Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2. TERJEBAK DI MASA LALU
Aruna perlahan membuka matanya. Pandangannya kabur, cahaya yang menembus sela-sela dedaunan di atas kepalanya menyilaukan retina yang masih lelah. Tubuhnya terasa berat, seolah terhimpit oleh mimpi buruk yang panjang. Napasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang, dan untuk sesaat ia tidak tahu apakah dirinya masih berada di dunia nyata atau masih tersesat dalam mimpi.
Udara yang ia hirup begitu berbeda, tidak ada bau antiseptik, tidak ada suara mesin medis, tidak ada gemuruh lalu lintas kota. Yang ada hanya wangi tanah basah, suara serangga hutan, dan desir lembut angin yang membawa aroma dedaunan liar. Tubuhnya terbaring di atas anyaman tikar kasar, di ruang terbuka yang dindingnya hanya berupa bilah-bilah bambu dengan atap rumbia yang samar-samar bocor cahaya.
Aruna tersentak. Ini bukan kamar rumah sakit. Ini bukan apartemennya di Jakarta.
"Syukurlah kau sudah siuman, Nduk," suara seorang perempuan tua terdengar pelan di sampingnya.
Aruna menoleh. Seorang wanita tua duduk bersila di lantai tanah beralas tikar, menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. Wajahnya berkerut dimakan usia, rambutnya disanggul sederhana dengan kain lusuh, dan tubuhnya dibalut kebaya berwarna cokelat pudar. Tangannya yang keriput memegang sebuah mangkuk tanah liat berisi air.
Aruna menelan ludah, bingung. "Ini ... di mana saya?" suaranya parau, nyaris tak percaya pada kenyataan di hadapannya.
Wanita itu tersenyum tipis, memperlihatkan giginya yang sudah banyak tanggal. "Kau ditemukan pingsan di pinggir alas, dekat jalan setapak menuju sawah. Untung ada petani yang melihat, lalu mereka membawamu ke sini. Ini desa Depok Lama, Nduk. Tempat kecil yang dekat dengan Batavia."
Aruna membelalakkan mata. Depok Lama? Batavia? Kedua nama itu bagai gema asing di telinganya, tapi pada saat yang sama terasa akrab dari buku sejarah yang pernah ia baca. Ia menggigit bibir, mencoba mencerna, menolak pikiran yang tiba-tiba menyergap.
"Batavia? Maksudnya ... Jakarta?" Aruna mencoba bertanya dengan nada ragu.
Wanita itu mengerutkan dahi. "Jakarta? Aku tidak kenal nama itu. Yang kukenal hanyalah Batavia, pusat para Londo itu."
Kata 'Londo' membuat darah Aruna berdesir dingin. Ingatannya melayang pada pelajaran sejarah sekolah: Londo, begitulah rakyat pribumi menyebut orang-orang Belanda, para penjajah yang menguasai tanah air di masa lalu.
Tidak. Tidak mungkin.
Aruna menggeleng, mencubit pergelangan tangannya sendiri. Ia berharap rasa sakit itu akan membangunkannya dari mimpi aneh ini. Namun cubitan itu nyata, pedih, meninggalkan bekas kemerahan di kulitnya.
Wanita tua itu tersenyum prihatin melihat kegugupan Aruna. "Jangan banyak bergerak dulu, Nduk. Kau masih lemah. Ikutlah aku pulang ke rumahku. Tidak baik seorang gadis secantikmu berkeliaran sendirian di desa ini. Kalau sampai para Kompeni tahu, mereka bisa mencurigaimu. Kau bisa dibawa ke kota untuk diinterogasi. Percayalah, itu berbahaya."
Aruna terdiam. Kata 'Kompeni' kembali membuatnya teringat pada istilah lama untuk menyebut tentara Belanda. Apa mungkin ... ia benar-benar terlempar ke masa kolonial?
Tidak. Itu mustahil. Mustahil.
"Bu ... ini tahun berapa sekarang?" tanyanya pelan, hampir berbisik.
Wanita itu menatapnya heran, seolah pertanyaan itu aneh. "Tahun ini ... aku dengar dari Londo kalau tidak salah 1819, Nduk. Apa kau lupa? Atau kepalamu masih pening karena jatuh?"
Dunia Aruna runtuh. Napasnya tercekat, darahnya seperti berhenti mengalir. Tahun 1819. Itu berarti ... lebih dari dua abad lalu.
Ia menolak percaya. Otaknya yang terlatih secara medis mencoba mencari penjelasan rasional: mungkin ini halusinasi akibat trauma, mungkin ia sedang koma dan otaknya menciptakan realitas alternatif. Namun semua yang ia rasakan terlalu nyata, angin yang menyapu kulitnya, bau tanah basah, suara ayam jantan dari kejauhan, bahkan tekstur kasar tikar di bawah tubuhnya.
Wanita tua itu, yang kemudian memerkenalkan diri sebagai Nyi Ratna, menyentuh bahu Aruna lembut. "Ayolah, ikutlah aku. Jangan sampai para Londo melihatmu. Mereka selalu curiga pada orang asing."
