Novel ini adalah musim ke 3 dari kisah cinta beda usia antara Pram dan Kailla.
- Istri Kecil Sang Presdir ( season 1 )
Pernikahan karena perjodohan antara Pram dan Kailla. Rumah tangga yang diwarnai
dengan konflik ringan karena tidak hanya karakter tetapi juga umur keduanya berbeda jauh. Perjuangan Pram, sebagai seorang suami untuk meraih cinta istrinya. Rumah tangga mereka berakhir dengan keguguran Kailla.
- Istri Sang Presdir ( season 2 )
Kehadiran mama Pram yang tiba-tiba muncul, mewarnai perjalanan rumah tangga mereka. Konflik antara menantu dan mertua, kehadiran orang ketiga, ada banyak kehilangan yang membentuk karakter Kailla yang manja menjadi lebih dewasa. Akhir dari season 2 adalah kelahiran bayi kembar Pram dan Kailla.
Season ketiga adalah perjalanan rumah tangga Pram dan Kailla bersama kedua bayi kembar mereka. Ada orang-orang dari masa lalu yang juga ikut menguji kekuatan cinta mereka. Pram dengan dewasa dan kematangannya. Kailla dengan kemanjaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pram & Kailla 13
Pram masuk ke kamar dengan Kailla mengekor di belakangnya. Tanpa basa-basi, pria matang itu langsung meloloskan kaus polo putih dari tubuh kekarnya. Tanpa banyak bicara, melemparkan kaus putihnya asal dan menjatuhkan tubuhnya, menelungkup di atas ranjang.
“Aku sudah siap, Kai!” ucap Pram merentangkan tangan ke kiri dan kanan tubuhnya, menikmati seprai putih lembut dan halus. Memamerkan punggung telanjangnya, Pram menunggu sentuhan pijatan Kailla.
Lima menit menunggu, istrinya tak kunjung menyusul naik ke atas tempat tidur. Akhirnya ia memilih berbalik untuk memastikan apa yang terjadi.
“Ada apa lagi, Sayang?” tanya Pram. Ia menarik tubuhnya duduk di ujung tempat tidur. Netranya menatap Kailla yang sedang berdiri dengan wajah kaku dan kedua tangan terlipat di dada.
“Siapa dia?” tanya Kailla ketus.
Belum sempat menjawab, ponsel di saku Pram berdering. Tanpa basa-basi, Kailla merogohnya dengan paksa dan menonaktifkannya, bahkan tidak melihat lagi siapa yang menghubungi.
“Jennifer Persada. Itu nama Jennie, Sayang. Bukannya kamu sudah mendengar sendiri saat dia mengenalkan dirinya.” Pram menjawab dengan santai. Kedua tangannya menarik tubuh ramping Kailla agar mendekat padanya. Mengurai tangan terlipat di dada itu dan digenggamnya erat.
“Aku tahu. Tapi kenapa dia memanggilmu Pram. Aku tidak suka!” protes Kailla.
Obrolan keduanya lagi-lagi terganggu. Kali ini ponsel Kailla yang berdering. Ibu muda itu pun melakukan hal yang sama. Dimatikannya ponsel itu tanpa mencari tahu si penelepon sebelum akhirnya dilempar dengan tak berperasaan di atas tempat tidur. Ia butuh penjelasan dari Pram, tidak ada waktu untuk orang lain.
Pram tersenyum melihat tingkah Kailla. “Kalau itu tanyakan padanya. Bukan urusanku, dia mau memanggilku apa.” Pram menjawab tanpa beban dengan kedua tangan sudah berpindah. Kali ini melingkar erat di pinggang Kailla.
“Sayang!” protes Kailla semakin kesal.
“Ya, ada apa?” tanya Pram tersenyum.
“Aku serius!” Mata Kailla membulat. Aura kekesalan mulai terasa nyata dari nada bicaranya.
“Dia adik iparnya Anita. Adiknya Elang Persada. Mungkin itu yang membuatnya memanggilku Pram. Awal masuk ke RD Group, Anita yang mengenalkannya padaku. Dari awal berkenalan, ia sudah memanggil Pram, jadi terbiasa.” Pram menjelaskan.
“Aku tidak suka, Sayang!” protes Kailla mengemukakan isi hatinya.
