Rara, gadis 20 tahun yang polos, kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group. Bosnya, Pak Samingan, super disiplin tapi eksentrik. Suatu hari, Rara terpaksa tinggal di rumah bos untuk mengurus anak tunggalnya - Arifbol - cowok tampan tapi bertingkah seperti anak kecil karena kondisi epilepsi yang dideritanya. Meski begitu, Arifbol ternyata punya sisi religius, perhatian, dan secara tak terduga... bikin Rara jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri 2001, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bos Baru, Masalah Baru
Pagi itu, rumah Pak Samingan sibuk luar biasa.
Arifbol berdiri di depan cermin sambil pakai kemeja biru muda, rambutnya disisir rapi, wajahnya tampak segar dan percaya diri.
Rara muncul dari belakang sambil bawa dasi. “Mas, dasine kuwalik. Kene tak benakno.”
Arifbol nyengir, “Hehe, wong baru sehat, tanganku isek kaku.”
Rara meraih dasinya, pelan-pelan membetulkan ikatannya.
“Mas, sampean yakin kuat kerjo dino iki?”
Arifbol menatapnya di cermin. “Yakin. Aku pengin buktekne neng Bapak, Karo neng awakmu barang.”
Rara diam sebentar, lalu senyum tipis. “Oke. Tapi ileng mas, ojo dipekso lak wes capek.”
“Siap, Bu Rara,” jawab Arifbol sambil hormat pura-pura, bikin Rara ketawa.
Beberapa jam kemudian, mobil keluarga melaju ke kantor pusat perusahaan keluarga — PT. Nganjuk Sejahtera Group.
Rara ikut mengantar sampai lobi.
Begitu mereka masuk, beberapa pegawai perempuan langsung saling bisik-bisik.
“Eh, iku Arifbol, to? Putrane Pak Samingan sing ndisek omonge loro?”
“Iyo, tapi kok sak iki ganteng banget, yo?”
“Ih, aurane bedo. Koyok bos muda neng drama Korea!”
Rara yang berdiri di samping Arifbol langsung mendengus kecil.
“Drama Korea ndasmu. Lagek melbu uwes dadi bahan gosip.”
Salah satu staf perempuan mendekat, membawa map tebal.
“Selamat pagi, Pak Arif. Saya Lela, sekretaris divisi utama. Kalau Bapak butuh apa pun, bisa langsung hubungi saya.”
Nada suaranya halus, matanya agak berbinar.
Rara langsung menyahut cepat, “Oh, makasih, Mbak Lela. Tapi kalau urusan pribadi, cukup saya aja yang ngurusin.”
Lela sedikit kaget, tapi tetap senyum kaku. “Eh, iya, Bu…”
Arifbol cuma bisa garuk kepala, “Ra, tenang, orang cuma sopan.”
Rara menatapnya, “Aku tenang, Mas. Tapi wong wedhok-wedhok neng kene koyok e durung ngerti sopo pemilik sah hatimu mas.”
Di ruang direksi, Pak Samingan menyambut anaknya dengan bangga.
“Wah, ganteng tenan saiki. Cocok dadi pewaris perusahaan!”
“Waduh, Pak, ojo lebay,” Arifbol tertawa.
“Mulai dino iki, awakmu belajar teko ngisor disek. Duduk di ruang operasional, ndelok carane mereka kerja, bar ngono engko tak pindah neng rapat divisi.”
“Siap, Pak.”
Pak Samingan menepuk bahunya. “Karo kowe Rara, kowe ngiwangi ibu ae dino iki, Yo beno Masmu fokus kerja.”
Rara langsung menoleh cepat. “Lho, Pak, aku pengin ngancani Mas Arif.”
Bu Wiji tersenyum lembut. “Ra, Yo Ben Arifbol mandiri disek. Awakmu percayakan aja.”
Rara menghela napas panjang. “Yo wes lak ngono, tapi engko tak jemput sore.”
“Wes, wes, ora usah tiap jam dicek,” sahut Pak Samingan sambil ketawa.
Siang harinya, di kantor, Arifbol mulai beradaptasi.
Ia serius memperhatikan para karyawan kerja di komputer, menandatangani dokumen, sesekali bertanya pada Lela.
Lela mendekat, membawakan segelas kopi. “Pak Arif, ini kopi pahit, katanya Bapak suka yang begini?”
Arifbol tersenyum, “Wah, makasih. Tau dari siapa?”
“Dari Bu Wiji waktu saya bantu beliau rapat minggu lalu.”
“Wah, baik banget, Mbak Lela.”
Tepat saat itu, pintu terbuka.
Rara muncul dengan ekspresi setengah manis, setengah waspada.
“Mas, aku tak gawakno bekal siang.”
Lela langsung memundurkan diri, “Oh, saya pamit dulu, Pak.”
Begitu Lela keluar, Rara menatap suaminya tajam.
“Mas, iku sing gowo kopi barusan sopo?”
“Sekretaris divisi, Lela.”
“Lela yo? Oke, engko bengi aku takok Ibu, Lela uwong endi.”
“Ra… kowe mulai maneh,” Arifbol nyengir.
Rara menaruh bekal di meja. “Aku cuma njogo wilayah, Mas. Ibarate, kowe iki harta negara, dadi butuh pengawasan ketat.”
Arifbol ngakak, “Wah, abot pisan dadi bojone istri pengawas.”
