Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Julian Aneh
Derry, yang melihat adegan itu, hampir menjatuhkan map dari tangannya. Wajahnya kaku, tapi keringat dingin muncul di pelipis. Ia sama sekali tak menyangka bosnya—yang terkenal dingin dan tak tersentuh—tiba-tiba melakukan hal seperti itu.
Julian tetap berjalan dengan ekspresi datar, seolah tak terganggu oleh reaksi Rumi. “Kamu masih lemah, perut kamu masih sakit. Tidak seharusnya memaksakan diri berjalan ke kamar mandi sendirian.”
“Saya bisa jalan sendiri, kok, Pak!” Rumi berusaha meronta kecil, tapi jelas tenaganya kalah. Suaranya meninggi, lebih karena malu daripada marah sungguhan. “Turunkan saya! Ini memalukan!”
Julian menoleh sedikit, tatapannya dingin menusuk. “Diam.”
Rumi tercekat. Kata itu keluar pelan, tapi tegas dan penuh otoritas. Ia akhirnya hanya bisa mendengus kesal, wajahnya semakin panas.
Derry menelan ludah, menatap ke arah lain untuk menahan rasa kikuk.
Begitu sampai di depan pintu kamar mandi, Julian menurunkan Rumi perlahan, memastikan ia bisa berdiri tegak sambil tetap memegang tiang infusnya.
“Saya hanya ingin membantu,” katanya datar, suaranya tenang namun dalam. “Tidak ada maksud lain. Jangan berpikir macam-macam.”
Rumi menatapnya dengan alis berkerut, napasnya masih naik turun karena kaget. “Bapak selalu membuat segalanya terlihat … lemah. Seakan saya ini tidak bisa apa-apa.”
Julian menunduk sedikit, menatap lurus ke matanya. “Karena faktanya memang begitu sekarang. Kamu sedang sakit, Rumi. Dan saya tidak butuh drama kalau nanti kamu jatuh di lantai. Saya juga yang bakal repot.”
Rumi mendengus, memalingkan wajah. “Terima kasih atas kepeduliannya, meski caranya menyebalkan.”
Julian hanya menegakkan tubuh, tanpa membalas lagi. Ia lalu mundur satu langkah, memberi ruang bagi Rumi untuk masuk ke kamar mandi. “Cepat. Jangan terlalu lama di dalam.”
Rumi melangkah masuk dengan langkah terseret, lalu menutup pintu agak keras sebagai bentuk protes kecil.
Julian menatap pintu itu lama, ekspresinya tetap dingin. Namun di balik tatapan kaku itu, ada sesuatu yang tidak ia tunjukkan—kecemasan yang terbungkus rapat dalam ketegasan.
Di belakang, Derry akhirnya berdeham, mencoba mencairkan suasana. “Tuan … sarapannya … mau saya siapkan sekarang?”
Julian berbalik perlahan. “Ya. Atur di meja.”
Derry segera bergerak, membuka bungkusan makanan, menata piring demi piring. Aroma nasi goreng, sup krim, roti sandwich, dan kopi hitam semakin mengisi ruangan. Suasana yang sempat tegang kini berganti dengan kesibukan kecil.
Sementara Nia sibuk membasuh Kenzo dengan penuh hati-hati, Rumi masih di kamar mandi, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan. Ia menatap bayangannya sendiri di cermin—pucat, lelah, namun ada semburat merah di pipinya yang tak bisa ia hilangkan.
“Kenapa aku harus merasa begini …?” gumamnya pelan.
Di luar, Julian kembali membuka map file yang tadi sempat ia tinggalkan. Namun telinganya tetap siaga, seolah mendengarkan setiap suara dari balik pintu kamar mandi. Tatapannya dingin, tapi jemarinya mengetuk-ngetuk meja tanpa sadar—tanda kecil dari kegelisahan yang tak ia akui.
Suasana kamar VIP pagi itu terbungkus dalam keheningan yang aneh. Hanya suara gemericik air dari Nia yang memandikan Kenzo, aroma makanan hangat yang mengepul, dan denyut emosi yang tak pernah benar-benar terucapkan di antara Julian dan Rumi.
