Calon suami Rania direbut oleh adik kandungnya sendiri. Apa Rania akan diam saja dan merelakan calon suaminya? Tentu saja tidak! Rania membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih sakit, meski harus merelakan dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetiemiliky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Apa aku baik-baik saja?
Terhitung satu minggu berlalu setelah hari dimana Ambar diboyong ke rumah baru oleh Bumi. Rania yang masih menempati ruang kamar miliknya, tidak mengalami perubahan yang pasti meskipun Ambar sudah tidak tinggal satu atap, Mina dan Anton terkesan tidak peduli pada Rania.
Mereka hanya memastikan Rania makan dengan baik tanpa bertanya bagaimana batin Rania saat ini. Tentang apakah baik-baik saja setelah calon suaminya menikah dengan adiknya sendiri. Dan, bagaimana mental Rania setelah pernikahannya batal.
Malah yang terlihat adalah Anton dan Mina lebih sibuk mengunjungi Ambar dirumah baru, selalu memastikan keadaan Ambar dan bayinya baik-baik saja atau tidak. Bahkan bertanya sedang ingin makan apa, atau membutuhkan sesuatu, dan langsung dibawakan oleh Anton dan Mina.
Rania semakin muak dan kesal dibuatnya.
Hari ini, untuk pertama kalinya, Rania berniat keluar rumah dengan tujuan bertemu dengan Ajeng usai semalam wanita itu tiba-tiba saja mengirimkan pesan berisi ajakan nongkrong. Tentu Rania langsung menyetujuinya setelah tidak keluar rumah kurang lebih satu minggu.
''Mau kemana kamu?'' Anton meletakkan cangkir kopi ke atas meja, lalu beranjak mendekati Rania. Ia memindai penampilan putri sulungnya dari atas sampai bawah. ''Pakai baju seperti tidak pakai baju. Apa tidak ada pakaian yang lain?''
Rania memutar bola matanya malas. Tangannya bergerak hingga terlipat didepan dada. ''Apa ada yang salah? Aku merasa baju yang aku pakai masih wajar untuk anak muda.''
''Masih bertanya? Apa menurut kamu pakaian yang kamu pakai itu sopan untuk dilihat orang lain?''
''Pantas saja. Teman-temanku banyak yang memakai model pakaian seperti ini, ayah saja yang tidak tahu model pakaian jaman sekarang.''
Pakaian yang dimaksud oleh Rania adalah baju crop top berwarna hitam tanpa lengan, yang hanya dihiasi pita sebagai pengganti lengan dibagian bahu. Baju tersebut dipadukan dengan celana jeans panjang, meski paha putihnya terpampang karena model celana tersebut.
Ini kali pertama Rania memakai pakaian seperti ini, jelas saja Anton yang tadinya duduk tenang sambil menikmati secangkir kopi, langsung berdiri dan mengomel.
Anton meraih lengan Rania. ''Ganti bajumu sekarang.''
''Tidak mau!''
''Ganti sekarang!''
''Aku tidak mau, ayah! Jangan mengaturku!''
Mendengar teriakan Rania, spontan tangan Anton menjauh dan berakhir menggantung disisi tubuh. Ia diam saat mendengar Rania kembali melanjutkan kalimatnya.
''Jangan mengaturku. Aku sudah dewasa dan bisa berpikir sendiri mana yang salah dan mana yang benar, dan aku bisa mempertanggung jawabkan apa yang aku lakukan. Termasuk memakai pakaian ini.''
Anton kehilangan kata usai Rania berteriak kepadanya beberapa waktu lalu, sampai tidak sadar kalau sang empu ternyata sudah berjalan menjauh dan berganti dengan Mina yang baru saja datang.
Mina menatap suaminya yang sedang melamun, kemudian maniknya bergulir menatap gerbang rumah. Takutnya ada orang jahat yang baru saja menghipnotis Anton dan berbuat jahat karena Mina mendengar keributan sebelumnya.
Menyentuh bahu suaminya, dahi Mina mengerut tipis saat melihat suaminya sedikit tersentak kaget setelah Mina mendaratkan tangan di bahunya. ''Ayah, ada apa?''
''Ah, tidak apa-apa. Sejak kapan ibu berdiri disini?''
''Belum lama. Ibu mendengar keributan, makannya ibu ke sini untuk melihat ayah, takutnya ada orang jahat. Ibu sampai harus meninggalkan cucian piring.''
