Ketika dendam dan cinta datang di waktu yang sama, pernikahan bak surga itu terasa bagai di neraka.
“Lima tahun, waktu yang aku berikan untuk melampiaskan semua dendamku.”_ Sean Gelano Aznand.
“Bagiku menikah hanya satu kali, aku akan bertahan sampai batas waktu itu datang.”_ Sonia Alodie Eliezza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Penyiksaan Pertama Kali
...🌼...
...•...
...•...
"Tega sekali kau menuduhku seperti itu, Sean."
"Lalu? Kau mau aku menganggapmu apa? Pelacur?" sengit Sean yang tak ingin menanggapi jawaban Sonia. Sonia hanya menunduk dengan hati perih karena begitu rendah dirinya di mata suami sendiri.
"Kalau memang aku pelacur untukmu, ya anggap saja begitu,” lirihnya sembari menghapus air mata yang mulai jatuh di pipi.
"Jangan banyak bicara lagi dan nikmatilah hidup barumu, Sonia Elliezza."
"Ya Allah, apakah penderitaanku dimulai hari ini dan di tempat ini?" jerit hati Sonia saat melihat ruangan itu.
Sonia mengedarkan pandangan di ruangan yang cukup luas tersebut. Di sana banyak terdapat beberapa alat penyiksaan yang Sonia sendiri tidak tahu kegunaannya untuk apa saja.
"Are you ready?"
Mendengar suara Sean, Sonia hanya diam terpaku. Saat ini dia sangat takut dan tertekan, tapi tidak sama sekali menyesal dengan pilihannya. Sonia menarik napas dalam dan berjalan mengikuti Sean.
"Bersiaplah untuk awal kehidupan barumu, Sayang. Untuk pertama kali mungkin akan sedikit sakit, tapi jika kamu alami setiap hari, maka tubuhmu akan kebal dan kamu akan kuat," kata Sean sambil mengikat kedua tangan Sonia ke atas dengan rantai.
"Kau ingin bicara?" tanya Sean dengan senyum devil-nya. Sonia hanya menggeleng pelan dengan mata sayu.
"Nikmati, dan rasa sakitnya akan berkurang. Jangan terlalu cengeng. Rasa sakit di tubuh itu bisa sembuh, tapi di hati akan susah," imbuh Sean santai.
"Maafkan aku karena sudah menyakitimu. Lakukanlah apa pun yang membuatmu tidak benci lagi padaku." Sean terkekeh mendengar perkataan istrinya.
"Oke, memang itu yang akan aku lakukan sekarang. Mulai pemanasan dulu. Sekarang katakan padaku, alat mana yang kau inginkan?"
"Maksudmu?"
"Hari ini aku sedang berbaik hati. Silakan pilih salah satu di antara semua alat penyiksaan ini, manakah yang kamu inginkan?" Sonia tidak tahu harus memilih yang mana. Melihat alat-alat penyiksaan itu saja sudah membuatnya ngeri.
"Terserah padamu saja. Aku tidak keberatan."
"Haha, oke."
Sean memilih sebuah cambuk. Melihatnya saja sudah membuat detak jantung Sonia seakan berhenti. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana cambuk itu akan melayang di tubuhnya.
Selama ini Sonia tidak pernah menerima kekerasan fisik dari siapapun. Dia begitu takut dengan yang namanya kekerasan.
Sonia teringat dengan tetangganya dulu, Bu Visa, yang selalu mendapat kekerasan dari suaminya. Setiap hari Sonia selalu melihat wajah dan tubuh Bu Visa memar. Setiap hari pula dia mendengar teriakan serta umpatan dari suami Bu Visa.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya Emir pada putri kecilnya yang sedang menutup telinga karena takut mendengar Bu Visa bertengkar dengan suaminya.
"Sonia takut, Yah. Pasti Bu Visa ditampar dan dipukul lagi sama suaminya." Emir yang sangat tahu ketakutan Sonia langsung memeluk erat tubuh mungil anaknya. Ketika itu usia Sonia baru 8 tahun.
"Biarin aja, itu urusan mereka. Gimana kalau sekarang Sonia ikut Ayah nonton kartun Doraemon, filmnya udah mulai," ajak Emir untuk menghilangkan rasa takut Sonia.
Ini juga yang menjadi alasan kenapa Emir dan istrinya tidak pernah bertengkar di hadapan Sonia. Dia sangat takut putrinya kena mental.
"Kamu siap?" tanya Sean yang seketika itu membuyarkan ingatan masa lalu Sonia.
