Musim pertama : Tatap Aku, Suamiku
Musim Kedua : Bunda dari Anakku
Jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat Wira (22 tahun) nekad membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina ( 17 tahun), yang hanya seorang gadis yatim piatu.
Wira yang terlahir dari keluarga berada, menikah dengan Naina yang hanya gadis dari keluarga biasa.
Lima tahun pernikahan, guncangan menghantam kehidupan rumah tangga mereka. Dunia Naina hancur seketika. Kebahagiaan yang selama ini direguknya, apakah hanya sebuah kebohongan semata atau memang nyata. Apakah pernikahan ini sanggup di pertahankan atau harus berakhir??
Ikuti perjalanan rumah tangga Wira dan Naina
“Tolong tatap aku lagi, Suamiku.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
S1. Bab 12
Kembali ke kamar perawatan, Wira dikejutkan dengan brankar kosong. Tidak ada istrinya disana.
“Nai, kamu dimana?” panggil Wira, bergegas masuk ke dalam. Sejak tadi dia berdiri di depan pintu, tidak mungkin istrinya keluar.
“Nai, kamu dimana Sayang?” panggil Wira, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pandangnnya tertuju pada pintu kamar mandi yang tertutup.
“Nai, kamu di dalam?” tanya Wira, mengetuk pelan pintu kamar mandi. Keyakinannya mengatakan kalau istrinya berada di kamar mandi.
Lelaki itu masih mengetuk dan memanggil di depan pintu. Hampir lima menit, tetapi tidak ada terdengar jawaban istrinya sama sekali.
Tenang itu menjadi khawatir saat menempelkan telinga di pintu pvc putih. Samar-samar terdengar isak tangis dari dalam kamar mandi. Ketukan lembut itu menjadi gedoran kasar.
“Nai! buka pintunya, kalau tidak Mas akan mendobrak masuk,” ancam Wira di tengah kepanikannya.
“Sayang, tolong buka pintunya. Mas mau masuk. Ada masalah apa? Nai baik-baik saja, kan?” ucap Wira di depan pintu.
“Nai, jangan membuat Mas khawatir. Katakan ada apa,” lanjut Wira. Kesabaran itu habis sudah, Wira tidak bisa berbuat apa-apa selain merusak pintu dengan beberapa kali tendangan sehingga pintu itu terbuka dengan paksa.
Brakkkk!!
Tendangan terakhir berhasil membuat akses masuk ke dalam kamar mandi itu terbuka. Wira berlari masuk demi mencari tahu apa yang terjadi pada istrinya. Hatinya hancur saat melihat Naina berjongkok di sudut kamar mandi, memeluk kedua lutut. Membenamkan wajah di lutut, menangis sampai gemetar.
“Nai, kamu kenapa?” tanya Wira, ikut bersimpuh di depan istrinya. Hatinya teriris-iris, mendapati pemandangan seperti ini.
Tidak terdengar jawaban, hanya tangis yang semakin kencang.
“Nai kenapa?” tanya Wira lagi, kali ini langsung merengkuh tubuh lemah itu dan memeluknya erat.
“Mas, apa Nai tidak bisa punya anak. Kenapa mereka selalu pergi, apa salah Nai?” tanya Naina, menangis dan menumpahkan kesedihannya. Bersandar di pelukan Wira. Sejak tadi mencoba tegar, tetapi akhirnya di ambruk juga. Tidak sanggup menerima kenyataan yang sudah berulang kali dialaminya.
“Maafkan Mas, harusnya Mas juga memperhatikan Nai. Belakangan Mas terlalu banyak pekerjaan, jadi tidak ada waktu untuk Nai,” sesal Wira. Belakangan konsentrasinya terbagi, biasanya dia juga ikut mengingatkan Naina, apabila Naina sudah terlambat mendapatkan tamu bulanan. Hanya saja belakangan ini pekerjaan kantornya menumpuk dan Naina juga lebih banyak sibuk di butik.
“Kita masih bisa punya anak. Dokter sudah mengatakan kalau Nai baik-baik saja. Kenapa harus dipikirkan. Nai masih muda, waktu masih panjang, Sayang,” hibur Wira.
Kedua tangan sudah membingkai wajah cantik Naina yang pucat dan berurai air mata. “Kita kembali ke tempat tidur, Mas gendong, ya,” ucap Wira. Lelaki itu sudah mengambil posisi menggendong ala bridal style dan Naina mengalungkan kedua tangannya ke leher Wira.
“Jangan menangis lagi, Sayang. Setelah Nai siap, kita berusaha lagi,” hibur Wira, menjatuhkan tubuh lemah istrinya ke atas brankar.
“Istri Mas tidak boleh menangis. Nanti cantiknya hilang,” goda Wira, menghapus jejak air mata di pipi Naina dengan ujung ibu jarinya.
Wira baru saja akan beranjak menuju sofa saat lengannya ditahan sang istri.
“Mas, temani Nai disini,” pinta Naina, menggeser pelan tubuhnya, memberi tempat untuk Wira ikut berbaring di sampingnya.
“Nai, setelah pulih, kita jalan -jalan lagi, kita bulan madu lagi untuk yang kesekian kalinya,” ajak Wira, memeluk Naina di atas ranjang sempit rumah sakit.
“Nai mau kemana?” tanya Wira.
“Nai mau pulang ke Yogyakarta. Mau ke makam ayah dan bunda,” pinta Naina.
“Mau menjenguk bibi juga. Sudah lama tidak kesana,” lanjut Naina. Teringat selama lima tahun menikah, dia jarang meluangkan waktu kembali ke kampung halamannya. Selama lima tahun ini, Wira membawanya keliling dunia, tetapi sangat jarang membawanya pulang kampung dan berkunjung ke makam orang tuanya.