Mendengar hal itu, spontan Anton menghela napas panjang. Ia bergerak menuju kursi dan duduk disana kemudian, dan diikuti Mina yang juga mendudukkan diri dikursi kosong.
''Tidak tahu kenapa ayah merasa khawatir pada Rania.''
''Memangnya kenapa? Apa anak itu membuat ulah lagi?''
Bukannya menjawab pertanyaan dari Mina, Anton malah melempar pertanyaan lain. ''Menurut ibu, apa kita harus membawa Rania ke psikolog untuk berobat?''
Dahi Mina berkerut dalam. ''Apa maksud ayah? Dia tidak gila.''
''Pergi ke psikolog bukan berarti gila, bu. Hanya saja setelah kejadian ini, ayah pikir Rania membutuhkannya untuk bercerita tentang apa yang sedang ia rasakan. Ayah takut kalau—,''
''Tidak usah. 'Kan, masih ada kita sebagai orang tua untuk mendengarkan ceritanya. Apa ayah tidak memikirkan Ambar?''
''Kenapa sampai membahas Ambar? Kita sedang membahas kondisi Rania sekarang.''
''Ya ayah pikirkan saja, kalau Rania bercerita tentang perasaan dia saat ini, pasti nama Ambar akan terseret. Ibu tidak mau Ambar merasa malu karena hal itu.''
''Ayah kurang paham dengan apa yang ibu maksud. Memangnya dokter yang ditemui Rania akan bercerita pada Ambar tentang apa yang diceritakan Rania?''
Mina mendengus kasar. ''Ya sudah lah kalau tidak paham. Ibu juga malas menjelaskan panjang lebar pada ayah. Tapi intinya, ibu tidak setuju dengan ide ayah membawa Rania untuk bercerita kepada orang lain. Titik!''
Ibu beranjak usai kalimat berakhir dan meninggalkan ayah sendirian diteras rumah. Anton menghela napas panjang sambil memijat pangkal hidungnya.
...----------------...
''Maaf ya, mbak? Apa sudah menunggu lama?''
Rania mendudukkan diri dikursi kosong dan meletakkan tas diatas meja. Ia meringis tak enak begitu berhadapan dengan Ajeng.
Ajeng menegakkan punggungnya. ''Tidak lama, kok. Baru habis dua cup kopi.''
Awalnya Rania pikir hanya candaan saja. Tapi saat maniknya bergulir ke bawah, Rania benar-benar melihat dua cup kosong dihadapan Ajeng.
''Aku sudah berusaha datang lebih awal sebenarnya, tapi di lampu merah sepertinya baru saja terjadi kecelakaan. Jalan jadi macet dan banyak orang yang sedang membersihkan jalanan.''
''Kurasa memang benar, tadi tidak sengaja muncul di reels sosial mediaku.''
Kepala Rania mengangguk-angguk. ''Jadi, ada apa mbak Ajeng memintaku datang ke sini? Apa ada hal penting? Atau, aku masih punya hutang yang tidak aku ingat dan belum dibayar?''
''Ah, tidak,'' Ajeng segera meluruskan. ''Aku memintamu ke sini karena aku sedang bosan saja ditoko. Sangat sepi semenjak kamu berhenti bekerja, tidak ada teman mengobrol lagi.''
''Kan, aku sudah bilang waktu itu, mbak harus segera mencari karyawan baru untuk membantu ditoko.''
''Memangnya kamu tidak akan kembali ke toko lagi?''
''Permisi.''
Belum sempat Rania menjawab, seorang pelayan datang mengantarkan pesanan yang sudah Ajeng pesan sebelumnya. Satu cup kopi americano dan dua dessert untuk menemani obrolan Ajeng dan Rania yang masih akan berlanjut lebih lama.
Saat piring terakhir diletakkan, Rania melempar senyuman ke arah pelayan itu. ''Terimakasih, ya, kak?''
''Sama-sama. Kalau begitu, saya permisi dan jika kakak membutuhkan sesuatu lagi, boleh memanggil saya.''
Rania dan Ajeng tersenyum disertai anggukan, pelayan itu pergi setelahnya.
''Aku tahu kamu suka americano, makannya aku memesankan minuman itu untukmu. Apa kamu benar-benar suka?''
Mengulum bibirnya. ''Aku bisa minum apa saja.''
