Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29
Hening masih menguasai kamar itu. Reihan tidak bergeser sedikit pun dari posisinya. Kepalanya masih tenggelam di bahu Alya, seolah mencari tempat bersembunyi dari semua kegaduhan yang membebani pikirannya.
“Alya…” suaranya terdengar parau, nyaris seperti bisikan.
Alya mengerjap, tubuhnya sedikit menegang. “Hmm?” sahutnya pelan, mencoba tenang meski jantungnya berdegup cepat.
Reihan menarik napas panjang, lalu berkata lirih, “Apa kamu… masih membenciku?”
Pertanyaan itu jatuh begitu saja, membuat Alya terdiam. Wajahnya menegang, pikirannya kacau. Membencinya? Entah. Ia tidak tahu pasti apa yang ia rasakan pada pria yang kini bernafas berat di pundaknya. Ada luka, ada amarah, tapi ada juga perasaan lain yang sulit ia jelaskan.
“Aku… tidak tahu,” ucap Alya akhirnya, suaranya bergetar.
Reihan tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak sampai ke matanya. Ia mengusap punggung Alya perlahan, seakan takut membuatnya menjauh.
“Kalau begitu… apa masih ada kesempatan untukku? Kesempatan… supaya kamu mau memaafkan semua kesalahanku yang lalu?”
Alya kembali terdiam. Lidahnya kelu, seolah kata-kata enggan keluar. Ia sendiri tidak yakin apakah ia mampu memberi maaf sepenuhnya. Luka itu masih ada, meski perlahan tertutup oleh sikap Rehan akhir-akhir ini.
“Al…” panggil Rehan lagi, nadanya nyaris memohon.
Alya menoleh sedikit, menatap wajah suaminya yang masih bersandar padanya. “Ada apa?” tanyanya pelan, suaranya lembut meski penuh kehati-hatian.
Rehan mengangkat wajahnya perlahan, hingga mata mereka akhirnya bertemu. Tatapannya tajam namun rapuh, seakan ingin menembus jauh ke dasar hati Alya.
“Siapa aku bagimu, Al?” tanyanya serius.
Alya tersentak oleh pertanyaan itu. Ia menghindari tatapan Rehan, merasa dirinya belum siap menjawab sesuatu yang begitu dalam.
“Kenapa… kau bertanya seperti itu?” ia mencoba mengulur waktu, suaranya hampir berbisik.
“Tidak apa-apa,” jawab Rehan cepat, meski jelas ia sedang menahan sesuatu.
“Aku hanya ingin tahu… bagaimana perasaanmu padaku.”
Alya terdiam cukup lama. Rehan menatapnya tanpa berkedip, menunggu jawaban yang seolah tak kunjung datang.
Akhirnya, dengan suara ragu, Reihan kembali berbicara.
“Apakah kamu mencintaiku… dan menganggapku sebagai suamimu? Atau kau hanya melihatku sebagai orang asing… yang kebetulan harus tinggal satu atap denganmu?”
Kata-kata itu menohok hati Alya. Sejujurnya, ia pun bingung. Dari awal, pernikahan ini bukanlah pilihan hatinya. Semua terjadi terlalu cepat, terlalu banyak luka yang ikut terbawa. Tapi di saat yang sama, kehangatan yang Rehan tunjukkan beberapa waktu terakhir membuatnya goyah.
“Aku… aku tidak tahu,” jawab Alya akhirnya, matanya berkaca-kaca.
“Aku sendiri masih bingung dengan perasaanku. Aku butuh waktu untuk mengerti semua ini.”
Sunyi kembali merayap di antara mereka. Hanya detak jam dinding yang terdengar, memecah keheningan. Hingga akhirnya suara Rehan kembali memecah kesunyian itu.
“Kalau begitu…” Reihan menatapnya lekat, matanya berkilat.
“Apakah kau akan marah jika aku terlihat berjalan dengan wanita lain?”
Tubuh Alya sontak menegang. Kata-kata itu bagai pisau yang menusuk dadanya. Ia sendiri tidak tahu apa yang dirasakannya. marah, sedih, atau cemburu. Tapi yang jelas, hatinya sakit mendengar kemungkinan itu.
Berjalan dengan wanita lain? Apa maksudnya itu? batin Alya.
Tatapannya refleks menoleh pada Reihan, mencari kepastian dari wajahnya. Reihan yang menyadari perubahan ekspresi Alya pun tertawa kecil, lirih, seperti menertawakan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.
“Jangan khawatir,” ucapnya lembut.
“Itu tidak akan pernah terjadi. Karena satu-satunya wanita dalam hidupku… hanyalah kamu.”
Degupan jantung Alya mendadak tak terkendali. Pipinya terasa panas, rona merah merayap naik ke wajahnya. Kata-kata itu terlalu jujur, terlalu mendesak masuk ke hatinya yang masih rapuh.
Reihan mendekat perlahan, jarak wajah mereka hanya sejengkal. Alya ingin menghindar, tapi tubuhnya kaku. Tatapan mata itu menahannya di tempat, membuatnya sulit berpaling.
Hingga akhirnya, tanpa peringatan, Reihan mencium bibir istrinya. Sentuhan itu hangat, lama, penuh kerinduan yang tak pernah ia ucapkan dengan kata-kata.
"I love you... Alya." bisik Reihan, saat ciuman itu berakhir.