“Memang kamu pikir ... aku suka,” ucap Pram, membalikkan kata-kata istrinya.
“Aku serius,” ucap Kailla dengan nada melunak.
“Aku sedang bercanda, kah?” Pram kembali menggoda Kailla.
“Saaa ... yaaaang ....” protes Kailla dengan wajah cemberut khasnya. Namun kali ini tidak dengan mengentakkan kaki.
“Hmmm.” Pram bergumam, siap meladeni. Ia sedang menikmati masa-masa di mana Kailla manja dan berulah padanya. Jujur saja, ia sangat rindu dengan semua ini.
“Sayang, pecat dia sekarang!” pinta Kailla. “Aku tidak suka melihatnya. Tatapannya itu mengandung racun,” lanjut Kailla, menjatuhkan tubuhnya di pangkuan Pram tanpa permisi.
“Hahaha ... Dia cantik, bagaimana bisa kamu mengatakan kalau Jennie beracun?” Pram mulai memancing lagi.
“Katakan dia cantik sekali lagi, aku akan melabraknya di tengah keramaian,” ancam Kailla, mengunci leher Pram dengan kedua tangannya.
“Dia bukan tipeku, Kai. Aku tidak suka perempuan yang terlalu dewasa. Pintar dan bisa menguasai segalanya. Aku tidak terlalu suka perempuan kaku dan menjaga image berlebihan. Aku bukan membahas masalah umur, tetapi karakter.” Pram menjelaskan. Dengan kedua tangan membelit pinggang Kailla, Pram menjatuhkan dagunya di pundak Kailla.
“Aku sudah cukup kaku dengan semua beban pekerjaan menumpuk di pundakku. Aku butuh perempuan yang bisa memberi warna dan ekspresif. Cukup melihat wajah bahagianya, lelahku terangkat. Cukup merasakan kemanjaannya, aku merasa dihargai dan dicintai. Aku tidak perlu berdebat dengan bahasa tingkat dewa seperti saat di ruang rapat untuk bertengkar dengannya. Aku tidak perlu mendengar kalimat panjang lebarnya yang tersusun rapi saat ia mengeluh banyak hal.”
“Aku lebih suka perempuan mengambek dan marah seperti ini.” Pram mencubit hidung mancung Kailla dan tergelak saat bibir istrinya semakin mengerucut.
“Aku mencintaimu, Kai. Jangan marah-marah lagi. Jennie bukan tipeku. Dia masuk ke perusahaan karena ulahmu. Kamu ingat ... saat menyetujui kerja sama dengan Anita, dan kehadiran Jennie adalah imbasnya.” Pram menjelaskan.
“Kamu bertemu dengan Tante Anita lagi?” tanya Kailla dengan kilatan cemburu terlihat jelas di matanya.
“Tidak. Anita sudah berjanji padamu, kan? Dia tidak menemuiku lagi, tetapi mengirim adik iparnya masuk ke RD Group.”
“Kamu sering bertemu dengannya? Maksudku Jennie,” tanya Kailla. Ia masih belum puas menginterogasi.
“Beberapa kali Jennie ke Jakarta untuk membahas masalah perusahaan. Kami hanya bertemu di kantor, Sayang. Apalagi yang ingin kamu ketahui?” tanya Pram. Sebagai suami, tentu saja ia lebih suka Kailla seperti ini, dibandingkan diam-diam memendam prasangka yang akhirnya memperkeruh keadaan dengan keyakinan yang belum teruji kebenarannya.
“Dia sering menghubungimu?” todong Kailla lagi.
“Terkadang. Kita hanya membahas urusan pekerjaan. Tidak pernah sedikit pun menyenggol masalah pribadi.” Pram berterus terang.
“Apa lagi, Sayang?” tanya Pram menunggu. Wajah Kailla di detik-detik seperti ini tampak menggemaskan.
Kailla tersenyum kecut. “Ingat, kalau kamu berani berselingkuh dariku, aku akan membuatmu merasa di neraka!” ancam Kailla mengarahkan telunjuknya pada Pram.
“Neraka yang kamu ciptakan adalah surga bagiku,” sahut Pram, menggigit pelan ujung telunjuk Kailla.