''Kembali tentang pembahasan tadi, apa kamu serius tidak ingin kembali ke toko lagi? Kalau boleh jujur, aku berharap kamu kembali ke toko sebenarnya.''
Untuk menghargai Ajeng yang sudah memesankan minuman, Rania menyeruput kopi sampai beberapa kali tegukan. Dibarengi gerakan meletakkan cup kopi ke atas meja, suara Rania terdengar menjawab.
''Sepertinya aku tidak akan bekerja lagi. Ya, untuk sekarang aku berpikir seperti itu.''
Matanya berkedip sekali, sedang ke-dua tangan menumpu dagu dengan santai. ''Kenapa? Apa kamu memiliki tujuan lain? Bekerja diluar kota misalnya?''
''Tidak juga.''
Ajeng memperhatikan setiap gerak-gerik Rania. Dimulai dari awal menyeruput kopi, sampai kini menggerakkan garpu diatas kue strawberry hingga kue tersebut kehilangan bentuknya.
''Apa kamu baik-baik saja?'' Ajeng kembali melanjutkan kalimatnya saat melihat Rania mendongak dan menatapnya. ''Aku tahu pertanyaan ini terdengar bodoh. Aku tahu kamu tidak baik-baik saja, maka dari itu kamu boleh bercerita padaku.''
''Apa yang harus aku ceritakan? Sepertinya mbak sudah tahu semuanya saat datang ke rumahku waktu itu.''
''Ya, tapi aku tidak butuh cerita lengkap tentang itu. Aku hanya ingin kamu bercerita tentang perasaan yang sedang kamu rasakan. Maksudku ... Apa kamu benar baik-baik saja?''
''Menurut mbak Ajeng, apa aku masih bisa baik-baik saja?''
Maka tanpa berpikir panjang, Ajeng pun menjawab. ''Kulihat tidak,'' Katanya. Ajeng bisa melihat dan merasakan perubahan Rania. Lihat saja ke-dua matanya masih bengkak sampai sekarang. ''Kamu masih menangis sampai sekarang?''
Tertawa hambar. ''Ya, aku masih menangisi hal yang sia-sia sampai saat ini.''
''Daripada terus menangisi laki-laki brengsek itu, lebih baik kamu menata hidupmu lagi, Rania. Bekerja lagi ditoko ku dan kumpulkan banyak uang untuk menyenangkan dirimu sendiri.''
Rania diam dan memikirkan ucapan Ajeng. Tidak langsung menjawab, Rania bergerak mengambil cup kopi dan menyeruputnya lagi.
''Sudah aku bilang pada mbak sebelumnya, aku belum memiliki rencana untuk bekerja lagi untuk saat ini. Aku merasa lelah untuk memulai semuanya dari awal, aku takut semua akan berakhir sia-sia seperti sekarang,'' Menumpu dagu ditumpukan ke-dua tangan. ''Uang tabunganku habis, dan itu hanya untuk menikahkan adikku dengan laki-laki yang aku cintai. Rasanya aku akan gila sebentar lagi.''
Tangan kanan Ajeng bergerak mengusap bahu Rania. ''Apa uang tabunganmu benar-benar habis karena acara pernikahan itu? Kamu bisa meminjam uangku dulu sebagai pegangan.''
''Aku tidak serius. Uangku masih ada didalam tabungan, hanya saja sedikit berkurang dari sebelumya.''
''Apa kamu serius?''
''Tentu saja,'' Rania tersenyum untuk meyakinkan Ajeng. ''Jangan khawatir, aku pasti akan merepotkan mbak Ajeng kalau memang aku butuh.''
''Ya. Aku akan menunggu notifikasi ponselku kalau begitu.''
Obrolan kembali dilanjutkan, namun tentu saja menghindari topik yang baru saja selesai dibahas. Ajeng tidak lagi mengungkit dan terus membangun obrolan baru. Kan, niat awalnya memang mau menghibur Rania, Ajeng juga tidak memaksa kalau Rania tidak mau bercerita lebih banyak.
hobi merampas yg bukan milikmu....
tunggulah azab atas smua kbusukanmu ambar...
tak kn prnah bahagia hidupmu yg sll dlm kcurangan...
👍👍
tpi.... ank yg tak di anggp justru kelak yg sll ada untuk org tuanya di bandingkn ank ksayangan....