Penolakan Aster Zila Altair terhadap perjodohan antara dirinya dengan Leander membuat kedua pihak keluarga kaget. Pasalnya semua orang terutama di dunia bisnis mereka sudah tahu kalau keluarga Altair dan Ganendra akan menjalin ikatan pernikahan.
Untuk menghindari pandangan buruk dan rasa malu, Jedan Altair memaksa anak bungsunya untuk menggantikan sang kakak.
Liona Belrose terpaksa menyerahkan diri pada Leander Ganendra sebagai pengantin pengganti.
"Saya tidak menginginkan pernikahan ini, begitu juga dengan kamu, Liona. Jadi, jaga batasan kita dan saya mengharamkan cinta dalam pernikahan ini."_Leander Arsalan Ganendra.
"Saya tidak meminta hal ini, tapi saya tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih sepanjang hidup saya."_Liona Belrose Altair.
_ISTRI KANDUNG_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Ungkapan Rasa
...🥀...
...🪞LIONA & LEANDER🪞...
Liona masih bersandar di dada bidang Leander. Hujan salju di luar jendela vila itu membuat suasana semakin hangat dan intim. Uap hangat dari air bathub perlahan mulai hilang, tapi pelukan Leander terasa jauh lebih menenangkan dibanding air panas yang mengelilingi mereka.
“Kamu sadar tidak, Lean?” suara Liona lirih.
“Apa, Sayang?” Leander menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Kita ini seperti pasangan yang sudah bertahun-tahun menikah, padahal baru saja bersama. Semua terasa sangat natural.”
Leander tersenyum tipis, jemarinya menggenggam tangan Liona di atas permukaan air. “Kalau orang sudah cocok, waktu itu tidak ada artinya. Aku sama sekali tidak merasa terpaksa mencintaimu. Andaikan waktu itu bukan kamu yang menjadi istriku, mungkin aku akan tetap Leander yang dulu. Tak pernah peduli dengan apa pun termasuk istri.”
Liona menatapnya dalam-dalam, matanya berkaca-kaca tanpa sadar. “Aku takut kehilangan kamu, Lean. Rasanya saat ini aku benar-benar disayang, dicintai, bahkan diberi perhatian lebih. Semua yang tidak pernah aku dapatkan dari keluargaku sendiri kecuali mama aku.”
Leander langsung mengecup kening Liona lama. “Aku janji, aku akan ada di samping kamu, dalam kondisi apa pun. Bahkan jika nanti dunia tidak berpihak pada kita, aku tetap tidak akan meninggalkan kamu.”
Air mata Liona jatuh, tapi kali ini bukan karena luka lagi, melainkan rasa syukur. Ia meraih wajah Leander, lalu menciumnya penuh kelembutan. Bukan ciuman liar seperti tadi, melainkan ciuman sederhana yang membawa ketenangan luar biasa.
Leander menempelkan pipi tegas berisinya ke pipi chubby Liona. Lalu menduselkan hidung ke pipi itu karena ia sendiri gemas dengan Liona.
“Aku ngantuk, udah ya berendamnya. Tangan aku udah keriput,” kekeh Liona saat memperlihatkan ujung buku jarinya pada Leander.
Leander membawanya ke bibir dan mencium singkat.
Ketika mereka beranjak keluar dari bathub, Leander mengeringkan tubuh Liona dulu dengan handuk tebal, lalu menyelimutinya dengan bathrobe hangat. “Aku tidak mau kamu sakit. Udara dingin di sini bisa bikin kamu demam kalau tidak hati-hati.”
Liona terkekeh, “Kamu itu lebih mirip perawat pribadi daripada suami, Lean.”
Leander tersenyum kecil lalu memeluknya dari belakang. “Kalau jadi perawat artinya aku bisa merawat kamu setiap saat, aku rela.”
“Oh ya? Akan aku pikirkan rawatan apa yang cocok untuk kamu padaku,” balas Liona yang sedari tadi tak hentinya tertawa.
Mereka kemudian berjalan ke balkon kamar. Dari sana, butiran salju jatuh pelan-pelan, menutupi atap-atap vila di sekitar kota kecil Varamesh. Liona bersandar di dada Leander, tubuhnya dibungkus hangat dalam pelukan.
“Lihat, Lean. Indah banget,” bisik Liona takjub.
“Indah,” jawab Leander sambil mengecup kepala istrinya. “Tapi tetap saja, pemandangan paling indah untuk aku cuma kamu.”
Liona tertawa kecil, lalu menutup wajahnya yang memerah dengan tangan. “Kamu tuh suka bikin aku malu.”
Leander menyingkirkan tangan istrinya, lalu menatapnya penuh keseriusan. “Aku nggak bercanda, Lio. Kamu rumah buat aku sekarang. Aku nggak butuh apa pun lagi.”
