JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34. MENCARI JAWABAN
Pertanyaan itu menggantung lama di udara. Ruang tunggu yang sebelumnya hanya diisi suara hujan dan langkah perawat kini terasa hampa, seolah semua suara lenyap ditelan dinding. Ayah Sadewa menatap anak lelakinya itu, mata yang dulu sering keras kini dipenuhi perenungan.
"Siapa yang menumbalkanmu?" gumam sang ayah lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Sadewa. Tangannya mengepal, seakan ada sesuatu yang ingin ia hancurkan tapi tak kasat mata.
Sadewa menunduk. "Dewa nggak mengerti, Yah. Kenapa harus Dewa? Apa tujuannya? Ibu sampai dirasuki, kakak-kakak Dewa terluka, bahkan hidup kita semua porak-poranda. Siapa yang tega berbuat sejauh itu?"
Ayahnya menghela napas panjang, dalam, hingga bahunya berguncang. "Nak, selama hidup ... Ayah nggak pernah melihat orang di sekitar kita melakukan hal-hal musyrik seperti itu. Tidak di keluarga besar kita, tidak pula di lingkaran pekerjaan Ayah. Ayah memang keras, tapi Ayah berpegang pada cara-cara nyata. Tidak pernah Ayah mengandalkan setan, apalagi menumbalkan manusia. Itu gila."
Sadewa berhenti sebentar, menatap kosong ke arah jendela. Hujan di luar masih turun, tapi kini terasa seperti tirai kelabu yang menutupi sesuatu.
"Tapi, dunia ini nggak sesederhana yang kita kira. Terkadang, ada orang-orang yang menyembunyikan wajah aslinya. Di depan tampak baik, sopan, bahkan seolah suci ... tapi di belakang, bisa saja mereka menanam sesuatu yang kelam. Ayah nggak tahu siapa, tapi jelas ada tangan lain yang bermain di balik penderitaanmu," lanjut ayah Sadewa.
Sadewa menelan ludah, pikirannya mulai berkelana. Satu per satu wajah orang-orang yang pernah dekat dengannya muncul. Para tetangga, kerabat jauh, bahkan guru atau tokoh masyarakat yang kadang bersinggungan dengan keluarganya. Namun semakin ia mencoba mengingat, semakin kabur semuanya.
"Berarti ada orang lain yang cukup dekat dengan kita. Karena iblis itu muncul di rumah, di tubuh ibu. Itu nggak mungkin terjadi kalau nggak ada jalan masuk yang dibuka." Suara Sadewa meninggi, matanya memantulkan api kegelisahan.
Ayahnya mengangguk pelan. "Ayah juga berpikir begitu. Kamu harus tahu, pintu gelap itu nggak bisa terbuka tanpa seseorang yang sengaja membukanya. Nggak mungkin iblis itu datang begitu saja. Pasti ada yang menyerahkanmu, entah secara sadar atau karena kebodohannya."
Sadewa merinding. Tubuhnya seakan ditarik ke dalam jurang dingin. "Tapi siapa, Yah? Siapa yang tega?"
Ayahnya terdiam lama. Jemarinya mengetuk pelan sandaran kursi, matanya menyipit penuh ingatan. "Ayah mengingat-ingat ... keluarga besar kita memang keras, tapi tidak ada yang terlihat condong ke jalan musyrik. Saudara-saudaraku sibuk dengan urusan dunia, bukan dunia gaib. Tetangga kita kebanyakan orang biasa. Ayah nggak bisa menuduh sembarangan. Tapi ayah yakin, ini bukan sekadar kebetulan."
Sadewa mengangguk. Hatinya bergemuruh, tetapi ada rasa lega kecil bahwa ayahnya benar-benar tidak terlibat. Setidaknya satu beban terangkat. Namun pertanyaan besar itu tetap menggelayut: siapa yang menumbalkan dirinya?
Malam itu, Sadewa mencoba membuka kembali ingatan-ingatan kecil yang sempat ia abaikan. Ia teringat beberapa kali, ada orang asing yang menatapnya dengan cara aneh ketika ia masih kecil. Tatapan yang tidak sekadar penasaran, tapi seperti menilai. Ada juga beberapa kali ia bermimpi buruk, bayangan sosok hitam yang berdiri di sudut kamar, padahal pintu terkunci rapat.
