Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Modern di Tanah Kuno
Pagi setelah aku kembali dari masa lalu terasa seperti mimpi yang belum selesai.
Hujan sudah berhenti, tapi langit masih kelabu — seperti dunia sedang menunggu sesuatu yang belum pasti.
Aku duduk di taman istana, menatap telapak tanganku yang masih berdenyut samar.
Cahaya biru di sana sudah memudar, tapi hangatnya belum hilang.
Mungkin karena sebagian dari Ryou masih tertinggal di dalamku.
Akira datang membawa dua cangkir teh panas.
Wajahnya terlihat lebih tenang, tapi mata itu masih menyimpan kekhawatiran yang sulit disembunyikan.
“Kau tidak tidur semalam,” katanya, menyerahkan satu cangkir padaku.
Aku menggeleng. “Aku takut kalau aku tidur, aku akan bangun di waktu lain lagi.”
Dia tersenyum kecil. “Kalau itu terjadi, aku akan menunggumu di setiap waktu.”
Aku tersenyum pahit. “Jangan bicara seperti itu, nanti aku benar-benar hilang.”
“Kalau pun kau hilang,” katanya sambil menatapku lembut, “kau akan meninggalkan jejak. Dan aku akan menemukannya.”
Kata-katanya sederhana, tapi membuat hatiku bergetar.
Mungkin karena setelah semua hal yang kami alami, aku tahu dia benar-benar akan melakukannya.
Tapi yang tidak kuketahui… adalah bahwa “jejak” itu ternyata sudah mulai muncul — bukan di hatinya, tapi di dunia ini.
Hari itu, aku pergi memeriksa klinik kecil tempat aku dulu membantu rakyat istana.
Sejak aku menghilang, tempat itu kosong.
Namun begitu aku masuk, aku melihat sesuatu yang membuatku terdiam.
Sebuah lampu listrik.
Bukan lentera, bukan obor. Lampu — bulat, dengan kabel kecil menjulur ke bawah meja.
Aku menyentuhnya, dan sinar lembut muncul saat jariku mendekat.
Aku mundur, jantungku berdegup.
“Tidak mungkin…”
Aku tahu bentuk itu. Itu lampu LED kecil, model lama yang pernah kupakai di rumah sakit di dunia modern.
Tapi bagaimana bisa benda itu ada di sini?
Aku memeriksa lebih jauh.
Di pojok ruangan ada botol kaca dengan label berhuruf latin: Hydrogen Peroxide 3%.
Tanganku gemetar.
Barang-barang ini… milikku.
Yang seharusnya lenyap bersamaku di masa depan.
“Tidak mungkin,” gumamku. “Apakah waktu menembus dua arah?”
Suara langkah di belakangku membuatku menoleh.
Aiko berdiri di pintu, menatapku dengan wajah dingin tapi terkejut.
“Itu… apa yang kau pegang?”
“Ini milikku,” jawabku cepat.
Dia mendekat perlahan. “Barang dari dunia lain?”
“Ya. Tapi aku tidak tahu kenapa muncul di sini.”
Dia menyentuh meja, memperhatikan alat-alat itu. “Beberapa malam lalu, ada cahaya biru muncul di langit. Mungkin itu portal kecil yang terbuka lagi.”
“Portal?”
Dia mengangguk. “Waktu tidak tertutup sempurna. Setiap kali kau menggunakan kekuatanmu, gerbang kecil terbuka. Mungkin sebagian benda-benda itu ikut terbawa.”
Aku terdiam.
Jadi dunia ini mulai tercampur dengan duniaku?
Aiko menatapku lama. “Mika, kalau dua dunia terus saling menembus, salah satu akan lenyap. Dunia ini… atau duniamu.”
Aku menelan ludah. “Lalu bagaimana cara menghentikannya?”
Dia menggeleng. “Kau harus menutup gerbang waktu sepenuhnya. Tapi hanya kau yang bisa melakukannya.”
Aku menatapnya. “Dan kalau aku melakukannya?”
“Waktu akan memilih. Entah dunia ini yang bertahan… atau kau.”
Aku kembali ke istana dalam keadaan kacau.
Di lorong, aku bertemu Akira.
“Wajahmu pucat,” katanya. “Ada apa?”
Aku menceritakan semuanya: lampu, botol, dan kata-kata Aiko.
Dia mendengarkan dengan tatapan serius.
“Jadi waktu mulai bocor…” gumamnya. “Dan dunia kita mulai berubah karena kehadiranmu.”
Aku mengangguk pelan. “Mungkin kehadiranku di sini sudah melampaui batas.”
“Tapi kau tidak bisa kembali.”
“Tidak.”
Dia menatapku, lalu berkata pelan, “Kalau waktu menuntut satu dunia hilang, maka biarkan dunia ini yang lenyap. Aku tidak akan biarkan kau mengorbankan dirimu lagi.”
Aku langsung menggeleng. “Jangan bicara begitu. Dunia ini punya orang-orang yang tak bersalah. Mereka tidak pantas musnah karena aku.”
“Dan aku tidak pantas kehilanganmu lagi,” balasnya cepat.
Kami saling menatap lama.
Di matanya ada cinta yang dalam, tapi juga keputusasaan yang mengalir.
Aku tahu, jika waktunya tiba, salah satu dari kami harus memilih.
