"Ka-kakak mau apa?"
"Sudah kubilang, jaga sikapmu! Sekarang, jangan salahkan aku kalau aku harus memberimu pelajaran!"
Tak pernah terlintas dalam pikiran Nayla Zahira (17 tahun) bahwa dia akan menikah di usia belia, apalagi saat masih duduk di bangku SMA. Tapi apa daya, ketika sang kakek yang sedang terbaring sakit tiba-tiba memintanya menikah dengan pria pilihannya? Lelaki itu bernama Rayyan Alvaro Mahendra (25 tahun), seseorang yang sama sekali asing bagi Nayla. Yang lebih mengejutkan, Rayyan adalah guru baru di sekolahnya.
Lalu bagaimana kisah mereka akan berjalan? Mungkinkah perasaan itu tumbuh di antara mereka seiring waktu berjalan? Tak seorang pun tahu jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Tapi Aku Butuh Waktu
"Mas, Mas katanya mau cari pembantu? Jadi kapan?" tanya Manda saat suaminya baru saja masuk rumah dengan langkah berat, sepulang kerja.
Aditama menarik napas dalam, menahan kelelahan yang terasa menumpuk sejak pagi. Wajahnya sayu, tubuhnya letih, dan sorot matanya tampak kosong.
"Sabar Ma. Papa baru juga pulang masa langsung disambut pertanyaan kayak gitu," ujarnya sambil membuka sepatu, lalu menjatuhkan tubuh ke sofa dengan pelan.
Ia mengusap wajahnya, keringat masih menempel. Dasi yang sedari pagi mencekik akhirnya terlepas.
"Seenggaknya Mama ambilin minum dulu, baru kita ngobrol gimana?" lanjut Aditama, mencoba tetap tenang meski kepalanya berdenyut.
Manda mendengus kecil lalu berbalik pergi ke dapur. Bukan karena ingin menurut, tapi lebih karena tak ingin memperpanjang argumen saat suasana rumah belum benar-benar hangat.
Aditama menggeleng pelan. Rumah yang seharusnya menjadi tempatnya beristirahat malah kerap jadi ladang ketegangan. Ia merindukan kedamaian yang dulu pernah mereka punya atau mungkin yang ia kira mereka punya. Tak lama kemudian, Pandu muncul dari kamarnya, memakai kaos bergambar robot.
"Capek Yah?" tanyanya dengan polos, membawa hawa segar bagi Aditama yang sedang penat.
Aditama tersenyum, senyum tulus yang hanya muncul untuk anak-anaknya.
"Gak juga kamu gimana? Sekolah aman?"
Pandu mengangguk, lalu berkata lirih, "Semua aman Yah. Cuma..."
Aditama langsung menatapnya lebih serius. Ada sesuatu di nada suara anaknya yang membuatnya waspada.
"Cuma apa?"
"Aku kangen sama Kak Nayla Yah. Kapan kita ke rumah Kak Nayla sama Kak Rayyan?" tanyanya dengan mata berbinar.
Pertanyaan itu membuat hati Aditama sedikit tercekat. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Nayla, putri kandungnya, sejak Nayla menikah dan pindah. Sejak itu,komunikasi mereka tak lagi sehangat dulu. Waktu dan keadaan menciptakan jarak yang sulit dijembatani.
"Apa kabar kamu Nayla?" batinnya menggumam, penuh rindu dan rasa bersalah yang sulit dijelaskan. Ia merasa seperti ayah yang gagal menjaga ikatan dengan darah dagingnya sendiri.
"Yah?" Pandu memanggil lagi, menyadarkannya dari lamunan.
Aditama tersenyum, meski hati masih berat. "Maaf. Ayah juga kangen nanti kita sempatkan ke sana ya."
Pandu mengangguk antusias. "Bener Yah?"
"Bener. Tapi sekarang kamu ke kamar dulu selesaikan PR ya?"
"Siap!" Pandu menjawab riang dan segera masuk kembali ke kamarnya.
Aditama menatap foto keluarga yang tergantung di dinding ruang tamu. Foto itu sudah agak pudar, warnanya mulai memudar, tapi masih memancarkan kenangan yang hangat. Di sana ada ia, Nayla kecil yang tersenyum ceria, Manda yang dulu penuh semangat, dan Pandu yang masih bayi dalam pelukannya.
"Semoga kamu baik-baik saja Nak..." lirihnya sambil menyandarkan kepala ke sofa, menatap kosong ke langit-langit.
Di sisi lain kota, suasana berbeda.
Rayyan mencium bibir istrinya dengan kasar. Cemburu telah membutakan nuraninya. Siang tadi, ia melihat Nayla berbicara terlalu akrab dengan Dafa teman sekolah lama mereka. Sesuatu dalam dirinya langsung mendidih, membakar logika mengikis rasa percaya.
Nayla tersentak, mencoba melepaskan tangan Rayyan yang mencengkeram pergelangan tangannya. Tapi tenaganya kalah. Ia hanya bisa pasrah, tubuhnya kaku, meski hatinya berontak.
Ia menutup mata rapat-rapat, mencoba menenangkan diri, mengatur napas yang memburu. Perlahan, ia membuka mata, menatap Rayyan yang masih menatapnya intens, namun dengan amarah yang tertahan.
"Kak Rayyan kalau memang Kakak menginginkannya, aku ikhlas tapi jangan seperti ini. Tolong, Kak lakukan dengan lembut," ucapnya lirih, lebih mirip permohonan dari pada penolakan.