"Ayah," ucapnya hati-hati, "apakah dulu ada seseorang yang sering datang ke rumah? Orang yang tidak terlalu kita kenal, tapi punya akses dekat dengan keluarga kita?"
Ayahnya berpikir keras, alisnya berkerut dalam. "Dulu waktu kalian kecil, pernah ada beberapa kerabat jauh yang datang. Tapi mereka nggak menetap. Hanya singgah sebentar. Ada juga tetangga baru di ujung gang, tapi aku nggak pernah terlalu dekat. Nggak ada yang mencurigakan."
Sadewa juga tidak pernah melihat hal aneh di rumah selama ini.
Ayah Sadewa berhenti, wajahnya berubah serius. "Tapi, sekarang ayah ingat sesuatu. Pernah, beberapa tahun lalu, ada seorang dukun yang tiba-tiba menawarkan 'perlindungan rumah' kepada ibumu. Ayah menolaknya mentah-mentah. Tapi Ayah nggak tahu, apakah ibumu pernah menanggapinya diam-diam. Kamutahu, ibumu orangnya lembut, kadang terlalu mudah percaya."
Sadewa membelalak. "Perlindungan rumah? Dukun?"
Ayahnya mengangguk berat. "Ya. Ayah nggak pernah mau percaya hal begitu. Tapi kalau memang ada pintu yang terbuka, mungkin saat itulah. Entah ibumu diberi sesuatu, atau ada yang menyusupkan tanpa kita sadari. Ayah nggak menuduh ibumu, tapi bisa jadi orang itu yang punya kepentingan. Mungkin dia bekerja untuk sesuatu yang lebih besar, atau melihat sesuatu yang nggak kita tahu saat itu."
Sadewa menggigil. Dadanya berdegup kencang, seakan sebuah rahasia besar mulai menunjukkan ujung benangnya.
"Kalau begitu, Yah, kita harus mencari tahu lebuh jauh," kata Sadewa.
Ayahnya menatapnya dengan sorot mata yang lebih tajam dari sebelumnya. Ada tekad yang baru lahir di sana. "Benar, Nak. Kita akan cari tahu. Kita akan bongkar siapa yang berani menumbalkanmu. Aku janji."
Setelah percakapan berat itu, Sadewa dan ayahnya akhirnya beranjak dari kursi tunggu. Mereka melangkah menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang perawatan kakak-kakak Sadewa. Cahaya lampu neon memantul di lantai, menciptakan bayangan panjang yang bergerak bersama langkah mereka.
Pintu ruangan itu didorong perlahan. Aroma obat-obatan langsung menyeruak, bercampur dengan bau kain kasa dan antiseptik. Di dalam, Naras dan Dian tampak berbaring di ranjang masing-masing. Wajah keduanya pucat, tapi tidak lagi sekosong malam tragedi itu. Luka-luka mereka sudah dibalut rapi, infus terpasang, dan monitor detak jantung memperlihatkan grafik yang tenang.
"Sadewa?" suara Naras terdengar lirih, namun senyum tipisnya menandakan lega yang sulit disembunyikan.
Dian, meski masih lemah, mengangkat tangannya pelan, menyambut adiknya.
Sadewa segera mendekat, matanya penuh rasa lega. "Bang Naras, Mbak Dian ... syukurlah kalian selamat. Aku ... aku hampir kehilangan kalian semua."
Naras menepuk pelan lengan adiknya. "Kami masih di sini, Dewa. Jangan terlalu salahkan dirimu. Itu bukan salahmu."
Ayah mereka berdiri di sisi lain, menatap anak-anaknya dengan mata yang tak biasa. Ada kehangatan yang jarang sekali mereka lihat darinya. "Kalian harus banyak istirahat. Jangan pikirkan apa-apa dulu. Biarkan tubuh kalian pulih."
Sejenak, suasana kamar itu terasa berbeda. Tidak ada bentakan, tidak ada ketegangan. Hanya keluarga yang terluka, tapi masih bersama, saling menjaga di tengah luka-luka yang belum kering.
