Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Pagi itu kabut tebal masih menyelimuti lereng bukit. Udara dingin menusuk tulang, membuat banyak anak-anak menggigil di dalam tenda darurat. Bagja baru saja selesai menjahit luka seorang pemuda yang tertimpa balok kayu. Tangannya kaku karena semalaman bekerja tanpa tidur, tetapi wajahnya tetap berusaha tenang.
“Terima kasih, Pak Dokter,” ucap pemuda itu lirih, menahan sakit.
Bagja hanya tersenyum singkat. “Jaga lukanya, jangan banyak bergerak. Kalau terasa perih, bilang ke saya.”
Sementara itu, Galuh duduk bersama beberapa ibu-ibu, membagikan makanan seadanya. Tangannya mengelus lembut rambut seorang anak kecil yang masih terisak karena kehilangan ayahnya.
“Sudah, Nak. Jangan takut. Ada Ibu di sini,” bisik Galuh. Meski hatinya sendiri pilu, ia berusaha menyalurkan ketegaran pada anak-anak itu.
Ryan dan Dewa kembali dari posko TNI, membawa kabar yang tidak kalah berat. “Bagja, barusan ada laporan masuk. Masih banyak korban yang tertimbun di bagian hulu. Evakuasi belum bisa dilakukan cepat karena alat berat tidak bisa masuk.”
Bagja mengusap wajahnya yang penuh keringat bercampur tanah. “Kalau begitu, kita fokus dulu pada yang selamat. Jangan sampai mereka terlantar.”
Galuh menoleh dengan mata berkaca-kaca. “Aa, bagaimana dengan yang masih tertimbun? Apa kita cuma bisa menunggu?”
“Bukan cuma menunggu,” jawab Bagja pelan, menatap istrinya. “Kita tetap berdoa dan bantu semampunya. Kalau Allah berkehendak, mereka akan ditemukan.”
Menjelang siang, suasana posko makin ramai. Beberapa relawan datang membawa selimut, pakaian, dan makanan. Namun, persediaan tetap tidak mencukupi.
“Galuh, bisa tolong atur pembagian logistik?” pinta Pak Camat, yang sejak semalam ikut berjaga meski tubuhnya sendiri kelelahan.
Galuh mengangguk. “Baik, Pak. Saya akan atur bersama ibu-ibu.”
Ketika sedang membagi nasi bungkus, tiba-tiba seorang ibu berteriak histeris. “Suami saya! Tolong! Dia masih di bawah timbunan tanah!”
Ibu itu berusaha berlari ke arah lereng, tapi ditahan oleh beberapa warga. Suaranya pecah, tangisnya membuat Galuh merinding.
Galuh mendekat, mencoba menenangkan. “Bu, tenang dulu. Nanti TNI akan lanjutkan pencarian. Ibu harus jaga kesehatan, anak-anak Ibu butuh Ibu tetap kuat.”
Tapi mata ibu itu penuh keputusasaan. “Apa kalian mengerti rasanya menunggu orang yang mungkin sudah tidak bernyawa?!”
Galuh terdiam, tidak sanggup menjawab. Ia tahu, kata-kata apa pun terasa sia-sia di hadapan duka sebesar itu.
Bagja memanggil Galuh. “Yang, ikut aku sebentar. Kita lihat kondisi lereng bawah.”
Dengan hati-hati, mereka menuruni jalan tanah yang licin. Bau tanah basah bercampur lumpur menyengat hidung. Dari kejauhan, terlihat beberapa tentara menggali dengan cangkul dan sekop. Setiap kali tanah terangkat, semua orang menahan napas, apakah akan menemukan tubuh selamat atau sudah tak bernyawa.
Galuh menggenggam tangan Bagja erat. “Aa, aku kasihan lihatnya.”
Bagja menatap wajah istrinya. “Aku juga tidak tega, Yang. Tapi kita harus kuat. Warga butuh kita.”
Baru saja kata-kata itu diucapkan, terdengar teriakan dari arah bawah. “Ada tubuh!”
Semua orang berlari mendekat. Seorang pria berhasil ditarik keluar, tubuhnya penuh lumpur dan tak bergerak. Warga menjerit, beberapa menangis. Bagja segera memeriksa nadi. Setelah beberapa detik menegangkan, ia menggeleng pelan.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,” ucapnya lirih.
