Area ehem ehem! Yang bocil harap Skip!!!
Bagi Candra, sang Casanova, tidak ada perempuan yang bisa dia ajak serius untuk menjalin suatu hubungan setelah merasa hidupnya hancur karena perceraian sang ayah dan ibunya.
Perempuan bagi Candra adalah miniatur, pajangan sekalian mainan yang hanya untuk dinikmati sampai tetes terakhir.
Namun, kehadiran Lila, seorang gadis yang kini menjadi adik tirinya, membuat dia harus memikirkan ulang tentang cinta. Cinta dan benci hadir bersamaan dalam indahnya jalinan kasih terlarang.
Lalu bagaimana jika larangan itu tetap dilanggar dan sudah melampaui batas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Produk Broken Home
Laksmana Candrakumara mengikat rambut gondrongnya yang tadi terurai. Rambut gondrong itu sudah menjadi ciri khas Candra, begitu ia akrab disapa, sedari dulu.
Perawakannya atletis dan macho dengan tatapan setajam elang yang mampu meruntuhkan hati gadis mana saja yang memandang.
Konon katanya, si pewaris tunggal kerajaan bisnis Mahesa Kumara grup itu pernah mengencani perempuan-perempuan cantik dari segala profesi. Sepak terjangnya di bidang percintaan kilat tanpa rasa sudah sering terdengar.
Yang aneh, tak ada satupun perempuan mempermasalahkan itu.
Idola perempuan dari kalangan mana saja itu tidak pernah risih dengan pemberitaan miring tentangnya. Toh, dengan pemberitaan begitu ia tetap saja memiliki banyak penggemar setia.
Tapi hari ini, wajah yang kerap memberi senyum meresahkan itu sedang tak begitu semangat. Di tangannya tergenggam segelas minuman dan matanya hanya tertuju pada satu titik di mana sang ayah, Mahesa Kumara, sedang berdiri bersama perempuan dalam balutan gaun pengantin sederhana.
Praaaaaankkk!
Candra melempar gelas, berhamburan pecah kemana-mana. Sang ayah yang sedang berfoto bersama istri baru sontak melihat ke arah sumber suara. Ia bisa merasakan alarm bahaya seketika berdering di kepala tuanya.
"Anak itu pasti akan bikin masalah lagi!" Mahesa mengepalkan tangannya.
Hubungannya dengan Candra, sang putera tunggal memang tak lagi akrab seperti dulu, tepatnya saat perpisahannya dengan sang istri terjadi. Candra masih menyalahkan dirinya atas perpisahan itu. Candra masih sekolah saat itu, tujuh belas tahun usianya saat kedua orangtua memutuskan bercerai.
Tak lama kemudian, tepat tiga hari setelah perceraian, ibunya dikabarkan meninggal karena kecelakaan. Duka Candra menjadikan jiwanya dipenuhi kebencian, terutama kepada ayahnya yang ia anggap sebagai penyebab kematian sang ibu.
Bertahun-tahun menjalani hubungan dingin, Candra juga membuat dirinya menjadi pria nakal yang kerap gonta ganti pasangan. Tak ada perempuan yang benar-benar bisa menaklukan hatinya yang garang tapi berselimut kesepian.
Kecanduannya pada alkohol membuat Candra kerap pulang dalam keadaan mabuk. Pernah pula direhabilitasi narkoba sebab sempat terjerat barang laknat itu. Benar-benar produk broken home.
Namun, kini Candra sudah terlepas dari ketergantungan. Ia tidak lagi menjadi seorang pemakai sebab Mahesa mengancam akan mencoret namanya dari daftar hak waris bila ia tidak bisa sembuh.
Candra juga pernah berkelahi, bukan pernah lagi, tapi memang hampir setiap hari berulah. Hingga tuan Mahesa yang terhormat itu kerap mendapat surat peringatan dari kampus yang berisi sang putra akan segera di drop out kalau masih saja berulah.
Pernah pula suatu kali, dosen mengancam tidak akan meloloskan skripsinya hanya karena ia berambut gondrong. Besoknya, dosen itu menemukan ban mobilnya kempes semua. Ulah siapa lagi, kalau bukan Candrakumara.
"Saya tidak bisa menerima proposal pengajuan skripsi kamu kalau kamu tidak mau ikut aturan."
"Aturan mana yang ibu maksud?"
"Kampus ini tidak menampung mahasiswa yang tidak mau nurut. Tidak juga menampung mahasiswa preman yang suka bikin ulah."
"Wah, nampaknya Ibu perlu saya cerahkan otaknya. Dengar, saya di kampus ini bayar. Aturan itu buta! Dibuat oleh manusia dan sekarang kalian mempermasalahkan rambut saya ini untuk tidak menerima skripsi saya? Coba ibu jelaskan, apa ada undang-undang yang mengatakan bahwa mahasiswa tidak boleh berambut panjang. Lihat, apa saya mengurai rambut panjang ini? Saya mengikatnya rapi, bahkan lebih rapi dari konde Ibu yang sudah lama tidak diganti itu!"
