 
                            Di tengah kekacauan ini, muncullah Black Division—bukan pahlawan, melainkan badai yang harus disaksikan dunia. Dipimpin oleh Adharma, si Hantu Tengkorak yang memegang prinsip 'hukum mati', tim ini adalah kumpulan anti-hero, anti-villain, dan mutan terbuang yang menolak dogma moral.
Ada Harlottica, si Dewi Pelacur berkulit kristal yang menggunakan traumanya dan daya tarik mematikan untuk menjerat pemangsa; Gunslingers, cyborg dengan senjata hidup yang menjalankan penebusan dosa berdarah; The Chemist, yang mengubah dendam menjadi racun mematikan; Symphony Reaper, konduktor yang meracik keadilan dari dentuman sonik yang menghancurkan jiwa; dan Torque Queen, ratu montir yang mengubah rongsokan menjadi mesin kematian massal.
Misi mereka sederhana: menghancurkan sistem.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilema Dan Bayangan MIA
Rendra Bagaskara, Presiden Indonesia, memijat pelipisnya. Panggilan video dari Helena Kvist, Utusan PBB yang berwibawa namun dingin, baru saja berakhir, meninggalkan amarah yang terpendam. Di layar monitor pribadinya masih terpampang foto buronan internasional yang terpampang jelas: empat wajah—Adharma, Harlottica, The Chemist, dan Gunslingers—dilabeli sebagai ANCAMAN KEAMANAN GLOBAL.
"Sial," desisnya, bersandar di kursinya. Tekanan yang ia rasakan bukan hanya dari PBB, tetapi juga dari warisan kekuasaan kotor Sentral Raya yang ia coba bersihkan. Ia menekan tombol interkom. "Selly, masuk."
Sekretarisnya, Selly, seorang wanita muda dengan profesionalisme tinggi dan mata yang tajam, segera masuk.
"Apa ada kabar terbaru dari Menteri Luar Negeri?" tanya Bagaskara, nadanya lelah. "Aku butuh konsultasi diplomasi untuk meredakan amarah PBB."
"Izin melapor, Bapak Presiden," jawab Selly, berdiri tegak. "Ibu Puja Fernando saat ini sedang melakukan kunjungan diplomatik mendadak. Urusan yang sangat sensitif, terkait upaya mediasi konflik di Timur Tengah, khususnya antara perbatasan Suriah dan Irak."
Bagaskara menghela napas. Tentu saja, Puja Fernando. Sosok yang ia percayai karena ketenangan dan idealismenya yang tinggi, namun seringkali bertindak di luar jalur. Ia tidak menyadari sedikit pun bahwa 'urusan diplomatik' Puja adalah kedok yang sempurna untuk menyalurkan Black Division Six ke jantung masalah.
"Mediasi," gumam Bagaskara. "Itu bagus. Setidaknya ada yang berusaha menghentikan kekacauan itu." Ia lalu menggeser layar monitor yang menampilkan wajah para buronan. "Empat orang itu. Mereka menyebabkan masalah besar di tingkat global, tapi di mata rakyat, mereka dianggap simbol perlawanan."
"Selly," perintah Bagaskara. "Aku ingin kau melakukan kontak rahasia. Hubungi The Vault." Selly mengangkat alisnya. "Lakukan koordinasi tidak resmi dengan The Vault," lanjut Bagaskara, suaranya kembali tenang. "Tanyakan pada mereka secara tidak langsung—apakah pandangan mereka mengenai keempat buronan yang ditetapkan PBB ini. Apakah mereka benar-benar ancaman global, atau hanya penyeimbang yang dibutuhkan dunia yang rusak." Bagaskara memejamkan mata. "Jika organisasi pahlawan sekelas The Vault menolak untuk bertindak melawan Black Division, maka itu berarti PBB sedang berjalan di jalan yang salah dengan menetapkan vigilante-vigilante ini menjadi buronan internasional. Dan aku akan punya alasan kuat untuk menolak desakan Helena Kvist." Selly mengangguk, memahami taruhan politik itu, dan segera keluar.
Di suatu tempat jauh di atas Samudra Hindia, kegelapan malam menelan pesawat kargo modifikasi yang membawa enam anggota Black Division Six. Di dalam kabin yang sempit, suasana tegang terasa nyata. Gunslingers (Edy Dhembeng), yang kini memimpin misi, melakukan pemeriksaan akhir pada sistem GearSpine yang baru dicangkokkan ke tubuhnya oleh Melly. Visor merahnya memindai setiap detail peralatan. The Chemist (Yama) mengunci Vial-vial kimia khusus yang dirancang untuk melarutkan logam.
"Kau gugup, Darma?" bisik Tika.
"Aku tidak pernah gugup, Tika," balas Adharma, suaranya datar di balik topeng tengkorak. "Aku hanya menghitung peluang. Misi ini terlalu mudah. Puja tidak pernah membuat misi yang mudah. Dia pasti tahu sesuatu yang tidak kita ketahui."
Di luar, lampu indikator berwarna hijau menyala. Mereka sudah hampir mencapai titik terjun.
Gunslingers berdiri tegak, auranya sebagai 'Senjata Hidup' memenuhi kabin. "Saatnya. Kita terjun dengan stealth mode. Tugas kita bukan bertarung, tapi sabotase. Tidak ada jejak. Tidak ada yang tahu kita ada di sana."
Mereka berenam berdiri di dekat pintu palka yang perlahan terbuka, memperlihatkan langit malam yang gelap gulita dan laut yang luas di bawah. Angin dingin dan lembab langsung menerpa wajah mereka.
"Ingat, kita adalah Black Division Six," kata Adharma, memandangi kelima rekannya. "Kita terikat. Kita bergerak sebagai satu tim. Jika ada masalah, kita selesaikan bersama. Atau kita mati bersama."
Satu per satu, mereka terjun bebas ke dalam kegelapan yang menelan, menuju titik temu dengan kapal kargo Rhausfeld.
Jauh di bawah, di atas geladak kapal kargo Rhausfeld yang besar, beberapa anggota kru berseragam GATRA tampak melakukan patroli rutin. Namun, di tengah geladak, di samping pintu masuk utama kargo, berdiri sosok yang membuat kargo itu terlindungi secara sempurna.
Dia adalah Kaiser Jatindra, prajurit GATRA yang hilang dalam aksi (MIA), kini dimodifikasi secara biomekanik dan diprogram ulang. Tubuhnya tinggi dan kuat, ditutupi oleh battle-armor abu-abu gelap dengan aksen serat karbon yang mengilap. Ekspresinya dingin, nyaris tak bernyawa, kecuali visor oranye redup di helmnya yang memancarkan aura ancaman.
Melodi biola dari Symphony Reaper, yang dipancarkan melalui sistem komunikasi GATRA sebagai gangguan stealth, tiba-tiba terhenti di telinga Kaiser. Sebuah anomali.
Kaiser mengangkat tangan kirinya, memberikan sinyal diam kepada pasukan GATRA di sekitarnya. Dia menoleh ke atas, ke arah langit malam yang gelap, ke titik di mana enam bayangan sedang meluncur jatuh.
Dengan suara whirr rendah dari mekanismenya, Kaiser Jatindra menarik keluar pisau tempur yang berukuran besar, matanya menyala lebih terang.
Dia tahu mereka datang. Dan dia siap.
Bersambung....