Nayla menggigit bibirnya, menahan air mata. "Aku sama Dafa udah gak ada apa-apa lagi Kak. Aku sadar sekarang aku istri orang. Jadi Kakak gak perlu khawatir. Aku gak akan main api," lanjutnya dengan suara gemetar, hampir patah.
Rayyan terdiam. Kata-kata itu seperti tamparan. Ia takut kehilangan Nayla, tapi ketakutan itu justru mendorongnya bersikap kasar. Ia terjebak dalam dilema yang ia ciptakan sendiri. Antara ingin menjaga dan malah melukai.
Perlahan, genggamannya melemah. Tangan Nayla yang tadi terasa tegang kini lunglai. Rayyan menatap wajah istrinya yang begitu cantik meski dalam keadaan seperti ini. Bibirnya memerah karena ciuman kasar tadi. Ia merasa seperti monster. Rasa bersalah mulai menyelinap, menggantikan amarah yang tadi mendidih.
Ia mengusap pipi Nayla dengan lembut, mengubah genggaman menjadi belaian. Ia menyentuh bibir Nayla dengan jari, lalu mengecupnya perlahan, seolah meminta maaf dalam diam. Tidak dengan kata, tapi dengan kelembutan yang nyaris terlambat.
Nayla memejamkan mata, menerima sentuhan itu. Meski perih, ia juga merindukan kelembutan Rayyan. Cinta memang aneh kadang terlalu pemaaf. Saat Rayyan mengakhiri kecupan itu dan bangkit dari tempat tidur, Nayla membuka mata, bertanya-tanya.
"Maaf..." ujar Rayyan singkat, lalu pergi meninggalkan kamar.
Nayla menatap pintu yang tertutup kembali. Ia duduk perlahan, memperbaiki letak bajunya, lalu menghela napas panjang.
"Kenapa dia pergi? Padahal aku sudah pasrah..." gumamnya lirih, mencoba mengurai simpul perasaan yang rumit.
Ia bangkit, keluar kamar. Tapi di lorong ia tak menemukan Rayyan. Setelah menoleh kanan kiri dan memastikan tak ada siapa-siapa ia pun kembali ke kamarnya. Hatinya masih sesak.
Sementara itu, Rayyan duduk di ruang kerja, tubuhnya membungkuk, kedua tangan menjambak rambutnya. Ia menyesali emosinya. Ia membenci dirinya saat seperti itu. Perlakuannya pada Nayla tadi bukan seperti seorang suami, tapi seperti pria yang dikuasai amarah dan itu menakutkan.
Ia menarik napas panjang, mencoba tenang, lalu bersandar ke kursi. "Aku gak boleh kayak tadi lagi. aku bisa kehilangan dia." Kalimat itu bergema di benaknya berulang-ulang.
Pukul 19.00 Malam
Nayla berdiri di dapur memotong sayuran. Tangannya lincah, tapi pikirannya melayang. Ia memilih memasak seperti biasa, meski suasana hatinya belum benar-benar pulih. Memasak membuatnya merasa berguna dapur adalah ruang pelariannya.
"Aku juga salah," batinnya.
"Aku terlalu dekat sama Dafa, walau hanya sebatas teman. Tapi aku juga istri yang butuh dipercaya."
Ia menyendiri di dapur, sesekali memandangi jam. Pukul 20.00, semua masakan telah tersaji di meja makan. Ia menatap hasilnya, lalu menarik kursi dan duduk menunggu.
Namun hingga pukul 20.10 tak ada tanda-tanda Rayyan keluar dari ruangannya.
"Kak Rayyan kok belum keluar? Masih marah?" gumamnya.
Ia menghela napas, lalu bangkit. Perlahan naik ke lantai atas. Sesampainya di depan pintu kamar Rayyan ia menggigit bibir. Ingatan tentang sore tadi membuat tangannya sempat ragu untuk mengetuk.
Tok... Tok... Tok...
"Kak makan malamnya udah siap. Yuk makan dulu," panggilnya pelan.
Hening.
Tok... Tok... Tok...
"Kak Rayyan? Kakak di dalam kan?"
Tok... Tok...
Ceklek
Pintu terbuka Rayyan berdiri dengan kaos putih dan celana pendek, rambutnya masih basah. Ia baru mandi.
"Ada apa?" tanyanya datar.
Nayla menunduk. "Makan malam udah siap. Yuk makan dulu sebelum dingin."
Rayyan hanya menatap sekilas, lalu berjalan melewatinya tanpa berkata apa-apa. Nayla menoleh, mengikuti langkahnya dengan pandangan bingung.
Mereka duduk di meja makan. Hening. Hanya suara sendok dan garpu yang sesekali terdengar, mengisi ruangan yang sepi dengan denting logam.
Nayla mencuri pandang. Rayyan makan dengan wajah datar Nayla mengumpulkan keberanian.
"Kak..." panggilnya pelan, nyaris tak terdengar.
Tak ada respons.
"Kak Rayyan!" Nayla akhirnya sedikit menaikkan volume suaranya. Rayyan menoleh berhenti makan.
"Ada apa?"
Nada itu dingin menusuk. Nayla menggigit bibir bawah ragu.
"Aku cuma pengen kita ngomong baik-baik. Aku gak mau kejadian tadi sore jadi jurang antara kita."
Rayyan memejamkan mata sejenak. Diam. Kemudian dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar: "Aku juga gak mau. Tapi aku butuh waktu."
Nayla mengangguk. "Aku ngerti."
Dan untuk pertama kalinya malam itu, Rayyan menatap istrinya dengan mata yang lembut, meski hanya sesaat. Tapi cukup untuk membuat hati Nayla sedikit hangat. Ada harapan meski kecil, bahwa besok bisa lebih baik dari hari ini.