"Senyum dong." Sean mendekati Sonia. Dia masih tidak habis pikir jika orang yang dia jadikan pelindung dan tempat sandaran sekarang malah menjadi seorang monster yang menakutkan.
Sonia memejamkan matanya, seakan siap dengan cambukan yang akan Sean layangkan.
"Akhh," erang Sonia saat cambuk itu melayang di tubuhnya. Rasanya begitu sakit dan perih. Sean melakukannya berulang kali di bagian punggung dan kaki.
Tubuh putih mulusnya kini sudah berubah menjadi merah bercampur darah. Baju Sonia bagian belakang pun robek walau tidak banyak.
Selama 20 menit, Sean membabi buta mencambuk Sonia. Namun, istrinya itu tidak bersuara sama sekali. Sonia menahan suaranya sendiri, menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi rasa sakit.
"Ayah, tubuh Sonia sakit yahh," jerit hati Sonia.
Sean menghentikan aksinya dan istirahat sejenak. Dia mengambil sebatang rokok, kemudian membakar dan menghisapnya.
"Bagaimana? Sakit?" tanya Sean santai, sedangkan Sonia sudah meringis kesakitan.
"I-iya," jawab Sonia dengan lemah dan terbata.
"Baru 20 menit. Waktu kita masih panjang. Aku ingin kamu di sini selama satu jam dan akan berlaku untuk malam-malam selanjutnya, berarti masih ada 40 menit lagi. Aku akan kasih kamu waktu 10 menit untuk istirahat dan kita akan mulai kembali. Aku masih belum puas karena belum mendengar teriakan kesakitan dari mulutmu."
Sonia tidak menjawab ucapan Sean lagi. Dia fokus pada tubuhnya yang saat ini terasa sangat perih. Kakinya juga gemetar hebat karena menggantung sekitar 5 sentimeter dari lantai. Hal ini justru semakin membuat Sonia kesakitan di bagian lengan karena menopang berat badannya.
Sean mendekati Sonia, memandang remeh istrinya. Keringat Sonia sudah membasahi seluruh tubuh.
"Yang kamu rasakan saat ini hanya sakit di bagian luarnya saja, Sonia. Kamu bisa bayangkan bagaimana sakitnya aku ketika kau tinggalkan dulu."
"Maafkan aku," ucap Sonia pelan tanpa menatap wajah Sean.
"Sssttt ... Jangan minta maaf terus. Aku tidak butuh maafmu. Sekarang katakan padaku, sudah berapa kali kau tidur dengan Papaku?"
Sonia hanya bungkam tak menjawab. Dia tidak mau buka suara mengenai hal itu.
"Ayo jawab! Sudah berapa kali?"
Sean yang tidak menerima jawaban apa pun dari istrinya langsung menjambak kuat rambut panjang Sonia hingga kepala Sonia mendongak menatap Sean. Ia terisak saat Sean menyudutkan rokok yang masih menyala ke leher Sonia.
"Tinggal jawab saja, apa susahnya, hah? Apa segitu cintanya kau pada tua bangka itu sampai kau rela bungkam dan disiksa olehku?"
Sonia masih diam tak bicara sepatah kata pun. Dia hanya menangis tanpa suara merasakan sisa panas dari api rokok di lehernya.
"Baik, aku akan membuatmu bersuara."
Sean kembali mengambil cambuk dan terus mendera istrinya. Cambukan itu melayang di permukaan kulit Sonia. Air matanya tak henti mengalir, namun suaranya masih dia tahan hingga 20 menit berlalu. Kondisi Sonia saat ini begitu mengenaskan. Tubuhnya penuh dengan darah.
Sonia mengatur napas dan terduduk di lantai setelah Sean melepaskan rantai di tangannya.
"Khadijah akan mengobatimu. Besok aku ingin kau lebih kuat dari hari ini agar aku bisa membuat luka baru di tubuh cantikmu ini. Tubuh yang sangat aku benci karena sudah ternoda dan itu sangat menjijikkan bagiku." Kata-kata Sean sangat menusuk dan menyakitkan.
Sean melenggang keluar, membiarkan Sonia menangis sendiri di ruang penyiksaan. Sonia dengan tertatih berjalan menuju kamarnya. Menyeret langkah yang gontai serta berdarah.
“Ini baru awal, Sonia. Kamu harus kuat, akan ada saat di mana kamu sanggup menjelaskan semuanya tanpa meninggalkan dendam lagi di hati siapa pun,” ujarnya dalam hati sambil terus melangkah.
Sonia membersihkan tubuhnya dan berendam dengan air dingin di dalam bathtub, mencoba untuk menetralisir rasa sakit dan perih di sekujur tubuh.