NovelToon NovelToon
Warisan Kaisar Naga

Warisan Kaisar Naga

Status: sedang berlangsung
Genre:Murid Genius / Raja Tentara/Dewa Perang / Ahli Bela Diri Kuno / Fantasi Timur
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Ar wahyudie

Di Benua Timur Naga Langit sebuah dunia di mana sekte-sekte besar dan kultivator bersaing untuk menaklukkan langit, hidup seorang pemuda desa bernama Tian Long.
Tak diketahui asal-usulnya, ia tumbuh di Desa Longyuan, tempat yang ditakuti iblis dan dihindari dewa, sebuah desa yang konon merupakan kuburan para pahlawan zaman kuno.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ar wahyudie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 23

BOOOOOOMMMMM!!!

Cahaya putih menelan seluruh lembah.

Gelombang qi menyebar seperti badai, menerjang pepohonan, gunung, dan danau hingga bergulung seperti ombak laut.

Di bawah sana, seluruh Akademi Naga Langit terdiam.

Para tetua, murid, dan penjaga menatap langit dengan wajah pucat, menyaksikan fenomena yang mustahil terjadi — langit terbelah menjadi dua warna, hijau di satu sisi, emas di sisi lain, saling melilit bagai dua naga abadi.

Di tengah badai itu, Tian Long menggenggam tubuh makhluk langit dengan kedua tangannya.

Urat-urat di lengannya menyala, urat qi-nya membara seperti lava yang hidup.

Ia menyalurkan kekuatan bumi ke dalam inti energi makhluk itu, menekan, memaksa, dan mengikat setiap denyut qi-nya agar tunduk.

Makhluk langit itu menjerit, suaranya menusuk hingga ke tulang.

Cahaya di tubuhnya retak seperti kaca pecah.

Serpihan demi serpihan terlepas, melayang turun dari langit bagai hujan bintang yang menari di antara kabut.

Satu per satu pecahan itu jatuh, menyentuh tanah dan berubah menjadi kilatan halus yang memancar ke segala arah.

Namun sebelum benar-benar lenyap, suara makhluk itu bergema sekali lagi.

Pelan, serak, namun membawa gema kuno yang mengguncang hati.

“Kau… benar-benar mewarisi dia…”

Suaranya memudar, bergabung dengan angin yang berputar.

“…Kaisar Naga…”

Tian Long terdiam di udara.

Tubuhnya masih dikelilingi cahaya hijau dan emas yang perlahan memudar.

Setiap tarikan napas terasa berat, tapi matanya tidak kehilangan sinar itu — sinar yang menembus batas dunia.

Dari bawah, ribuan mata menyaksikannya berdiri di tengah langit yang kini tenang kembali.

Di balik diam mereka, satu kesadaran muncul perlahan.

Hari itu, langit dan bumi telah tunduk…

Pada satu nama.

Tian Long.

...................     .........................

Langit perlahan mereda.

Petir terakhir memudar, menyisakan kilau abu di udara.

Tian Long turun perlahan dari ketinggian, tubuhnya terhuyung seperti daun yang kehilangan arah angin.

Darah menetes dari ujung jarinya, jatuh di tanah yang telah retak oleh kekuatan qi.

Namun di wajahnya, hanya ketenangan yang tersisa.

Liu Yuer berlari menembus debu yang masih menggantung, matanya basah, napasnya tersengal.

Begitu tiba, ia menahan tubuh Tian Long sebelum terjatuh sepenuhnya.

Tangannya bergetar saat merasakan panas dari luka di dada Tian Long, panas yang bukan berasal dari api, melainkan dari qi yang belum sepenuhnya padam.

Air matanya jatuh tanpa suara.

“Kau bodoh… aku pikir kau mati…”

Senyum tipis muncul di bibir Tian Long.

Napasnya berat, namun matanya masih menyala dengan sisa cahaya langit.

