Saddam dan teman-temannya pergi ke desa Lagan untuk praktek lapangan demi tugas sekolah. Namun, mereka segera menyadari bahwa desa itu dihantui oleh kekuatan gaib yang aneh dan menakutkan. Mereka harus mencari cara untuk menghadapi kekuatan gaib dan keluar dari desa itu dengan selamat. Apakah mereka dapat menemukan jalan keluar yang aman atau terjebak dalam desa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Penjelasan Suku
Setelah makan bersama, Irul bersama yang lainnya pergi ke ke sisi jalan yang akan di perbaiki dan di lebarkan. Empat pemuda itu juga ikut, serta Hendra dan lainnya.
Hendra dan teman lainnya hanya pekerja tambahan, bukan tim yang dibawa oleh Pak Johan dari PT. Sen.
"Gung, aku ingatkan ya, kalian harus hati-hati sama Tek Raisyah itu," bisik Hendra yang berdiri di samping Agung. "Aku ingatkan kalian untuk tujuan baik, supaya kalian selamat, paham 'kan? Dan untuk teman kamu yang bernama Viko itu harus lebih menjaga sikap lagi, jangan sok kegantengan, nanti dikejar hantu" lanjut Hendra.
"Iya, makasih Bang," balas Agung merinding membayangkan di kejar hantu.
Semuanya bekerjasama, ada yang membawa pasir dan semen ke mesin penggiling semen, membawa papan dan lainnya.
"Nah, setelah memperbaiki jalan yang ini, besok baru kita masuk ke jalan Rimbo Laweh," ujar salah satu pekerja.
"Kalau pelebaran jalan raya, kami bisa ikutan nggak, Rul?" Hendra bertanya.
"Kalau itu menunggu jawaban dari Pak Johan, soalnya material untuk jalan aspal dan alatnya beda lagi, kalau ini cuma jalan cor semen biasa," sahut Bang Irul.
"Oh, baik Rul, aku tunggu kabar baiknya."
Tak terasa sudah azan asar, mereka pun berhenti.
"Sampai di sini dulu, sisa sedikit lagi, kita sambung besok, sudah sore, mari bersiap pulang," kata Bang Irul.
Mereka pun pulang. "Tunggu!" Hendra berseru sambil mengejar empat pemuda itu. "Kalian pulang jalan kaki?"
"Iya, Bang," jawab Agung.
"Bareng ya, motorku rusak, tadi nebeng sama teman, dia nganterin istrinya dulu."
"Oh iya, bareng aja Bang kalau gitu," balas Agung.
"Ngomong-ngomong, kalian kok bisa sih milih rumah Tek Raisyah untuk untuk tinggal kalian kemarin? Dapat info desa ini dari mana?"
"Dari guru kami Bang, beliau yang mengantar kami ke rumah Nek Raisyah, beliau kenal sama keponakan Nek Raisyah dan Pak Johan," jelas Agung.
"Keponakan Tek Raisyah yang mana?" Hendra tampak berpikir.
"Kalo nggak salah, katanya ... Namanya Delvia," jawab Agung.
"Oh, Delvia, dia sekarang sudah menikah dan tinggal di kota Batam 'kan?"
"Entahlah Bang, kami pun tak kenal juga, cuma dengarnya begitu."
"Oh iya iya, paham. Pokoknya, kalian hati-hati aja sama beliau, jangan terlalu percaya sama omongan beliau," bisik Hendra.
Agung menganggukan kepala.
"Oh ya, satu lagi, kudengar dari Irul, kemarin kalian habis diobati Pak Thalib ya?"
"Iya, Bang."
"Kok bisa sih kalian terkena racun gaib, kalian ngomong sembarangan atau gimana?"
"Enggak juga Bang, awalnya Diro kebelet pipis, jadi pipis di pohon rambutan di tepi jalan. Entah beliau marah atau gimana, jadi minta tolong Diro panjatkan pohon rambutannya untuk di petik, trus di kasih hadiah buahnya gitu," jelas Agung.
