akan kuat, Bu. Mawar berjanji.”
Ketika ia membuka matanya kembali, tidak ada lagi keraguan di sana.
Hanya ada tekad.
Ia melangkah menuju pintu, meraih pegangan besinya yang dingin, lalu menariknya terbuka. Angin malam langsung menyambutnya, membawa hawa dingin yang menusuk kulitnya. Tapi bagi Mawar, dingin itu bukan apa-apa dibandingkan dengan api yang membakar di dalam dadanya.
Malam ini, ia melangkah menuju medan perang.
Dengan satu tarikan napas panjang, ia meninggalkan kontrakan kecil itu.
Ia meninggalkan kehidupannya yang lama.
Dan melangkah menuju takdir yang telah menunggunya.
**
Perjalanan menuju rumah itu terasa seperti perjalanan menuju masa lalu yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam.
Duduk di dalam angkot yang bergoyang pelan, Mawar menatap keluar jendela. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, namun cahaya itu tidak mampu menenangkan gejolak di dadanya.
Tangannya mengepal di atas pangkuannya.
“Sebentar lagi.”
“Sebentar lagi, aku akan berdiri di hadapan wanita itu.”
Setelah tiga puluh menit yang terasa seperti seumur hidup, angkot berhenti di depan sebuah kawasan perumahan mewah. Mawar turun perlahan, berdiri di trotoar, dan mengangkat wajahnya.
Di hadapannya, sebuah gerbang tinggi dan kokoh menjulang angkuh.
Dan di balik gerbang itu… ada seseorang yang telah menghancurkan hidupnya.
Mawar menatap rumah besar yang berdiri megah di balik pagar besi. Halaman depannya dihiasi taman luas dengan lampu-lampu taman yang berpendar lembut. Pohon-pohon besar berbaris rapi, menciptakan bayangan di bawah cahaya bulan.
Rumah mewah ini…
Dulu, seharusnya tempat ini menjadi miliknya.
Seandainya saja Bumi benar-benar menikahi ibunya. Seandainya saja Lusi, tante yang dulu ia panggil dengan penuh kasih, tidak mengkhianati mereka.
Tapi kenyataannya berbeda.
Rumah ini bukan rumahnya. Bukan tempat yang memberikan kehangatan, melainkan arena pertarungan.
Jemarinya mengepal erat di sisi tubuhnya. Napasnya berat. Matanya membara.
Malam ini, ia kembali ke tempat yang seharusnya menjadi rumahnya. Namun, tidak dengan hati yang sama.
Dendam telah menggantikan segalanya.
KEMBALI KEPADA MAWAR YANG SEKARANG...
Angin malam bertiup pelan, membawa aroma rumput basah dan bunga yang bermekaran. Tapi, bagi Mawar, itu bukan aroma yang menenangkan—itu adalah bau kemunafikan, kepalsuan yang tersembunyi di balik dinding-dinding megah rumah itu.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah mendekati gerbang. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menekan bel.
Ting tong! Ting tong!
Beberapa detik berlalu sebelum suara langkah kaki terdengar dari dalam.
Kemudian, pintu gerbang terbuka, menampakkan seorang pria berseragam hitam dengan wajah tegas—satpam rumah ini.
Pria itu menatapnya sejenak sebelum bertanya, “Maaf, apakah Anda pembantu baru yang melamar di rumah ini?”
Kata-kata itu terasa seperti tamparan bagi harga dirinya.
“Pembantu baru?”
Di dalam hati, Mawar tertawa pahit. Ironis sekali—rumah yang seharusnya menjadi miliknya, kini hanya bisa ia masuki sebagai seorang pesuruh.
Namun, ia menelan perasaannya dan mengangguk pelan.
“Iya, Pak,” jawabnya dengan nada datar.
Satpam itu mengangguk. “Baiklah, silakan masuk. Ibu Lusi sudah menunggu.”
Pintu gerbang terbuka lebih lebar, membiarkan Mawar melangkah masuk.
Setiap langkahnya terasa berat.
Setiap langkahnya membawa kenangan pahit.
Setiap langkahnya semakin mendekatkannya pada wanita yang telah menghancurkan keluarganya.
Mawar melangkah melewati taman luas, menaiki beberapa anak tangga menuju pintu utama, lalu masuk ke dalam rumah yang terlalu besar dan terlalu mewah untuk disebut sebagai ‘rumah’.
Di ruang keluarga, seorang wanita tengah duduk anggun di sofa mahal.
Wanita itu…
Lusi.
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Mawar kembali melihat wajah itu.
Jantungnya berdetak kencang. Amarah bergejolak di dalam dirinya.
Di hadapannya, duduk seorang wanita dengan wajah cantik yang masih tampak awet muda. Pakaiannya elegan, rambutnya tertata sempurna, dan senyum ramah menghiasi wajahnya.
Seolah tak pernah ada kejahatan yang keluar dari hatinya.
Seolah ia adalah wanita baik-baik yang tak pernah menghancurkan hidup orang lain.
Sangat berbeda dengan Ibu Resti.
Ibunya, yang dulu begitu anggun dan penuh kasih sayang, kini hanya tinggal bayangan dari dirinya yang dulu. Setelah hidupnya dihancurkan oleh wanita itu, keadaannya berubah drastis—terpuruk dalam kesedihan, kehilangan kewarasan, dan hidup dalam kegelapan yang diciptakan oleh pengkhianatan.
Sementara Lusi duduk di sana dengan kemewahan yang seharusnya bukan miliknya, Ibu Resti, ibunya telah kehilangan segalanya.
Tangan Mawar mengepal erat.
Begitu banyak luka yang pernah ditorehkan oleh wanita ini… begitu banyak penderitaan yang harus ia tanggung akibatnya.
Tapi Lusi?
Wanita itu duduk dengan anggun, menikmati hidup yang mewah, tanpa sedikit pun terlihat menyesal.
Mawar harus menggigit bibirnya untuk menahan gejolak amarah di dadanya.
Belum saatnya.
Lusi mengangkat wajahnya dan menatapnya dengan senyum sopan.
“Nama kamu siapa?” tanyanya lembut.
Mawar menegakkan kepalanya perlahan. Matanya menatap lurus, tajam—seakan mengancam.
“Namaku... Mawar.”
Deg!
Jantung Lusi bergetar hebat. Nafasnya tercekat. Tangannya mencengkeram lengan sofa begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
“M-Mawar?”
Suara itu nyaris tak terdengar.
Seketika, pikirannya melayang jauh ke masa lalu…