Sang dosen mendelik mendengarnya, lalu memijit keningnya, pening ia dibuat Candrakumara. Mahasiswa tingkat akhir paling banyak ulah tapi memiliki fans garis keras yang akan membelanya mati-matian.
"Saya tetap tidak akan menerima skripsi kamu, sebelum kamu memotong rambut itu jadi pendek atau cepak!"
Candrakumara mengangguk paham tapi di otaknya sudah ada rencana akan membuat sang dosen mengubah peraturan yang menurutnya buta itu. Keempat ban mobilnya kempes semua, ia tahu, ini pasti ulah Candra. Jadi karena tidak mau memperpanjang masalah, ia menerima skripsi itu dengan hati terpaksa. Berurusan dengan Candra berarti cari penyakit. Ia sudah cukup tua untuk meladeni mahasiswa yang tidak kenal takut itu.
Ingatan itu kembali, membuat Candra tertawa sinis mengingat betapa urakannya dia di masa lalu. Membuat malu Mahesa sudah jadi agenda setiap hari.
Namun, setelah memegang perusahaan sang ayah, ia jadi lebih kalem. Tapi sifatnya yang suka mabuk dan main perempuan tetap jadi kebiasaan hingga sekarang.
"Permisi tuan muda, biar Bibi bersihkan pecahannya." Seorang pelayan tergopoh-gopoh mendekati. Candra hanya mengangguk lalu segera pergi meninggalkan pesta taman menggelikan dalam pandangannya itu.
Saat baru saja hendak masuk ke dalam kamar mandi, tak sengaja ia bertabrakan dengan gadis berambut panjang dengan gaun selutut berwarna putih.
"Maaf, aku gak sengaja." Gadis itu menunduk dan membungkukkan kepalanya sesaat.
Candra tidak menggubris, ia lebih memilih masuk ke dalam kamar mandi yang baru selesai digunakan gadis itu.
Baru saja hendak membuka risleting celana, pintu kamar mandi itu diketuk perlahan.
Candra berdecak kesal, terpaksa membuka lagi pintu kamar mandi. Sebenarnya, ia bisa saja memakai kamar mandi pribadinya yang berada di kamar, lebih tepat di dalam kamarnya sendiri, tapi panggilan alamnya sudah di ujung jadi itu hanya akan membuat ia kencing di celana kalau memaksa pergi ke kamarnya di lantai atas sana. Belum lagi, lift rumah itu yang sedang rusak diperbaiki, membuat penghuninya harus naik tangga yang tinggi melingkar.
"Apa?!"
Nada garang terdengar setelah pintu terbuka. Candra mengusap wajahnya kala gadis yang tadi bertabrakan dengannya kini sedang berdiri di depannya.
"Itu, Mas, ponsel saya ketinggalan."
"Mas Mas! Lo pikir gue Mas bakso?!" Candra merutuk, membuat gadis di depannya hanya tersenyum close up memamerkan deretan giginya yang putih, yang semakin mempermanis senyumnya. Tak sampai di situ, si gadis mengacungkan dua jari membentuk huruf V sebagai tanda damai.
"Nih! Pergi sana dan jangan tunjukin muka lo lagi di depan gue!" Candra menyerahkan benda itu dengan kesal lalu menutup pintu keras hingga menimbulkan suara berdebum.
Hari ini, mood sang tuan muda sedang tak baik. Tak ada seorang pun yang berani menyapa, tapi gadis aneh tadi berani-beraninya mengacungkan kedua jari yang malah dirasa Candra sebagai ejekan kepadanya.
Sementara si gadis juga jadi sama kesalnya. Ia baru bertemu dengan lelaki arogan yang suka bicara kasar. Kalau ada sikat besi, akan disikatnya mulut lelaki itu tadi.
"Kalila, kamu kemana saja, Mama dan Papa mencarimu, ayo kita berfoto."
Wanita paruh baya yang tadi berdiri di atas pelaminan bersama Mahesa, ayah Candrakumara mendekati anak gadisnya yang nampak kesal.
"Kenapa sih, Oom Mahesa bisa ngundang orang kayak tadi?"
Mendengar nada kesal Kalila, ibunya yang bernama Belina itu mengerutkan dahi. Entah siapa yang dimaksud anak gadisnya itu.
"Kalila, jangan lagi panggil Oom dong. Kan sekarang udah jadi papa kamu juga," tegur Belina kepada putrinya yang segera mengacungkan dua jari lagi. Gerakan yang mulai hari ini begitu menyebalkan di mata Candra, sang kakak tiri.