"Oh, sambil nyelam minum air gitu ya yang ngasih, mumpung kalian tamu, orang baru yang nggak tahu apa-apa, jadi di kasih. Ya udah, semoga cepat sembuh, lain kali jangan makan sembarangan lagi, apalagi kalau yang makan kalian aja, pastikan hampir semua orang kampung ikut makan, barulah kalian ikut makan," terang Hendra.
"Dan juga, misal nih, kalian minum kopi atau teh, pegangin dulu gelasnya, biasanya kan kalo minuman yang dihidangkan itu panas, gelasnya akan terasa hangat, kalo bagian bawah gelas itu dingin, jangan diminum. Terus, kalo ada hidangan makan bersama-sama, tiba-tiba ada yang retak atau pecah di hidangan itu, jangan di makan juga. Makan tuh, rasain langit-langit tenggorokan kalian pake lidah, kalo nggak ada berasa sama sekali, atau geli nggak jelas, jangan di makan juga."
"Iya, Bang, terimakasih peringatannya."
"Sama-sama, pokoknya kalau ada apa-apa kalian bisa tanya sama aku."
Sejak magrib, cuaca hujan lebat, bahkan sampai jam 9 malam baru reda. Empat pemuda itu memilih salat berjamaah di rumah saja akhirnya.
Nek Raisyah menghidangkan goreng pisang hangat bersama bakwan. "Ayo, cicipi dulu, enak nih kalo hujan-hujan gini makan gorengan," kata Nek Raisyah. Beliau membuat gorengan dua piring lebih.
"Gimana sama pekerjaan kalian hari ini?"
"Aman semua Nek."
"Bagus. Sudah punya banyak teman sama warga sini?" tanya Nek Raisyah lagi.
"Lumayan Nek, salah satunya Bang Hendra, ketua pemuda di desa ini," jawab Viko. Agung dan Diro menatap Viko curiga.
"Oh Hendra. Dia anak yang rajin, tapi sampai sekarang belum menikah. Waktu itu ada yang mau menikahkan putrinya dengan dia, tapi dia menolak dengan alasan tak cukup uang, padahal uang bisa dicari, rezeki istri dan anak itu pasti ada, asal mau bekerja dan bertanggung jawab, pastilah akan ada uang," ungkap Nek Raisyah.
"Oh gitu. Perihal Pak Suherman dan Pak Datuak di desa seberang itu kenapa ya Nek, sempat ribut kemarin kami dengar?" tanya Saddam.
"Itu perihal pertunangan sesuku."
"Sesuku?" Saddam dan teman-temannya bertanya.
"Iya, sesuku, bukan persusuan. Kalau persusuan di larang keras, nggak boleh di agama, tentu saja nggak boleh di adat kita. Tapi, sesuku tidak di larang di agama, tetapi dilarang di adat, apalagi satu Datuak satu kampung. Sementara kasus sama Pak Suherman itu, sudah beda Datuak beda wilayah, jadi keluarga Pak Suherman itu menumpang suku ke suku Caniago agar bisa menikahkan putranya dengan putri dari keturunan Datuak dari desa seberang, begitu," jelas Nek Raisyah.
"Kalau boleh tahu, kenapa di larang menikah sesuku Nek?" Agung penasaran. Karena di Kota Padang sendiri, ada beberapa orang yang menikah sesuku, tidak sampai ribut besar.
"Ada beberapa hal Nak, seperti *Sistem Matrilineal*, kalian sendiri pasti tahu kan, garis keturunan dalam budaya Minangkabau ditarik melalui ibu, sehingga suku dipandang sebagai satu kesatuan keluarga besar. Lalu, *eksogami Matrilineal*,
dalam adat Minangkabau menganjurkan perkawinan *eksogami*, yaitu menikahi orang di luar suku sendiri, untuk menjaga keberagaman dan menghindari perkawinan sedarah."
