Aziya terbangun di tubuh gadis cupu setelah di khianati kekasihnya.
Untuk kembali ke raganya. Aziya mempunyai misi menyelesaikan dendam tubuh yang di tempatinya.
Aziya pikir tidak akan sulit, ternyata banyak rahasia yang selama ini tidak di ketahuinya terkuak.
Mampukah Aziya membalaskan dendam tubuh ini dan kembali ke raga aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lailararista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ledakan yang membara
Gabriel menahan tangan Brianna tepat sebelum tamparan itu mendarat di wajah Aziya. Namun sayangnya, telapak tangan itu mengenai pipinya. Suaranya terdengar jelas, membuat ruangan hening sesaat.
"Saya paling benci kekerasan dalam keluarga," suara Gabriel rendah namun tegas, sorot matanya menusuk. "Dan dia, adalah putri Anda, Nyonya!"
Brianna mendengus, matanya penuh kebencian. "Saya tidak pernah memiliki putri seperti dia! Putri saya hanya satu, Azura. Putri saya tidak jahat seperti dia!"
Aziya terkekeh lirih. Entah kenapa, meski sudah sering disakiti, ucapan itu menampar lebih keras dari pukulan manapun. Dadanya terasa sesak, matanya memanas.
"Saya harap suatu hari anda tidak menyesal."ujar tajam Gabriel.
Gabriel sempat hendak menahan Aziya lagi, tapi gadis itu menarik tangannya menjauh, berdiri sendiri. Kini tatapan Aziya bukan lagi tajam penuh amarah, melainkan kecewa, rapuh, dan penuh luka.
"Ma..." suaranya bergetar. "Dulu Azira sabar. Dia nangis setiap kali Mama marah, dia diam setiap kali Mama sakiti dia. Tapi manusia ada batasnya. Dia pergi... karena sudah terlalu sakit."
Brianna terdiam. Apa maksud dari ucapan Azira? Kenapa dia bicara seakan bukan dengan dirinya sendiri.
"Ngurung dia di gudang sehari semalam. Mama bisa bayangin gimana dinginnya lantai itu? Pukulan sampai berdarah... luka yang nggak pernah Mama obati. Mama bisa bayangin rasanya?"
Aziya beralih menatap Jonatan, suaranya meninggi.
"Dan lo, Jonatan. Abang yang seharusnya melindungi. Azira sayang banget sama lo, selalu nunggu hari lo bisa lihat dia sebagai adik yang berharga. Tapi lo malah tega ngurung dia di kandang harimau! Lo pikir itu permainan? Lo pikir itu lucu?"
Jonatan menunduk, wajahnya pias. Tangan mengepal, tapi tubuhnya gemetar.
Aziya lalu beralih ke Evan, menatapnya dengan tatapan yang membuat pria itu kaku.
"Lo Evan. Lo tampar Azira tanpa pikir panjang, hanya karena fitnah manis dari Azura. Lo lebih percaya mulut busuknya daripada adik lo sendiri."
Semua mata kini beralih ke Azura. Gadis itu menangis tersedu, memeluk Brianna erat.
"Aku tahu Zira benci sama aku. Tapi kenapa harus buka aib kita di depan semua orang?" tangisnya pecah.
Brianna mengusap kepala Azura, menatap Aziya dengan tatapan membunuh. "Kamu benar-benar tidak tahu diri, Zira."
Aziya mendengus sinis. "Ini bukan soal benci atau suka. Ini soal keadilan. Gue bukan cari pembelaan buat diri gue. Gue cuma mau keadilan... buat Azira."
Suasana menjadi riuh. Semua orang saling pandang, bingung dengan kalimat itu.
"Apa maksud kamu?" tanya Jonatan, suaranya bergetar.
Aziya tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum miring, lalu menepuk tangannya dua kali. Seketika layar proyektor di panggung menyala. Semua kepala menoleh.
Video demi video muncul. Azura bersama pria berbeda, wajahnya jelas terlihat. Ada yang jijik, ada yang syok, ada yang menutup mulut menahan teriakan.
Azura menggeleng keras, suaranya putus asa. "Itu editan! Itu bukan aku!"
Aziya menaikkan alis. "Editan? Lo pikir gue segoblok itu buat nunjukin bukti palsu?"
Brianna menatap Azura, masih mencoba menyangkal. "Sayang, Mama percaya sama kamu."
Namun Arion menepis kasar tangan Azura ketika putrinya berusaha meraih lengan. "Saya nggak bisa percaya! Video ini terlalu jelas. Saya kecewa..."
