NovelToon NovelToon
Kultivator Koplak

Kultivator Koplak

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Sistem / Tokyo Revengers / One Piece / BLEACH / Jujutsu Kaisen
Popularitas:8.3k
Nilai: 5
Nama Author: yellow street elite

seorang pemuda yang di paksa masuk ke dalam dunia lain. Di paksa untuk bertahan hidup berkultivasi dengan cara yang aneh.
cerita ini akan di isi dengan kekonyolan dan hal-hal yang tidak masuk akal.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellow street elite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Di suatu pagi yang sunyi, Rynz seperti biasa sedang membersihkan bengkelnya. Sisa-sisa serpihan besi, arang, dan abu ia sisihkan ke dalam ember besar. Namun ketika ia hendak mengangkat palu tuanya dari atas landasan…

…dia merasakan sesuatu yang berbeda.

Palu itu, yang sebelumnya terasa ringan di tangannya—

kini mengeluarkan tekanan baru.

Beratnya lebih dalam, seperti menekan langsung ke tulangnya.

Ia mencengkeram gagangnya dengan kedua tangan dan mengangkatnya perlahan.

"Huh…? Kenapa berat begini?"

Ia menimbang-nimbang palu itu, lalu memperhatikannya lebih seksama.

Gagang kayu di bagian bawah ternyata sedikit lebih panjang dari sebelumnya.

Kayu tua itu tampak lebih padat, seratnya halus, namun tak kehilangan kesan kasar dari alat kerja.

Bagian kepala palu…

yang dulunya tampak kusam dan aus karena sering dipakai…

kini berkilau dengan guratan samar berwarna hitam pekat, seperti jejak api yang membatu.

Ia menyadari…

"Tanpa aku sadari… palu ini ikut berubah seiring denganku."

Ia memijit-mijit bahunya.

Dahulu, palu itu mungkin hanya seberat 5–6 kilogram.

Namun sekarang, ia tahu dengan pasti: palu itu telah mencapai berat 10 kilogram.

Tidak hanya karena logamnya—

tapi karena energi spiritual yang tersimpan di dalamnya.

Dan anehnya, meski lebih berat, Rynz merasa lebih mantap setiap kali menggenggamnya.

Seolah palu itu menyesuaikan dengan tubuhnya yang kini telah melewati tahap awal penguatan.

"Apa ini… semacam peningkatan alami?"

gumamnya sambil mengayunkan palu ke udara.

Suara angin terbelah samar terdengar setiap kali palu itu bergerak.

“Mungkin… ini palu yang sedang menempaku juga.”

---

Palu itu belum memiliki nama.

Namun mulai hari itu, setiap kali digunakan, suara denting logam terdengar lebih dalam, lebih padat.

Seolah setiap tempaannya menyimpan getaran yang bisa mengubah sesuatu… bukan hanya bentuk, tapi juga makna.

Malam itu, Lu Ban melihat percikan cahaya samar dari bengkel, lalu bergumam dalam hati:

"Palu yang tumbuh bersama tuannya… itu bukan alat. Itu adalah warisan."

Hari itu, bengkel Rynz tidak sepi seperti biasanya.

Chen Mo, murid pedang ganda yang selama ini berlatih keras bersama Rynz, berdiri di depan pintu dengan sehelai kain membungkus beberapa batang logam mentah.

"Aku ingin membuat tombak cadangan untuk Zhou Lan," ucapnya sambil meletakkan logam di meja tempa.

"Dia bilang, tombaknya mulai retak di bagian tengah."

Rynz mengangguk tanpa banyak bicara.

Tangannya menyentuh batang logam satu per satu, memeriksa kualitas dan kepadatannya.

"Besi bercampur nikel... keras, tapi juga lentur."

Bahan bagus, pikirnya. Tapi menempa tombak butuh keseimbangan antara kelenturan dan daya tusuk—logam harus cukup padat di ujung, tapi tak boleh terlalu rapuh di batangnya.

Saat itulah…

terlintas sesuatu dalam benaknya.

"Selama ini aku hanya memakai api biasa.

Tapi jika aku ingin naik level lebih cepat...

Kenapa tidak pakai api hitam saja?"

Ia menatap tungku batu di sampingnya yang perlahan mulai memerah.

Namun tangan kirinya—yang telah lama ia bungkam—berdenyut pelan.

Tattoo berbentuk api hitam di lengannya tampak berkilau samar, seolah menyambut gagasan itu.

Rynz pun mengangkat tangan kirinya, dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama—ia memanggil api itu untuk digunakan dalam tempaannya.

Fushhh…!

Api hitam pun menyembur dari telapak tangannya, melingkupi batang logam di atas landasan.