Setelah beberapa saat, Sadewa dan ayahnya akhirnya berpamitan. "Naras, Ayah dan Sadewa akan pulang sebentar. Kami perlu mengambil keperluan untuk ibumu, juga kalian. Dan aku ingin melihat keadaan rumah setelah semua yang terjadi," kata sang ayah.
Naras mengangguk, meski wajahnya mengeras. "Hati-hati, Yah."
Ayahnya menepuk bahu Naras dengan mantap. "Tenang saja. Ayah bersama Sadewa. Kami akan baik-baik saja."
Perjalanan pulang terasa panjang, meski jaraknya tidak sejauh itu. Jalanan basah oleh hujan, lampu jalan memantulkan cahaya keemasan di genangan air. Sadewa duduk di kursi penumpang, menatap ke luar jendela dengan pikiran yang tak henti berputar. Rumah itu ... tempat segala kengerian dimulai. Bagaimana jika mereka menemukan sesuatu yang lebih buruk dari sebelumnya?
Namun ketika mobil memasuki halaman, mereka mendapati rumah itu masih berdiri kokoh. Pintu depan tertutup rapat, lampu teras menyala lembut. Ada sosok yang sudah mereka kenal berdiri di sana: Mbok Sukma, perempuan tua yang sudah lama mengabdi di keluarga mereka.
"Kalian pulang?" ucap Mbok Sukma dengan suara serak namun penuh kehangatan. Wajah tuanya tampak lega, meski ada gurat cemas yang masih membekas. "Rumah ini saya jaga. Tidak ada yang berani masuk."
Ayah Sadewa mengangguk, matanya melembut. "Terima kasih, Mbok. Mbok udah banyak membantu. Saya benar-benar bersyukur Mbok masih ada di sini."
Sadewa pun tersenyum samar. "Terima kasih, Mbok. Dewa lega rumah ini tidak semakin kacau."
Mbok Sukma tersenyum, tangannya gemetar sedikit, mungkin karena usia. "Saya hanya melakukan yang bisa saya lakukan. Yang penting keluarga semua sehat."
Namun tepat ketika Sadewa hendak melangkah masuk ke rumah, sesuatu membuat tubuhnya mendadak kaku. Di depan matanya, ia menangkap bayangan yang tidak seharusnya ada.
Sosok tinggi, hitam, dengan wajah samar seperti kabut pekat, berdiri membayangi perempuan tua itu. Matanya merah menyala, menatap lurus ke arah Sadewa. Nafas Sadewa tercekat, bulu kuduknya meremang hebat. Sosok serupa dengan yang ada di palung kegelapan.
"Ya Tuhan," bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Ayahnya menoleh cepat, menyadari perubahan wajah anaknya. "Ada apa, Dewa?"
Sadewa tidak bisa segera menjawab. Matanya terpaku pada sosok itu, yang kini mulai bergerak pelan, mendekat ke arah Mbok Sukma, seakan hendak merenggut tubuh renta itu.
Mbok Sukma, yang tidak menyadari apa-apa, hanya menatap Sadewa dengan wajah bingung. "Ada apa? Kenapa wajah kami pucat begitu?"
Sadewa mundur setapak, jantungnya berdegup kencang.
"Ayah, ada sesuatu di belakang Mbok Sukma," bisik Sadewa kepada sang ayah.
Suasana yang tadinya penuh syukur dan lega kini berubah tegang dalam sekejap. Bayangan gelap itu hanya bisa dilihat Sadewa, namun aura dinginnya terasa jelas menusuk udara di sekitar mereka.
the end ternyata
hai othor,kabarin aku kalo ada cerita baru lagi y,awas kalo gak,pulang nanti lewat mana,aku cegat sambil bawa seblak 😂😂
tak d sangka tak d nyana,kisahnya jadi semakin rumit keluarga Sadewa ini
bingung akh
who is that?
😃😃
Meskipun ada debaran Hati juga akal manusia...SIAPA...MENGAPA...KARNA APA ...SALAH APA...TUJUANNYA APA ??
2 dunia yang berbeda , percaya atau tidaknya semua kembali pada kepercayaan masing².
Cerita yang sangat apik juga alur yang tertata dengan rapi.
Semangat THOOOOORRR .. semoga masuk 10 cerita terbaik.Aamiin🤲🤲
semua kembali pada ptibadi masing²