"Memelihara keutuhan suku, dengan pernikahan sesuku dianggap dapat memecah belah kesatuan suku dan mengurangi kekompakan dalam keluarga besar. Dampak Sosial dan Psikologis, pernikahan sesuku dapat menimbulkan dampak negatif seperti dikucilkan dari lingkungan suku, kehilangan hak-hak adat, dan potensi konflik dalam keluarga serta sanksi adat. Pelanggaran larangan menikah sesuku dapat dikenai sanksi adat, mulai dari teguran, denda, hingga pengucilan dari suku."
"Menjaga kualitas keturunan juga salah satu alasannya, kalau sama suku lain biasanya anaknya ganteng dan cantik, hehehe." Nek Raisyah terkekeh kecil di akhir kalimat.
"Oh begitu, artinya boleh aja ya, tapi kebanyakan orang menikah sesuku seringnya merantau ya Nek?"
"Yap, benar, karena mendapatkan sangsi, kadang seperti denda, atau kalau mereka gak mampu bayar denda jadi memilih merantau."
Mereka semua mengangguk paham, setidaknya satu persatu harus mereka pahami dulu tentang desa ini, agar mereka tenang dan aman.
"Oh, jadi di kampung ini berapa suku semua Nek?" Agung tiba-tiba bertanya karena penasaran.
"Kalau suku besar cuma dua di daerah sini, daerah lain tentu saja banyak."
"Suku apa saja itu Nek?"
"Suku Caniago dan suku Tanjung. Caniago ada dua bagian, sementara tanjung ada empat induk, dua induk pecah menjadi beberapa bagian," terang Nek Raisyah.
"Oh, kalau suku Nenek apa?"
"Aku Caniago," jawab Nek Raisyah.
"Kalau kepala jorong, Nek?" tanya Diro.
"Beliau tanjung, istrinya Caniago."
"Oh, berarti ibu beliau tanjung juga ya?" tanya Diro dan di jawab anggukan kepala oleh Nek Raisyah. "Berarti Buk Net, istri kepala jorong *dunsanak* (keluarga) sama nenek juga?" lanjut Diro bertanya.
"Iya, *dunsanak*, tapi tidak satu induk. Seperti yang nenek jelaskan tadi. Caniago ada 2 induk. Tanjung empat induk, dua induknya pecah menjadi turunan lagi."
"Turunan itu seperti apa, Nek?" tanya Saddam.
Nek Raisyah berpikir sejenak, agar gampang dipahami oleh empat pemuda ini. "Kalian pernah denger *suku malakok*?"
Saddam dan teman-temannya menggeleng.
"*Suku malakok* itu seperti pendatang baru, misal dari Jawa, Sunda, Batak atau daerah lain yang tinggal di sini, mereka harus memiliki suku, jadi numpang bersuku. Itu bukan hanya terjadi pada daerah lain, tetapi untuk orang Minang lain luar daerah juga. Misal, kalian dari kota Padang, punya suku Piliang, menetap di sini punya keluarga, Piliang di sini melekat di bawah indukan Tanjung, jadi suku kalian di sini tanjung dengan bersuku pada kepala Datuak daerah sini dengan beberapa syarat tertentu agar bisa diterima dan diakui sebagai bagian dari keluarga besar suku. Begitu."
"Kalau ada acara-acara dan hal-hal penting, mereka menjadi bagian, bukan orang yang terkucilkan," terang Nek Raisyah rinci.
"Oh, makasih Nek penjelasannya," jawab Saddam.
"Berarti Dam, kalau kau mau kenalan sama gadis-gadis desa sini, kau harus kenalan sama cewek Caniago aja, Dam. Kau 'kan suku Piliang," celetuk Agung dan yang lain cengengesan melihat Saddam melotot pada Agung.
"Hahahaha!" Gelak tawa terdengar di ruangan tengah itu, namun di luar jendela ada bayangan putih yang menatap mereka berlima.