Galuh menutup mulut, air matanya tumpah. Ia memeluk Bagja erat, seakan mencari kekuatan.
Hujan kembali datang. Udara semakin dingin, suara tangisan masih terdengar di setiap sudut posko. Bagja duduk bersandar di dekat pintu tenda, matanya nyaris terpejam karena lelah. Galuh menyelimuti tubuh suaminya dengan kain tebal.
“Aa, istirahat sebentar. Kalau terus dipaksa, Aa bisa jatuh sakit.”
Bagja membuka mata, menatap istrinya dengan senyum lelah. “Aku baik-baik saja. Kamu juga jangan terlalu memaksakan diri.”
Galuh menggeleng. “Kalau aku berhenti, siapa yang jagain anak-anak itu? Siapa yang tenangkan ibu-ibu yang menangis? Kita enggak bisa egois, Aa.”
Bagja meraih tangan Galuh, menggenggamnya erat. “Kamu istri yang kuat. Aku bangga sama kamu.”
Galuh menunduk, menahan haru. “Aku hanya berusaha. Kalau bukan karena Aa, aku mungkin sudah menyerah.”
Malam itu, mereka duduk bersebelahan di bawah langit gelap, di antara jerit tangis duka. Hanya cahaya lampu minyak yang temaram, menerangi wajah dua insan yang memilih bertahan demi orang lain.
***
Bagja akhirnya kembali dari Desa Cipasir setelah seminggu penuh berjibaku menolong korban bencana. Tubuhnya lelah, wajah lebih tirus, tetapi matanya berbinar begitu melihat sosok yang dia
rindukan. Pria itu seperti menemukan kembali rumahnya ketika Galuh berdiri di depan pintu, menunggu dengan senyum hangat.
“Rindu sekali sama Ayang ku ini!”
Bagja langsung merengkuh Galuh ke dalam pelukannya. Ia mendekap erat, seakan ingin menumpahkan seluruh kerinduan yang menyesakkan dadanya. Hidungnya mencium wangi sabun mandi yang masih menempel di tubuh istrinya, membuatnya semakin enggan melepas.
Galuh meringis sambil tertawa kecil. “Bukannya setiap hari kita bertemu, Aa? Bahkan di posko kita masih sering berpapasan.”
“Iya, iya.” Bagja menatapnya dengan wajah cemberut manja. “Tapi, cuma ketemu. Tidak ada pelukan, ciuman, apalagi ....”
Galuh langsung menepuk dada suaminya, wajahnya merona merah. “Jangan mulai, ya! Sebentar lagi mau magrib dan aku baru selesai mandi.”
Bagja malah menaik-turunkan alisnya dengan gaya usil. “Kalau begitu setelah magrib saja.” Senyum nakalnya jelas menandakan maksud yang berbeda.
Galuh menahan tawa, berusaha terlihat tegas padahal dalam hati geli melihat kelakuan suaminya. “Tanggung waktu salat Isya. Habis Isya boleh, deh, Aa goda aku lagi.”
Suasana kembali mencair, tawa keduanya memenuhi rumah mungil yang kini terasa lebih hidup sejak mereka menikah. Namun, di balik canda itu, terselip kegelisahan yang Bagja simpan.
Kejadian longsor di Desa Cipasir membuat Bagja berpikir keras. Betapa rapuhnya hidup manusia. Nyawa bisa terenggut kapan saja.
Malam itu, setelah keintiman mereka usai, Bagja memeluk Galuh erat. Keduanya masih terengah, tapi mata Bagja serius menatap istrinya.
“Yang, kamu belum di KB, kan?” tanya Bagja pelan. Dia menatap wanita yang menjadi belahan jiwanya.
Galuh menoleh, sedikit terkejut. “Belum. Kenapa, Aa?”
Bagja menghela napas dalam. Ia ingin sekali berkata jujur tentang kegelisahannya.
“Seandainya aku minta Ayang untuk tidak di KB, apakah mau?”
Galuh diam sebentar, lalu tersenyum lembut. “Tidak masalah. Apakah Aa ingin segera punya anak?” tanyanya balik.