Aruna tidak punya pilihan. Dengan tubuh yang masih lemah, ia membiarkan Nyi Ratna Wulan membantunya berdiri. Langkahnya goyah, tapi wanita tua itu sigap menopangnya. Mereka berjalan menyusuri jalan tanah becek yang diapit sawah menghijau dan hutan kecil di kejauhan.
Sepanjang perjalanan, Aruna terus memandang sekeliling dengan perasaan campur aduk. Rumah-rumah bambu beratap rumbia berjejer sederhana. Orang-orang berpakaian lurik, kain jarit, kebaya, atau hanya kain yang dililit di pinggang. Anak-anak berlari tanpa alas kaki, tertawa riang meski tubuh mereka dekil.
Namun bukan itu saja yang membuatnya tertegun. Sesekali ia melihat sosok berkulit pucat, tinggi, dengan rambut pirang atau cokelat, mengenakan seragam rapi, menunggang kuda sambil menatap tajam ke arah rakyat. Setiap kali orang-orang itu lewat, suasana desa seketika hening, penuh ketakutan.
Aruna merinding. Sosok-sosok itu nyata, tentara Belanda, para Kompeni. Ia mengenalinya dari gambaran di buku sejarah.
Hatinya bergemuruh. Apa benar ia telah terjebak di masa lalu?
Rumah Nyi Ratna berada di tepi desa, sebuah bangunan kayu sederhana dengan dinding anyaman bambu. Bau asap kayu dan wangi singkong rebus menyambut Aruna begitu masuk. Nyi Ratna menyuruhnya duduk di bangku kayu reyot, lalu menuangkan air ke dalam tempurung kelapa dan menyodorkannya.
"Minumlah dulu, Nduk. Air hangat bisa membuatmu tenang," suruh Nyi Ratna.
Aruna meneguk perlahan. Rasanya hambar, tapi cukup menenangkan tenggorokannya yang kering.
"Sekarang katakan padaku," ujar Nyi Ratna lembut. "Siapa sebenarnya kau, dan dari mana asalmu? Kenapa anak gadis secantik dirimu ada di desa ini?"
Aruna terdiam lama. Bagaimana ia bisa menjelaskan?
"Saya ... dari kota Jakarta," jawabnya akhirnya.
Nyi Ratna mengerutkan dahi. "Jakarta? Aku tidak pernah dengar. Apa itu desa baru? Atau negeri jauh?"
Aruna menggigit bibir. Ia lupa, Jakarta baru digunakan setelah kemerdekaan. Pada tahun 1819, kota itu masih bernama Batavia.
"Batavia," Aruna mengoreksi ucapan sebelumya. "Mungkin ... Batavia."
Nyi Ratna mengangguk pelan, meski masih terlihat bingung. "Tapi dari penampilanmu, rasanya kau bukan orang sini. Pakaianmu aneh. Dan kulitmu halus, bukan seperti orang desa yang terbiasa kerja sawah. Apa kau dari keluarga Londo?"
Aruna terdiam, lalu kemudian menggeleng.
"Apa pekerjaanmu sebenarnya, Nduk?" tanya Nyi Ratna lagi.
Aruna menelan ludah. Bagaimana menjelaskan profesinya pada orang tahun 1819? "Saya ... seorang dokter,” jawabnya hati-hati.
Mata Nyi Ratna membesar. "Dokter? Apa itu?"
Aruna menarik napas dalam-dalam. "Dokter ... adalah orang yang membantu menyembuhkan orang sakit. Kami menggunakan ilmu pengetahuan, obat, dan cara-cara tertentu untuk merawat tubuh manusia."
Nyi Ratna terdiam, wajahnya berubah takjub. "Kau ... seorang tabib?"
Aruna mengangguk ragu.
"Ya Gusti ...." Nyi Ratna menutup mulutnya dengan tangan gemetar. "Tabib adalah anugerah bagi orang-orang desa. Semua orang menghormati tabib, karena hanya mereka yang bisa menjadi harapan ketika sakit datang. Kau ... benar-benar tabib?"
Aruna menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus bangga atau takut. Ia memang seorang dokter, tapi berada di dunia asing ini, apakah ilmunya bisa membantu? Apakah orang-orang akan menerima pengetahuannya atau justru menganggapnya penyihir? Ia tahu apa yang terjadi pada mereka yang memiliki pengetahuan lebih tentang hal yang tidak umum, terutama seorang wanita. Mereka akan dianggap penyihir, orang gila, dan paling mengerikannya sampai dibunuh dan dibakar hidup-hidup karena takut menjadi ancaman.
Pertanyaan itu bergema di benaknya, bersama satu kenyataan pahit: ia, Aruna Prameswari, dokter muda abad ke-21, kini terjebak di sebuah desa kecil di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial Belanda tahun 1819.
Dan entah bagaimana caranya, ia harus bertahan.