Rara nyeletuk sambil duduk di kursi depan meja, “Gak popo, Mas. sek abotan lak aku kudu rela liat suamiku dilirik-lirik orang.”
Arifbol tersenyum lembut. “Kowe iki cemburuan banget, Ra.”
Rara pura-pura manyun, “Lebih baik cemburu daripada cuek.”
Dan Arifbol hanya bisa mengangguk, menatap Rara dengan senyum hangat —
karena di balik nada cemburu itu, ada rasa sayang yang tulus… dan ketakutan kecil untuk kehilangan.
Keesokan harinya, Rara bangun lebih pagi dari biasanya.
Bukan karena mau masak sarapan, tapi karena hatinya masih gerah mikirin Lela, si sekretaris yang kemarin ngasih kopi.
Sambil nyisir rambut di depan cermin, dia ngomel pelan,
“Sekretaris opo seh, nguwei kopi segala. Lak ngelak kan iso gawe dhewe.”
Bu Wiji yang lewat di ruang tamu sampai nyengir. “Lho, Rara, kok ngomel dhewe?”
Rara kaget, “Eh, nggak, Bu. Hehe… cuma ileng ndek wingi, enek pegawai sing baik banget karo Mas Arif.”
Bu Wiji tertawa kecil. “Yo jenenge wong kerjo, Ra. Wong Masmu iku sak iki bos muda, akeh sing nyenengi.”
Rara langsung nyengir kecut. “Yo iku, Bu, sing gawe deg-degan.”
Bu Wiji nyeletuk lembut, “Cemburu kuwi wajar, tapi ojo nganti cemburu buta.”
Di kantor, suasana mulai sibuk.
Arifbol duduk di ruang rapat bareng beberapa staf, sementara Rara tiba-tiba nongol bawa map.
“Permisi,” katanya pelan, tapi nadanya tegas.
Semua karyawan langsung nengok. Arifbol senyum tipis, “Ra, kowe kok neng kene?”
Rara jawab enteng, “Lha, aku kan dikongkon Ibu bantu bagian administrasi. Kebetulan ruanganmu kosong, yo tak isi ae.”
Lela yang duduk di ujung meja cuma bisa pura-pura sibuk nyatet.
Rara sengaja duduk di kursi sebelah Arifbol, padahal kursi itu tadinya disiapin buat staf bagian keuangan.
“Hehe, nggak popo kan, Mas? Aku duduk neng kene, yo ben cepet koordinasinya.”
“Ehm… yo wes, oleh,” jawab Arifbol, berusaha netral.
Tapi dari situ, suasana rapat jadi… agak tegang tapi lucu.
Setiap kali ada staf cewek yang mau nyodorin berkas ke Arifbol, Rara langsung nyaut duluan.
“Sini, Mbak, biar saya terusin.”
“Oh, saya bisa bantu fotokopi juga kok, Mbak. Nggak usah repot.”
Sampai Pak Samingan yang lewat depan ruangan cuma geleng-geleng kepala dari kaca.
“Wah, anakku kerjo di bawah pengawasan istri sing lebih ketat teko satpam.” 😂
Jam makan siang, Rara dan Arifbol duduk di kantin bareng Fitri yang sekarang bantu di pantry kantor.
Fitri senyum ramah, “Mas Arif tambah cerah ae wajahe, sehat banget.”
Rara nyahut cepat, “Heh, kowe puji ae terus. Tapi ileng Fit, mas Arifbol uwes nduwe bojo.”
Fitri ngakak, “Ya Allah, Mbakyu, aku cuma ngomong sehat kok, ora ngajak nikah!”
Arifbol ikut tertawa, “Ra, kowe iki iso dadi polisi cemburu.”
Rara manyun, “Daripada dibiarkan, engko malah kebablasan.”
Fitri menatap Rara lembut, “Aku ngerti kok, Mbakyu. Wong kowe sayang banget karo Mas Arif.”
Rara langsung diem, terus senyum tipis. “Yo, sayangku gedhe, Fit. Tapi kadang aku wedhi… wedhi kalah karo keadaan.”
Fitri mengangguk pelan. “Tenang ae, Mbakyu. Wong sing tulus pasti menang.”
Sore hari, saat Arifbol menandatangani dokumen terakhir, Lela mengetuk pintu.
“Pak Arif, ini laporan divisi marketing. Mohon tanda tangan.”
Arifbol ambil pulpen, tapi tiba-tiba Rara udah berdiri di sampingnya.
“Sini, Mbak. Aku bantuin tanda tangan juga kalau perlu.”
Lela senyum canggung. “Hehe, nggak usah, Bu Rara.”
Arifbol akhirnya nyengir geli, “Ra, kowe iki gak capek ta ngawasin terus?”
Rara nyeletuk sambil melipat tangan di dada, “Nggak, Mas. Pengawasan kuwi bentuk cinta.”
Semua orang di ruangan itu menahan tawa.
Dan Arifbol cuma bisa geleng-geleng kepala, tapi matanya jelas — bahagia.
“Ra, kowe iki emang beda. Tapi gara-gara kowe, aku malah semangat kerja.”
“Yo, Mas,” jawab Rara santai, “soale aku barang semangat ngawasin.”
Mereka tertawa bareng, dan di balik tawa itu, rasa cinta mereka tumbuh makin kuat —
meski di kantor, suasananya udah kayak sinetron kantor paling rame se-Nganjuk Raya. 😄