“Aaaahhh ....” protes Kailla tidak berlangsung lama, Pram membungkamnya dengan kecupan lembut di bibir.
Ciuman hangat, saling bicara lewat rasa yang tercipta. Kedua tangan Kailla meremas lembut tengkuk suaminya. Berusaha menghempaskan pikiran buruknya tentang Jennie dan memupuk kembali kepercayaannya pada Pram.
Kailla memekik pelan saat Pram membawanya tumbang ke atas ranjang. Pekikan yang berakhir dengan kepasrahan saat suaminya mengecup leher jenjangnya yang putih mulus bak pualam. Belum lagi tangan kekar yang mulai nakal dan mengeksplor ke setiap inci tubuhnya.
“Ini masih siang ... nanti malam saja,” pinta Kailla saat kesadarannya singgah beberapa detik. Ia bisa melihat kilatan gairah di mata Pram. Suaminya sudah setengah melayang ke awang-awang.
“Gladi resik dulu, Sayang. Nanti malam baru pertunjukan, supaya suamimu ini tidak demam panggung,” sahut Pram asal. Ia sudah tidak sanggup kalau diminta mundur. Seluruh tubuhnya sudah terbakar dan butuh Kailla untuk meredamnya.
Tanpa mendengar protes Kailla, tangan kanannya sudah menyusup masuk ke dalam kaos putih istrinya bak pencuri. Mengukir bagian sensitif Kailla dengan ujung jemari. Berharap sentuhannya bisa membujuk Kailla untuk menurut. Pram bahagia saat melihat mata indah istrinya terpejam dan meremas seprai. Kailla tidak protes saat kaos putih dan pakaian dalamnya dilucuti paksa.
Namun, semua kerja keras pria matang itu menjadi sia-sia saat gedoran keras di pintu kamar disusul suara kencang sarat kemarahan Ibu Citra.
“PRAM! BUKA PINTUNYA!” teriak Ibu Citra.
“DALAM HITUNGAN SEPULUH KALAU MASIH BELUM MAU BUKA. AKU AKAN MEMINTA KARYAWAN HOTEL MEMBUKANYA PAKSA!” ancam Ibu Citra.
“Mama ... Kai.” Pram membuka mata saat gairah yang sudah di ubun-ubun itu terbang karena terkejut dengan suara teriakan di depan pintu.
“Ya, Ma,” sahut Pram, bangkit dari posisinya. Berjalan dengan kesal menuju pintu kamar.
Begitu pintu kamar dibuka, Pram disuguhkan tatapan mengiris mamanya dan tangisan kedua putranya. Kentley menjerit di dalam gendongan Kinara dan Bentley menangis sesengukan di dalam gendongan Binara.
“Ada apa?” tanya Pram heran.
Ibu Citra semakin kesal saat mendengar Pram bertanya. Tampilan putranya yang bertelanjang dada saat ini sudah cukup menjawab apa yang terjadi di dalam kamar.
“Kamu benar-benar sudah tidak waras, Pram. Anakmu menjerit kelaparan mencari ibunya. Kamu malah enak-enakan di dalam kamar. Sudah tua, bukannya mengalah. Masih saja rebutan susu dengan anak-anakmu.” Pukulan kencang mendarat di lengan Pram.
Ibu Citra masih menahan diri, berusaha tidak menerjang masuk ke dalam kamar. Ia yakin menantunya sedang sibuk berpakaian saat ini. Kalau bukan karena dua pengasuh itu mengeluh, ibu dan bapak si kembar yang tidak bisa dihubungi, menghilang tanpa kabar. Ia tidak akan ikut-ikutan melabrak di depan kamar putranya.
“Ditelepon bukannya diangkat, malah dimatikan. Orang tua macam apa kalian berdua ini,” omel Ibu Citra.
“Kin, Bin! Berikan si kembar pada Pram, biarkan mereka berdua mengurus anaknya sendiri di dalam! Kalian bisa bersenang-senang, menikmati liburan,” titah Ibu Citra.
***
Tbc
untuk yg lain aqu sdh melimpir kak...SEMANGAT ...
membayangkan Pram kok mumet mboyong keluarga ke negri singa dan gak tau sampe kapan demi keamanan.
sat set sat set