“Ya,” jawab Bagja tanpa ragu. “Aku ingin kita segera punya anak. Kalau ajal datang menjemput, setidaknya aku meninggalkan penerus. Darah daging kita.” Suaranya bergetar menahan harapan yang begitu besar.
"Aa, kok, ngomongnya begitu! Aku tidak suka," ujar Galuh, merasa sedih dan takut.
"Hidup dan mati seseorang hanya Allah yang tahu. Setidaknya aku ingin ada penerus keluarga kita yang berbakti untuk kemaslahatan masyarakat di kampung kita ini," jelas Bagja sambil mengelus pipi sang istri.
Galuh menggenggam tangan suaminya, mengusap lembut punggungnya. “Kalau begitu kita harus semakin mengencangkan doa dan berikhtiar. Anak itu amanah Allah, Aa. Jika sudah waktunya, Dia pasti titipkan.”
Bagja mengangguk. “Kamu selalu bisa menenangkan hatiku, Yang.”
Malam itu, di antara doa-doa yang mereka bisikkan, keduanya menyimpan harapan baru, yaitu hadirnya seorang buah hati.
***
Keesokan harinya, suasana sekolah berbeda dari biasanya. Dewa datang dengan wajah cerah dan senyum yang tak henti-henti menghiasi bibirnya. Langkahnya ringan, bahkan sejak memasuki gerbang sekolah, para murid memperhatikan gurunya yang tampak jauh lebih bersemangat dari biasanya.
Galuh yang sedang berbicara dengan Ryan spontan melirik. Mereka sudah bertahun-tahun mengenal Dewa. Kalau sampai ekspresinya seceria itu, pasti ada sesuatu yang besar terjadi.
“Ryan,” bisik Galuh sambil menyikut sahabatnya. “Lihat tuh wajahnya Dewa. Kayak lagi jatuh cinta, ya?”
Ryan mengangguk setuju, bibirnya menyunggingkan senyum nakal. Mereka berdua kompak menunggu Dewa mendekat.
Begitu sampai, Galuh langsung menyambut dengan tatapan menyelidik. “Ada kabar baik apa ini, Wa?”
Ryan ikut menimpali dengan nada menggoda. “Jangan-jangan kamu sudah bertemu wanita cantik.”
Dewa hanya tersenyum, tetapi senyumnya terlalu lebar untuk ukuran biasa. Itu membuat keduanya semakin penasaran.
“Tebakan kamu benar,” jawab Dewa akhirnya, membuat Galuh dan Ryan spontan terperangah.
“Serius?!” seru mereka hampir bersamaan.
“Siapa orangnya?!” tanya Galuh dan Ryan lagi, suara mereka nyaris kompak.
Dewa tertawa geli melihat reaksi kedua sahabatnya. Ia mengangkat tangan, seolah ingin meredam kehebohan.
“Tenang dulu, dong. Nanti aku cerita.”
Bukannya sabar, Galuh semakin maju mendekat, menatap Dewa penuh rasa ingin tahu. “Ayo cepat cerita, Wa. Jangan bikin penasaran! Kamu, kan, tahu kalau aku orangnya tidak sabaran.”
Ryan ikut mengangguk, wajahnya semakin serius. “Betul. Kalau kamu sampai tidak cerita hari ini, aku bakal interogasi sampai ke rumah.”
Dewa terkekeh sampai pipinya memerah. “Ya ampun, kalian berdua ini persis detektif. Oke-oke, aku akan cerita. Tapi nanti, pas jam istirahat panjang. Aku enggak mau kalau murid-murid ikut nimbrung.”
Galuh melipat tangannya di dada, pura-pura merajuk. “Hmm, baiklah. Tapi kalau ternyata kamu cuma bercanda, siap-siap ya, aku bakal kasih hukuman lari keliling lapangan sepuluh putaran.”
“Setuju!” timpal Ryan cepat.
Dewa hanya bisa geleng-geleng kepala. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tak sabar untuk benar-benar membagikan kabar bahagia itu.
***
Niatnya karya ini enggak akan dikontrakkan. Namun, kemarin aku tidak sengaja klik kontrak saat mau klik draf buat update. Semoga dapat reward dan ramai pembacanya sampai akhir.
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....