Dan hari itu baru saja dimulai.
***
Julian duduk di kursi dekat meja, map dokumen terbuka di depannya. Namun sejak beberapa menit terakhir, matanya tak lagi menelusuri barisan huruf di kertas. Telinganya lebih peka pada suara di balik pintu kamar mandi. Rumi sudah cukup lama di dalam, dan itu membuatnya gelisah. Jemarinya mengetuk meja berulang kali, ritme tak sabar yang semakin cepat.
Derry, yang sedang menuang kopi hitam ke dalam cangkir, melirik ke arah bosnya. Ia bisa melihat rahang Julian yang mengeras, tanda pria itu menahan sesuatu—entah kekhawatiran, entah rasa tidak sabar. Derry berdeham pelan, lalu kembali menata piring, pura-pura tidak melihat.
Namun keringat dingin di pelipisnya tetap menetes. Ia jarang melihat Julian seintens ini memperhatikan seseorang, apalagi perempuan yang jelas-jelas baru ia kenal.
Akhirnya, Julian bangkit dari kursinya. Kursi bergeser sedikit dengan suara seret halus di lantai. Langkah kakinya tenang namun tegas, membawa tubuh tingginya mendekati pintu kamar mandi.
“Rumi.” Suaranya berat, rendah, namun terdengar jelas di seluruh ruangan.
Tak ada jawaban.
Julian mengetuk pintu sekali. “Kamu sudah selesai?”
Di dalam, Rumi yang sedang mengeringkan tubuhnya dengan handuk terkejut mendengar suara itu. Ia melongok ke arah pintu dengan dahi berkerut. “Kenapa sih, cerewet amat …,” gumamnya. Ia buru-buru mengenakan baju rumah sakit yang longgar, lalu menyisir rambutnya seadanya.
Belum sempat ia menjawab, suara Julian terdengar lagi, kali ini lebih keras. “Kamu kenapa lama sekali? Jangan-jangan pingsan di dalam?” Nada khawatirnya tersamar di balik ketegasan.
Rumi memutar bola matanya. “Astaga … papa dari bayi ini cerewet sekali,” desisnya pada bayangan sendiri di cermin. Ia lalu mendekat, membuka kunci pintu.
Begitu pintu terbuka, ia langsung mendapati Julian berdiri di ambang dengan wajah datar, matanya tajam menatapnya dari atas ke bawah.
Rumi mendengus kesal. “Bapak ini ya, bisa-bisanya curiga saya pingsan. Saya cuma bersih-bersih diri, apa itu salah?”
Julian tak menggubris protesnya. Ia hanya sedikit menggeser tubuhnya ke samping, memberi ruang agar Rumi bisa keluar. Tapi begitu perempuan itu melangkah pelan melewatinya, Julian tanpa aba-aba langsung membungkuk dan mengangkat tubuhnya dalam gendongan.
“Pak Julian!” Rumi hampir berteriak. Kedua tangannya otomatis berpegangan pada bahu bidang pria itu. Wajahnya langsung memerah karena kaget dan malu. “Turunin saya! Saya bisa jalan sendiri!”
Derry, yang melihat dari meja, nyaris menjatuhkan sendok yang sedang ia pegang. Pemandangan itu terlalu sulit dipercaya. Ia mengenal betul bosnya—Julian selalu menjaga jarak, dingin, dan tak pernah sekalipun menunjukkan sikap protektif seperti ini pada siapa pun, kecuali dengan Tisya.
Pria itu tetap melangkah dengan tenang, ekspresinya tidak berubah sedikit pun. “Kamu pikir saya mau ambil risiko kamu jatuh? Tidak. Jadi diam saja.”
Rumi meronta kecil, meski jelas tenaganya tak sebanding. “Bapak ini menyebalkan sekali! Saya bukan anak kecil!”
“Kalau kamu bukan anak kecil,” balas Julian datar, “maka berhentilah bertingkah seperti itu.”
Rumi tercekat. Ucapan itu terlalu menusuk, membuatnya tak bisa membalas. Ia akhirnya mendengus kesal dan menundukkan wajah, memilih diam meski pipinya masih panas.
Bersambung ... ✍️