“Belum waktunya,” suaranya pelan, namun setiap kata membawa gema dari dalam bumi.

“Langit belum cukup marah.”

Mereka berdua diam.

Angin berputar lembut di sekitar mereka, membawa aroma tanah terbakar dan debu giok yang masih hangat.

Namun ketenangan itu hanya berlangsung sesaat.

Langit di atas mereka kembali bergolak.

Dari celah awan, muncul satu mata raksasa berwarna perak, menatap langsung ke arah Tian Long.

Cahaya di sekelilingnya berputar seperti pusaran bintang, dan udara seketika menjadi berat.

Suara bergema turun dari langit, dalam dan berlapis seperti ribuan gema di dalam gunung.

“Anak naga… kau tidak seharusnya ada.”

Tanah bergetar.

Awan bergulung seperti samudra yang dibelah, dan cahaya perak merambat menembus udara.

Getarannya menusuk hingga ke tulang, membuat setiap helaan napas terasa seperti menelan logam cair.

Liu Yuer menatap ke atas, wajahnya memucat.

Sementara Tian Long berdiri pelan, darah masih menetes dari bibirnya.

Matanya menatap lurus ke langit, tanpa ragu.

“Kalau aku tidak seharusnya ada,” katanya pelan, suaranya teredam oleh badai yang kembali membentuk diri,

“maka biarlah aku menjadi alasan langit berubah.”

Cahaya menyelimuti tubuh mereka.

Awan memecah, dan hujan bintang turun perlahan seperti air mata langit.

Setiap butir cahaya menyentuh tanah dan berubah menjadi serpihan giok, memantulkan sinar lembut sebelum lenyap.

Angin berhenti, dan dunia tenggelam dalam kesunyian.

Di atas Akademi Naga Langit, warna kelabu masih menggantung.

Bayangan badai belum benar-benar pergi, dan aroma ozon menempel di udara seperti bekas darah yang belum kering.

Burung-burung spiritual tidak lagi berkicau, bahkan angin pun enggan lewat di antara menara.

Dari kejauhan, lembah tempat pertempuran itu masih berkilau samar.

Batu-batu di sana hangus, tanahnya masih berdenyut oleh sisa kekuatan yang tidak sepenuhnya padam.

Cahaya hijau dan emas yang pernah membelah langit kini sudah sirna, namun kesannya tertinggal di setiap sudut langit timur.

Malam itu, bahkan para tetua hanya bisa berdiri menatap langit yang sunyi.

Tidak ada yang berkata apa pun.

Namun setiap hati yang menyaksikan tahu satu hal —

bahwa dunia ini, sejak hari itu, tidak lagi sama.

...................               .........................

Di puncak tertinggi Akademi Naga Langit, menara putih menjulang menembus kabut awan — Menara Langit Putih, tempat di mana keputusan para tetua menentukan arah dunia.

Biasanya menara itu sunyi, hanya bergema doa dan cahaya dupa.

Namun hari ini, langkah-langkah berat mengguncang setiap lantainya; udara bergetar, tekanan spiritual menekan hingga batu dinding memancarkan cahaya halus menahan beban para penghuninya.

“Keputusan harus diambil,” suara dalam Elder Mo menggema, menggetarkan permukaan meja batu di hadapannya.

Ia duduk di kursi pusat, jubah merah apinya berdenyut seperti bara hidup, panasnya merambat hingga membuat para pelayan mundur beberapa langkah.

Matanya menatap jendela besar di mana bekas cahaya fenomena langit masih membelah cakrawala — hijau dan emas, belum juga sirna.

“Seorang murid memanggil kekuatan langit tanpa izin,” ujarnya tajam.

“Ia telah mengguncang keseimbangan spiritual seluruh Benua Timur. Itu bukan anugerah… itu ancaman.”

Elder Hua, yang duduk di seberang, perlahan membuka matanya.