Azura terisak, tubuhnya goyah. Tamu-tamu mulai berbisik, wajah mereka penuh cemoohan.
Lalu, suara tepukan terdengar.
Prok, prok, prok.
Semua menoleh. Rina, pelayan paruh baya, berdiri dengan senyum getir.
"Kalian jangan buru-buru menuduh Non Zura," katanya lantang. "Video bisa direkayasa. Saya yakin itu fitnah."
Aziya menyeringai, melipat tangan di dada. "Jadi, kamu masih berani ikut campur, Bi Rina?"
Rina tampak gelisah, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Aziya menoleh pada para tamu. "Kalau kalian kira aku cuma ngomong kosong, coba lihat ini."
Ia memberi isyarat. Seorang pria muncul dari balik kerumunan Agung. Wajahnya jelas terlihat sama dengan salah satu pria di video.
Azura langsung pucat, tubuhnya gemetar. "T-tidak... ini jebakan..."
Agung berjalan tenang ke sisi Aziya, lalu menunduk sopan. "Saya hanya orang suruhan Non Aziya. Dia menyuruh saya... untuk menguji kebenaran."
"Apa?!" Brianna ternganga.
Aziya menatap Azura dingin. "Kalau video lain editan, gue mau bukti nyata. Jadi gue bayar dia. Ternyata, Zura lo sendiri yang rela. Tanpa paksaan."
Seketika ruangan riuh. Beberapa tamu menatap Azura jijik.
Azura meraung, menubruk Aziya dengan tangan terkepal. Tapi Aziya menangkap pergelangan tangannya dengan mudah.
"Lo udah nunjukin wajah asli lo, Zura. Sayang banget, semua orang udah lihat."
Tangannya ditepis kasar. "Zira! Gue udah cukup sabar! Lo keterlaluan!"
Aziya melipat tangan, tersenyum dingin. "Lucu. Karena gue juga udah cukup sabar. Dan mulai malam ini... semua kebusukan lo bakal berakhir."
"Lo jahat Zira! Jahat!"teriak Azura frustasi.
"Gue jahat? Bukannya selama ini lo yang jahat?"Aziya menatap remeh Azura yang menangis.
"Cukup! Kalian itu kembar, kenapa saling menjelekkan!"ujar kakek tua yang sedari tadi hanya diam. Aziya yang hampir melupakan pria tua itu beralih menatap nya. Aziya mengangkat sebelah alisnya menatap tajam.
"Siapa bilang kita kembar? Aku dan Azura sama sekali gak ada hubungan darah."
"Maksud kamu apa?"ujar Brianna tidak habis dengan Azira akhir akhir ini. Dia benar-benar berubah, bukan lagi Azira yang penurut dulu.
"Nanti mama juga akan tau, intinya aku mau pulang, tapi sebelum itu kebenaran harus terungkap."
Aziya merogoh tas kecilnya, mengeluarkan dua kalung berbentuk hati. "Ingat ini, Ma?"
Brianna menatap kalung itu kaget, lalu menutup mulutnya. "Itu... kalung yang Mama kasih buat Azira dan Azura waktu lahir."
"Tapi kenapa dua-duanya ada padamu?" Brianna bertanya, bingung.
Aziya menatap keduanya. "Karena yang satu milikku dan yang satu milik Azira."
Semua terdiam. Udara seakan membeku.
"Aku bukan Azira. Namaku Aziya. Aku gak tau kenapa bisa terjebak di tubuhnya. tapi... satu hal yang pasti, kalian sudah dibohongi belasan tahun. Anak kandung kalian bukan Azura." Udara seakan sesak, semua orang terdiam membisu dengan keterkejutan nya. Aziya beralih menatap Rina dan Ronald bergantian.
"Dan yang bertanggung jawab ada disini. Rina dan Ronald."ujar Aziya tajam.
"Kamu kurang istirahat Azira, makanya ngomong ngelantur."ujar Ronald lembut.
"Diam pak tua, anda sudah cukup bersandiwara."sinis Aziya.
Aziya beralih menatap Rina. "Dan kamu?"
Semua mata kini tertuju ke Rina. Wajah wanita itu pucat pasi, tangannya bergetar hebat.
"Buktinya ada di tangan lo, Bi Rina. Coba lo berani ngomong kebenarannya di depan semua orang."
Rina menunduk dalam-dalam. Tapi diamnya justru jadi pengakuan paling keras.