Langit senja berwarna jingga keemasan, perlahan memudar menjadi ungu lembut. Burung-burung kembali ke sarang, sementara kabut tipis turun dari gunung di kejauhan, menyelimuti desa kecil bernama Qinghe. Di ujung jalan berdebu, seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berjalan tertatih, memanggul seikat kayu bakar yang nyaris dua kali lebih besar dari tubuhnya.
Bajunya lusuh penuh tambalan, rambut hitamnya kusut, dan wajahnya dipenuhi keringat. Namun, di balik penampilan sederhananya, sepasang mata hitam berkilau seolah menyimpan sesuatu yang lebih besar daripada tubuh kurusnya.
“Xiao Feng! Jangan lamban, nanti api dapur padam!” teriak seorang wanita tua dari rumah reyot di pinggir desa. Suaranya serak tapi penuh kasih. Dialah Nenek Lan, satu-satunya keluarga yang tersisa bagi bocah itu.
Xiao Feng menyeringai meski peluh bercucuran.
“Ya, Nenek! Sedikit lagi! Kayu ini lebih keras kepala dari banteng gunung, tapi aku akan menaklukkannya!”
Nenek Lan hanya mendengus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 – Tribulasi Pertama di Gunung Hitam
Kabut pekat menggantung rendah saat Xiao Feng dan Ling’er berjalan menembus hutan lebat menuju Gunung Hitam. Udara semakin berat, seakan setiap langkah menambah beban di bahu mereka.
Burung-burung hitam besar melintas di langit, raungan binatang kuno terdengar di kejauhan, dan aura berbahaya mengintai di balik semak-semak. Namun dibandingkan dengan tekanan yang datang dari langit di atas, semua itu terasa kecil.
“Feng,” suara Ling’er lirih namun tegas, “kau yakin ini jalannya? Aura di sini semakin menyesakkan.”
Xiao Feng mengangguk, matanya menatap lurus ke depan. “Naga di dalam cincinnya sudah menunjukkannya padaku. Gunung Hitam adalah tempat di mana warisan naga pertama tertinggal. Kalau aku ingin bertahan melawan langit, aku harus menapaki jalan ini.”
Ling’er menatapnya lama, lalu menghela napas. “Kalau begitu, aku akan menapakinya bersamamu.”
Mereka baru saja melangkah lebih dalam ketika tanah bergetar. Dari balik pepohonan, muncul sekelompok Serigala Bayangan, beast kuno berbulu hitam pekat dengan mata merah menyala. Mereka bergerak cepat, tubuh mereka hampir menyatu dengan kegelapan.
Ling’er menghunus pedangnya. “Mereka banyak sekali…”
Xiao Feng menegakkan tombaknya. “Jangan panik. Fokus. Kita bisa bertahan.”
Serigala-serigala itu melompat serentak. Tombak Xiao Feng berputar, menciptakan bayangan naga emas yang menyapu tiga ekor sekaligus. Ling’er bergerak lincah, pedangnya menebas leher seekor serigala, darahnya memercik ke udara.
Namun semakin banyak yang muncul dari kegelapan. Lima… sepuluh… bahkan lebih. Mereka mengepung rapat.
Xiao Feng menarik napas dalam, tubuhnya memancarkan aura naga yang berkilau. “Roar!” Sebuah raungan naga bergema dari tubuhnya, menekan serigala-serigala itu. Beberapa langsung mundur, ketakutan.
Ling’er terperangah. “Itu… kekuatan darah naga?”
Xiao Feng hanya tersenyum samar. “Warisan ini… perlahan bangun di dalam diriku.”
Dengan tekanan itu, mereka berhasil menerobos kepungan dan melanjutkan perjalanan.
Malam tiba. Mereka beristirahat di tepi sungai kecil, menyalakan api unggun untuk mengusir hawa dingin. Suara serangga aneh bergema dari hutan, namun api membuat mereka aman.
Ling’er menatap langit malam yang dipenuhi bintang emas samar. “Dunia ini… indah tapi menakutkan. Aku tidak tahu apa yang akan menunggu kita besok.”
Xiao Feng menatapnya dari seberang api. Cahaya merah dari api membuat wajah Ling’er semakin lembut. “Besok… mungkin akan lebih berat dari hari ini. Tapi aku janji, aku tidak akan membiarkanmu terluka.”
Ling’er terdiam, lalu menunduk. Pipinya memerah, tapi senyumnya lembut. “Aku percaya padamu, Feng.”
Malam itu, keduanya tidur bersandar pada batu besar, dengan api unggun yang meredup. Xiao Feng tetap terjaga sebagian besar waktu, menjaga Ling’er yang tidur di sampingnya.