“Baiklah, kemanapun yang Nai inginkan, Mas menurut saja,” sahut Wira mengeratkan pelukannya.
***
Keduanya masih saling memeluk di atas brangkar. Naina yang sudah hampir terlelap, dengan Wira yang terus-menerus mengusap kepalanya dengan lembut membuat kantuk itu akhirnya datang.
“Nai, kamu sudah tidur?” tanya Wira, pelan, merapikan surai yang menutupi wajah cantik istrinya.
“Hmmmm,” gumam Naina setengah tertidur.
“Mama dan papa akan datang. Tadi katanya sudah di jalan, tetapi kenapa sampai sekarang belum sampai juga,” cerita Wira, pada sang istri yang sudah akan terbang ke langit ke tujuh.
Wira ikut menjatuhkan kepalanya di samping Naina, mendengar nafas teratur istrinya yang mulai terlelap, rasanya Wira ingin ikut menyusul. Semalaman dia tidak bisa tidur nyenyak, hanya sebentar-sebentar, khawatir Naina mencarinya.
Saat mata lelaki itu mulai terpejam, tubuhnya pun mulai melemas, tiba-tiba Wira dikejutkan dengan suara pintu terbuka.
Kedua sudut bibit itu tertarik ke atas, terbayang papa dan mamanya yang masuk ke dalam kamar perawatan. Namun, senyum Wira berubah kaku dan membeku saat menyadari sosok yang berdiri dengan aura tidak menyenangkan di ujung brankar.
“Stevi??” ucap Wira nyaris tidak percaya. Bingung sendiri bagaimana sekretarisnya itu bisa sampai ke rumah sakit.
“Selamat pagi menjelang siang Pak Wira!” sapanya ketus, menatap sepasang suami istri yang berpelukan mesra di atas brankar.
Stevi dengan setelan kerja berwarna biru muda, memeluk sebuah map hitam di dada.
“Kenapa datang kesini? Bukankah harusnya kamu berada di kantor saat ini!” ucap Wira ketus.
Seringai licik muncul di wajah Stevi. “Ada berkas yang harus kamu tandatangani Pak Wira. Mau tidak mau, aku harus mengantarnya ke tempat Pak Wira tersayang,” ucap Stevi, tersenyum menatap Naina yang masih terlelap di pelukan Wira.
“Sssstttt!” Wira dengan ekspresi tidak sukanya, menempelkan telunjuk di bibirnya.
“Kemarikan! Setelah aku menandatanginya, kamu boleh kembali ke kantor!” titah Wira kesal.
Stevi berjalan mendekat, menyodorkan map hitam dan pena pada Wira, membiarkan lelaki itu menandatanganinya. Sengaja Stevi melakukannya supaya bisa punya alasan datang menemui Wira.
“Mas, istrimu keguguran lagi? Ckckckckck?!” tanya Stevi berbisik, menyeringai menatap Naina. Dia benar-benar bahagia saat mendapat kabar kalau Naina keguguran.
“Darimana kamu tahu? Siapa yang memberitahumu?” tanya Wira heran.
“Mas tidak perlu tahu, aku tahu dari mana!” ucap Stevi, berbisik pelan.
“Ini karmanya karena mengambil hak putri kita. Dia egois sekali sampai tidak mau berbagi dengan kami,” bisik Stevi pelan di telinga Wira.
Wira sudah mengepalkan tangan dengan mata memerah menahan amarah saat istrinya direndahkan. Dia tidak bisa meneriaki Stevi seperti biasanya. Lelaki itu hanya bisa melotot dan mengumpat dalam hati.
Buru-buru Wira menandatangani berkas, dan menyerahkannya pada Stevi. “Sudah! Kamu bisa kembali ke kantor!” usir Wira setengah berbisik.
“Jangan menganggu disini. Istriku baru saja tertidur,” lanjut Wira.
Mendengar kata-kata Wira, Stevi bukannya menurut, wanita itu malah semakin menjadi.
“Selamat pagi, Nyonya Naina,” teriak Stevi dengan suara nyaring, sengaja membangunkan Naina yang baru saja tertidur.
“Kurang ajar! Apa maumu, ‘jalang!” Wira langsung mencekal tangan Stevi dengan tangan kanannya. Sesekali melirik istrinya. Dia tidak bisa banyak bergerak, tubuhnya dipeluk Naina.
Baru saja Wira akan melancarkan serangannya. Tiba-tiba, terdengar suara serak Naina yang terbangun dari tidurnya.
“Stev, kamu datang?” tanya Naina mengerjapkan beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya.
“Iya, Nyonya. Ada sedikit pekerjaan yang membutuhkan tanda tangan Pak Wira.”
Stevi sudah kembali berdiri menjauh. Tidak berani melakukan serangan lagi. Dia tidak takut dengan Wira, dia hanya takut sampai Naina mengetahui segalanya. Bukan hanya fasilitas, bisa-bisa dia dan Nola tidak akan mendapatkan apa-apa lagi dari lelaki tampan yang masih menatap tajam padanya, termasuk statusnya. Bukannya dia tidak tahu seberapa besar perasaan cinta Wira pada Naina.
“Mas, kalau ada pekerjaan kantor, Nai tidak apa-apa ditinggal di sini. Lagipula Nai sudah membaik, ada perawat juga yang bisa membantu Nai.”
***
TBC
Bahkan seakan ikut merasakan sakit yang sesakit itu bagi Dennis
full bintang ,subricrible, vote d tutup kopi
sebelum2 ni terlalu baik sampai tak peka langsung.