Dan pilihan itu tidak akan mudah.
Malam itu, hujan turun lagi.
Aku duduk di balkon, menatap langit yang dipenuhi kilat.
Setiap kilat yang menyambar menyingkap pemandangan aneh di kejauhan:
Menara besi, jalan beraspal, bahkan mobil-mobil yang melintas sekilas — seperti bayangan dari dunia modernku yang menembus batas realitas.
“Dunia ini sedang meniru masa depan,” pikirku.
Bukan hanya benda yang terbawa, tapi waktu mulai bergeser.
Kuno dan modern mulai bercampur seperti tinta di air.
Aku menulis semua yang kulihat di buku catatan kecil: bentuk lampu, nama kimia, bahkan model bangunan.
Tapi saat aku membuka halaman terakhir, aku tertegun.
Tulisan tangan di sana bukan milikku.
“Mika, kalau kau membaca ini, berarti waktu sudah mulai berputar lagi.
Aku tahu kau akan mencoba menutup gerbang, tapi jangan lakukan sendirian.
Cinta hanya bisa bertahan kalau dua jiwa memilihnya di waktu yang sama.”
—Ryou.
Aku menatap halaman itu lama, air mata menetes tanpa kusadari.
“Jadi bahkan waktu pun tahu aku masih terhubung dengannya,” bisikku.
Keesokan paginya, aku dan Akira berdiskusi di ruang doa.
“Kalau waktu sudah mulai menembus dunia,” katanya, “kita harus mencari titik pusatnya.”
“Titik pusat?”
“Tempat pertama kali kau datang — badai waktu di gunung selatan.”
Aku mengangguk. “Kalau aku menutup gerbang di sana, mungkin dua dunia akan terpisah lagi.”
“Dan mungkin kau juga akan ikut tertutup di dalamnya,” katanya pelan.
Aku menatapnya, tersenyum kecil. “Kalau memang begitu, aku hanya berharap waktu berbaik hati padamu.”
Dia memejamkan mata, menarik napas berat.
“Mika, kalau ada hidup setelah ini, aku ingin bertemu lagi… di dunia yang sama.”
Aku tersenyum samar. “Mungkin kali ini, aku yang jadi pangeran, dan kau yang tersesat.”
Dia tertawa kecil. “Asal kita bertemu lagi, aku tak peduli siapa yang menyelamatkan siapa.”
Kami berdua tertawa, tapi di balik tawa itu ada rasa takut yang sama.
Karena kami tahu, perjalanan ke gunung selatan bukan hanya perjalanan biasa.
Itu adalah perjalanan menuju akhir — entah akhir dunia ini, atau akhir waktu bagi kami berdua.
Sore hari, kami berangkat.
Langit merah keunguan, dan hujan mulai turun lagi.
Rombongan kecil kami berjalan menembus hutan basah, sementara suara petir terus mengiringi dari kejauhan.
Di depan, terlihat puncak gunung selatan — tempat badai waktu pertama kali terbuka.
Tempat segalanya dimulai.
Aku menggenggam tangan Akira. “Kalau dunia ini punya akhir, aku ingin menghadapinya bersamamu.”
Dia menatapku dengan tatapan yang dalam. “Kita mulai bersama. Kita juga akan berakhir bersama.”
Kami mendaki dalam diam.
Angin semakin kuat, cahaya di langit mulai membentuk pusaran seperti tirai besar.
Bumi bergetar.
Dan di tengah pusaran itu, aku melihatnya lagi — tirai putih yang bergoyang lembut.
Di baliknya, dua sosok berdiri: Riku dan Reina, tersenyum samar.
“Sudah waktunya, Mika,” kata Reina. “Waktu menunggu keputusanmu.”
Aku melangkah maju, tapi Akira menahan tanganku.
“Apapun yang terjadi, jangan tinggalkan aku,” katanya.
Aku menatapnya, air mata jatuh bersama hujan. “Aku berjanji… sampai waktu sendiri berhenti.”
Cahaya menyelimuti kami berdua.
Dunia di sekeliling berubah jadi kabut.
Dan di antara gemuruh petir, aku mendengar bisikan samar — suara Ryou, bercampur dengan suara Akira.
“Cinta tidak pernah hilang. Ia hanya berganti bentuk… dan menulis ulang waktu.”
Ketika kabut itu mereda, kami berdiri di atas puncak gunung yang sepi.
Tidak ada pusaran, tidak ada cahaya.
Hanya langit yang perlahan cerah, dan sinar matahari pertama yang muncul setelah hujan panjang.
Aku menatap tangan Akira — masih kugenggam erat, masih hangat.
Aku masih di sini.
Dunia ini masih ada.
Tapi di ujung lembah, aku melihat sesuatu yang membuat napasku tercekat:
Menara besi berdiri di kejauhan, dikelilingi cahaya listrik.
Dan di langit, pesawat kecil melintas perlahan.
“Akira…” bisikku. “Dunia ini… berubah.”
Dia menatap pemandangan itu lama, lalu berbisik, “Mungkin waktu tidak memilih salah satu. Mungkin dia memilih keduanya.”
Aku menatap matahari yang muncul dari balik awan.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa dunia ini — dunia baru ini — bukan masa lalu atau masa depan.
Ini adalah sesuatu di antara keduanya.
Sebuah dunia yang lahir dari cinta yang menembus waktu.