Rambut peraknya berkilau lembut, seolah menangkap sisa cahaya dari langit.

Senyum tipis terukir di wajahnya, namun dari sorot matanya terpancar kebijaksanaan tajam yang dingin.

“Ancaman… atau tanda kebangkitan alam, Elder Mo?” suaranya halus, namun setiap katanya memantul di udara seperti aliran spiritual lembut yang menyejukkan.

“Sejak kapan kita menyalahkan langit, hanya karena kita tak lagi mampu memahaminya?”

Hawa panas dari Elder Mo berkurang — udara mendadak menjadi ringan, sejuk, dan jernih. Aura keduanya beradu tak kasat mata, dua kekuatan berlawanan yang menyeimbangkan satu sama lain seperti api dan embun.

Elder Ming mengetuk tongkatnya sekali.

DUKK!

Getarannya menyebar ke seluruh aula, menenangkan arus energi yang berpusar di udara.

“Sudah cukup. Kita tidak di sini untuk saling menuding. Kita harus tahu lebih dulu… apa yang sebenarnya terjadi pada murid itu.”

Elder Fang, yang sejak awal hanya diam dengan mata terpejam, membuka matanya perlahan.

Tatapannya tajam, dalam seperti jurang, namun tenang seperti air.

“Formasi pelindung langit akademi retak saat kekuatan itu bangkit,” katanya lirih.

“Tapi aku tidak menemukan jejak iblis… tidak ada energi jahat, tidak ada roh kegelapan. Sebaliknya, yang ku rasakan adalah resonansi bumi dan langit — menyatu.”

Kata itu membuat ruangan sunyi. Bahkan nyala dupa berhenti berkedip.

Elder Mo berdiri tiba-tiba. Api spiritualnya melonjak, menjilat udara, menimbulkan percikan merah menyala di langit-langit aula.

“Dan justru itu masalahnya!” suaranya bergemuruh.

“Siapa manusia yang bisa memadukan dua kekuatan yang bahkan para dewa pun tunduk padanya?!”

Ia mengepalkan tangan, tekanan spiritualnya menekan udara hingga menimbulkan suara retak di lantai batu.

“Jika hari ini dia bisa menundukkan langit, maka besok dia bisa menghancurkan dunia!”

“Cukup, Elder Mo!”

Suara Elder Hua kini berubah tajam, tapi matanya tetap setenang dan sejernih danau musim semi.

“Kau takut pada hal yang tak kau pahami.

Aku melihatnya langsung — bocah itu tidak mencoba menentang langit… ia hanya berusaha menyelamatkan seseorang.”

Elder Mo menatapnya tajam, matanya memercik api.

“Dan dalam prosesnya,” ujarnya dingin,

“dia membangunkan sesuatu yang bahkan para leluhur pun tak berani menyebut namanya.”

...................                    .........................

Di luar menara, langit bergetar lembut.

Seolah merespons setiap kata yang diucapkan di dalam.

Liu Yuer berdiri di bawah tangga menara, tubuhnya masih lemah, sebagian wajahnya dibalut kain putih.

Ia menatap ke atas, melihat awan yang tak juga bergerak.

“Tian Long…” gumamnya pelan.

Ia mendengar dari para murid lain bahwa Tian Long dibawa ke ruang penahanan di dasar menara — tempat yang bahkan para tetua muda pun enggan mendekat.

Sambil menggigit bibir, Liu Yuer berusaha menstabilkan napasnya.

Ia tahu, jika tetua konservatif menang dalam sidang ini, Tian Long tidak akan pernah keluar dari ruang itu hidup-hidup.

1
Nanik S
Lanjutkan.... bagus Tor
Nanik S
Darah Naga adalah Kunci
Nanik S
Aku sebenarnya siapa... kasihan
Nanik S
Sebenarnya Anak Siapa Tian Long
Didi h Suawa
💪💪💪💪
Didi h Suawa
awal yg baik,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!