“Harusnya aku yang bilang begitu, Lean.”
“Dulu aku tidak pernah membayangkan akan jatuh cinta. Karena bagiku, wanita itu hanya bisa menyusahkan. Tapi nyatanya, aku malah jatuh sedalam-dalamnya pada gadis kecilku ini.” Liona tertawa lepas mendengar gombalan Leander. Dia merasa sangat bahagia dengan semua itu.
...***...
Sementara itu, di kamar sebelah, Galen dan Karina juga tengah menikmati kebersamaan mereka. Kamar bernuansa kayu itu diterangi cahaya lampu temaram, jendela menghadap ke luar dengan taburan salju yang terus turun.
Karina duduk di tepi ranjang sambil mengeringkan rambut dengan handuk, sementara Galen bersandar di kepala ranjang, matanya tak lepas menatap istrinya.
Mereka baru saja selesai berhubungan panas di tengah cuaca yang amat dingin itu.
“Kamu nggak bosan mandangin aku terus?” tanya Karina sambil terkekeh, pipinya merona karena tatapan Galen terlalu dalam.
“Justru aku takut kalau sehari aja nggak bisa mandangin kamu,” balas Galen pelan.
Karina terdiam, hatinya langsung hangat. Suaminya kini benar-benar sudah berubah. Ia meletakkan handuk di kursi lalu menghampiri Galen. “Kadang aku masih nggak percaya kita bisa ada di titik ini. Dulu aku sering merasa sendiri, terabaikan. Tapi lihat kita sekarang…”
Galen meraih pinggang Karina, menariknya untuk duduk di pangkuannya. “Aku tahu aku salah dulu, terlalu sibuk mikirin mama sampai kamu harus menanggung beban sendirian. Tapi aku janji, mulai sekarang aku nggak akan lagi mengulanginya. Aku milik kamu, Karina.”
Karina menatap wajah suaminya dengan air mata menetes tipis. Ia membungkus leher Galen dengan lengannya, lalu menempelkan kening mereka. “Aku nggak butuh janji besar, kamu ada di sini, itu udah cukup buat aku.”
Galen langsung mencium bibir Karina lembut, perlahan namun penuh perasaan. Ciuman itu berlanjut makin dalam, seakan menebus semua waktu yang terlewat. Tangannya membelai punggung Karina, sementara Karina mengusap lembut rahang tegas suaminya.
“Galen…” bisik Karina di sela ciuman.
“Hm?”
“Terima kasih, karena nggak pernah menyerah padaku. Kamu masih memilih aku meski semua orang kadang nggak berpihak ke kita.”
Galen menatapnya dengan mata berkilat. “Kamu itu satu-satunya hal yang nggak akan pernah aku lepaskan. Dunia boleh hancur, tapi aku nggak akan biarin kita hancur. Aku yang memilihmu Karina dan aku yang membawamu dalam kehidupan ini.”
Karina menunduk, menempelkan wajahnya di dada bidang suaminya. Degup jantung Galen yang stabil membuatnya merasa aman. Mereka kemudian rebah di ranjang, tubuh Karina terbungkus erat dalam pelukan Galen.
Di luar, salju turun makin deras, tapi di dalam kamar, kehangatan cinta keduanya menyelimuti, membuat malam itu terasa begitu sempurna.
“Andai dulu aku bisa menggendalikan emosi mama, mungkin kita akan jauh lebih bahagia,” sesal Galen.
“Mama begitu bukan tanpa sebab. Kita semua maklum tapi memberi makan penyakitnya terus menerus, itu akan semakin membuat kita semua tertekan.”
“Iya Karina. Andai saja aku memberikan waktu lebih banyak padamu. Mungkin kita bisa memikirkan kesehatan mama bersama.”
“Tidak perlu disesali lagi, semua sudah berlalu dan kini kita akan menikmati hidup dan aku juga Liona akan menunjukkan kalau kami bukan ingin merebut putranya.” Galen semakin mempererat pelukannya pada Karina.
Di kamar lain, Tristan terus menatap foto mendiang istrinya yang sudah meninggal setahun yang lalu. Ia ingat betul ketika Katty mengabarkan dirinya bahwa ia tengah hamil dan masih ingat oleh Tristan betapa bahagia Katty saat itu.
Namun kebahagiaan tersebut sirna ketika Tristan mendukung rencana Gita untuk menggugurkan kandungan Katty. Katty yang terus kepikiran memutuskan untuk bunuh diri dan mengakhiri semua penderitaannya menjadi menantu Ganendra.
“Kalau saja saat itu aku tidak mendukung mama, mungkin sekarang kita masih bersama dengan anak kita, Sayang.” Tristan berkata lirih lalu mencium foto Katty.