Keesokan harinya, mereka akhirnya sampai di kaki Gunung Hitam. Gunung itu menjulang tinggi menembus awan, puncaknya diselimuti kabut pekat berwarna ungu gelap. Batu-batu hitam mengeluarkan aura dingin, dan di lerengnya, ada ukiran kuno berbentuk naga melingkar.
Ling’er menelan ludah. “Gunung ini… berbeda. Rasanya seolah seluruh dunia sedang menatap kita.”
Xiao Feng mendekati ukiran naga, menyentuhkan tangannya. Begitu kulitnya bersentuhan, ukiran itu bersinar emas, membentuk jalur menuju puncak.
“Ini jalan yang harus kita tempuh.”
Mereka menaiki jalur itu. Semakin tinggi mereka mendaki, semakin berat tekanan yang menimpa tubuh mereka. Angin kencang berisi energi spiritual memotong kulit, membuat darah keluar di lengan Xiao Feng. Namun ia terus melangkah tanpa ragu.
Ling’er menggigit bibir, berusaha menahan rasa sakit, mengikuti dari belakang.
Saat mereka mencapai puncak, sebuah altar hitam besar berdiri, dikelilingi pilar batu dengan ukiran naga emas. Begitu Xiao Feng melangkah ke altar, langit mendadak berubah.
Awan hitam pekat berputar di atas, menyelimuti seluruh gunung. Petir emas menari di dalamnya, suara gemuruh menggetarkan hati.
Ling’er menegang, wajahnya pucat. “Tribulasi… tribulasi surgawi!”
Xiao Feng menatap langit, matanya bersinar. “Akhirnya… saatnya tiba.”
Petir pertama menyambar, turun seperti tombak emas dari langit. Xiao Feng menghunus tombaknya, menyalurkan seluruh kekuatan naga.
BOOOM!
Benturan itu mengguncang altar. Tubuh Xiao Feng terdorong mundur, darah segar muncrat dari bibirnya. Tapi ia tidak jatuh.
“Feng!” Ling’er berlari, ingin membantunya. Tapi Xiao Feng mengangkat tangannya, menghentikannya.
“Jangan mendekat… tribulasi ini hanya milikku. Kalau kau ikut campur, langit juga akan menurunkan murkanya padamu.”
Ling’er menggigit bibir, matanya berkaca-kaca. “Tapi… aku tidak tahan melihatmu terluka!”
Xiao Feng tersenyum samar meski tubuhnya bergetar. “Percayalah… aku lahir untuk menantang langit.”
Petir kedua jatuh, lebih besar dari sebelumnya. Xiao Feng menancapkan tombaknya ke tanah, tubuhnya berkilau emas. Cahaya naga muncul di belakangnya, melindunginya dari serangan.
Namun tubuhnya terbakar, pakaian robek, kulitnya penuh luka bakar. Aroma darah dan daging hangus menyebar.
Ling’er menangis tanpa suara, menggenggam pedangnya dengan erat, tapi tetap menahan diri.
Lalu petir ketiga jatuh, kali ini bercabang tiga, menghantam tubuh Xiao Feng langsung.
ZRAAAK!
Jeritan tertahan keluar dari mulutnya. Tubuhnya hampir roboh, namun ia berlutut sambil menahan tombaknya, menatap langit dengan mata penuh api.
“Aku… tidak akan tunduk… bahkan pada langit!”
Suara naga menggema dari dalam dirinya, tubuhnya memancarkan cahaya emas lebih terang. Luka-lukanya mulai menutup sedikit demi sedikit, seakan darah naga di dalam tubuhnya melawan kehancuran.
Saat petir keempat turun, Xiao Feng tidak lagi bertahan dengan tombaknya. Ia membuka kedua tangannya, menerima petir itu langsung ke tubuhnya.
BOOOOM!
Ledakan besar mengguncang puncak gunung, cahaya emas menyelimuti segalanya. Ling’er berteriak, “FENG!!”
Namun ketika debu mereda, Xiao Feng berdiri tegak, tubuhnya penuh luka tapi matanya bersinar emas. Bayangan naga emas raksasa muncul di belakangnya, meraung ke langit.
Tribulasi berhenti. Awan hitam perlahan menghilang, meninggalkan langit emas yang tenang.
Ling’er berlari, memeluknya erat. Air matanya mengalir deras. “Kau bodoh! Kenapa harus begitu nekat! Bagaimana kalau kau mati?!”
Xiao Feng tersenyum lemah, tangannya membelai rambutnya. “Kalau aku tidak nekat… bagaimana aku bisa melindungimu?”
Ling’er terisak di dadanya, sementara Xiao Feng menatap langit dengan tekad baru. “Ini baru langkah pertama… aku akan terus melawan hingga aku benar-benar menjadi dewa tertinggi.”