Namun hanya dalam hitungan detik, bukan meleleh…

logam itu berubah menjadi abu dan tercerai-berai dalam sekejap.

"Apa?! Tidak—!"

Rynz terpaku, menatap abu hitam yang tersisa, menebar perlahan terbawa angin.

Logam itu tak sempat menjerit. Ia lenyap begitu saja, seperti dibakar oleh kekosongan.

Chen Mo di belakangnya juga membeku.

"Itu... api hitammu?"

Rynz tidak menjawab. Ia hanya menatap telapak tangannya.

"Api ini... tidak seperti api biasa."

"Ini bukan untuk membentuk. Ini... untuk menghapus."

Ia menggenggam tangan kirinya, menahannya.

"Jadi kalau aku pakai api ini, yang kutempa tak akan jadi senjata... tapi jadi debu."

---

Malam harinya, Rynz duduk sendiri di depan tungkunya yang kini kembali memakai api biasa.

Ia memikirkan banyak hal.

"Mungkin aku belum menguasainya."

"Atau... mungkin api ini memang bukan untuk menciptakan, tapi untuk menghancurkan."

Namun satu hal yang pasti…

Ia tidak bisa menggunakannya sembarangan.

Api hitam bukan milik pandai besi.

Ia adalah roh penghancur, bukan peracik kehidupan.

---

Keesokan harinya, ia kembali membuat tombak untuk Zhou Lan—menggunakan api biasa, tenaga biasa, dan kesabaran luar biasa.

Dan hasilnya?

Sebuah tombak kokoh, ringan, dan seimbang.

Lu Ban, yang sempat mengamati dari jauh, tersenyum kecil dan bergumam:

"Bagus… dia mulai tahu kapan harus menciptakan… dan kapan harus membiarkan sesuatu musnah."

Langkah kaki Lu Ban terdengar pelan namun mantap saat ia mendekati bengkel kecil milik Rynz. Asap tungku masih mengepul, aroma logam terbakar bercampur abu mengisi udara.

Rynz sedang duduk di bangku panjang dari kayu tua, menatap bara yang hampir padam. Kedua tangannya diletakkan di lutut, dan tatapannya kosong—terlalu dalam menyelam dalam pikirannya sendiri.

"Jadi kau mencoba menggunakannya."

Suara Lu Ban mengusik keheningan. Rynz menoleh perlahan.

"Aku pikir akan mempercepat prosesnya…"

gumamnya lirih.

"Tapi malah menghancurkan semuanya."

Lu Ban berdiri di depan tungku, matanya menatap sisa abu yang masih tersisa dari logam yang hancur kemarin. Ia tak berkata-kata untuk beberapa saat, seolah mengamati sejarah dari sisa abu itu.

Lalu ia berkata:

"Sepertinya kamu mulai berpikir untuk membuat senjata yang lebih tinggi."

"Itu hal yang baik. Seorang pandai besi sejati memang tidak akan puas hanya dengan pisau dapur dan tombak petani."

"Namun—"

Ia menatap tajam ke arah Rynz.

"—itu juga berbahaya."

"Apa yang kau lakukan kemarin…"

"…sama seperti seorang Alchemist yang ingin membuat pil tingkat tinggi menggunakan bahan murahan dari pinggir jalan."

"Kau memiliki api yang melampaui tingkatan dunia ini, Rynz.

Tapi bahan-bahan yang kau pakai masih terlalu rendah."

Rynz menunduk pelan. Ia tahu, itu bukan teguran, tapi pelajaran.

Lu Ban melanjutkan:

"Logam biasa tidak mampu menahan api itu. Jika kau terus memakainya, kau hanya akan meninggalkan abu."

"Namun, bila kau temukan bahan yang cukup kuat…

yang bisa bertahan dalam amukan api hitammu itu…

maka kau tidak hanya akan menempa senjata…"

"…kau akan menciptakan senjata spiritual yang hidup."

Rynz menoleh cepat.

"Senjata spiritual…?"

Lu Ban mengangguk.

"Senjata yang tidak hanya tajam dan kuat…

tapi bisa menyimpan kekuatan, menyalurkan roh, bahkan… memiliki kesadarannya sendiri."

"Tapi ingat baik-baik. Untuk menempa senjata semacam itu, tidak cukup hanya dengan bahan dan api.

Kau juga harus siap mengorbankan sebagian dari jiwamu."

Rynz terdiam. Namun ada cahaya kecil yang menyala di balik matanya—campuran rasa takut dan antusiasme.

"Di mana aku bisa menemukan bahan sekuat itu?"

Lu Ban menoleh ke arah utara.

"Gunung Batu Arwah. Tiga hari perjalanan dari sini.

Di sana, ada sisa-sisa logam kuno yang tertanam dalam tubuh monster atau reruntuhan.

Tapi tempat itu tidak ramah…

dan bukan untuk mereka yang ragu."

"Pergilah jika kau yakin.

Atau tempa lebih banyak sabit untuk petani sampai waktumu tiba."

Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti Lembah Angin saat tiga sosok meninggalkan gerbang kayu tua di bawah bendera robek sekte.

Rynz berjalan paling depan, dengan palu berat di punggungnya dan perban masih melilit sebagian lengan kirinya. Di belakangnya, Chen Mo, si tenang pemilik pedang ganda, melangkah mantap, tak banyak bicara. Sementara Zhou Lan, dengan tombaknya tergantung di punggung, sesekali menoleh ke sekeliling, waspada seperti biasa.

Mereka bertiga memulai perjalanan menuju Gunung Batu Arwah—tempat yang disebut Lu Ban sebagai ladang bahan logam kuno, tapi juga dikenal sebagai kuburan para pemburu bahan spiritual.

---

Di sepanjang perjalanan, ketiganya menyeberangi sungai dangkal yang deras, melintasi hutan-hutan dengan akar menggantung, dan melewati beberapa reruntuhan tua yang ditelan waktu. Di salah satu persimpangan kecil, Chen Mo sempat membuka suara.

"Kau yakin bahan itu ada di sana, Rynz?"

"Aku tidak yakin," jawab Rynz datar.

"Tapi aku harus mencobanya. Aku tidak bisa terus menempa besi murahan."

Zhou Lan mencibir ringan.

"Kau jadi ambisius juga sekarang. Padahal dulu hampir mati jadi pengemis."

Rynz tersenyum kecil tanpa membalas.

Kakinya terus melangkah, lebih pelan dari biasanya—namun matanya tetap lurus menatap utara.

---

Dua hari pertama berjalan lancar. Mereka hanya bertemu monster-monster kecil seperti serigala kegelapan dan kadal tanah beracun—semua bisa mereka kalahkan tanpa kesulitan berarti.

Namun saat matahari keempat terbenam, mereka mulai merasakan hawa berbeda.

Udara berubah.

Terasa lebih berat. Lebih padat.

Tanah mulai berubah warna menjadi keabu-abuan, dan pohon-pohon pun jarang tumbuh.

Angin di tempat ini tidak lagi membawa aroma dedaunan atau tanah basah.

Melainkan bau logam.

Dan… kematian.

Zhou Lan menurunkan kecepatan langkahnya.

"Kita sudah dekat… aku bisa merasakannya. Tanah ini… penuh dengan sisa pertempuran."

Chen Mo menarik napas dalam-dalam.

"Ini bukan tempat biasa."

Rynz menatap ke depan.

Di kejauhan, Gunung Batu Arwah menjulang seperti tulang punggung raksasa, hitam dan tandus, puncaknya ditelan awan kelabu.

Namun di sekeliling lerengnya—terlihat kilauan samar dari logam-logam langka yang tertanam di antara batu.

Beberapa bahkan berdenyut pelan, seperti sedang tidur… menunggu.

Namun mereka bertiga tidak sendirian.

Bayangan lain terlihat di seberang bukit.

Kelompok pemburu bahan spiritual dari sekte lain.

Mereka juga datang… dan tidak semua akan pulang hidup-hidup.

1
yayat
tambah kuat lg
yayat
mulai pembantaian ni kayanya
yayat
ok ni latihn dari nol belajar mengenl kekuatan diri dulu lanjut thor
yayat
sejauh ini alurnya ok tp mc nya lambat pertumbuhnnya tp ok lah
‌🇳‌‌🇴‌‌🇻‌‌
sebelum kalian baca novel ini , biar gw kasih tau , ngk ada yang spesial dari cerita ini , tidak ada over power , intinya novel ini cuman gitu gitu aja plus MC bodoh dan naif bukan koplak atau lucu. kek QI MC minus 500 maka dari itu jangan berharap pada novel ini .
Aryanti endah
Luar biasa
Aisyah Suyuti
menarik
Chaidir Palmer1608
ngapa nga dibunuh musih2nya tanggung amat, dah punya api hitam sakti kok masih takut aja nga pantes jadi mc jagoan dah jadi tukang tempa aja nga usah ikut tempur bikin malu
Penyair Kegelapan: kwkwkw,bang kalo jadi MC Over Power dia gak koplak.
total 1 replies
Chaidir Palmer1608
jangan menyalahkan orang lain diri lo sendiri yg main main nga punya pikiran serius anjing
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!