NovelToon NovelToon
DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Mafia / Romansa / Enemy to Lovers / Roman-Angst Mafia
Popularitas:499
Nilai: 5
Nama Author: Aruna Kim

Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

Di tengah hutan yang tidak pernah ada dalam peta resmi manapun, di zona yang hanya dikenal oleh darah tertentu dalam garis keturunan timur. pendopo bergaya tiongkok itu berdiri sunyi.

Dan di bawahnya mengalir sungai kecil jernih, tenang, namun mengandung tekanan energi seperti aliran arus yang tidak alami.

Seorang wanita berbusana putih duduk bersila di atas batu besar, seakan tubuhnya menyatu dengan alam di sekitarnya. Air sungai mengalir tepat di bawah kakinya, namun sama sekali tidak membuat kain putihnya basah.

Di sampingnya, bunga lotus bermekaran pelan, terlihat hidup namun seolah tidak sepenuhnya berasal dari dunia yang sama.

Topengnya berbentuk bulan sabit tipis,berwarna perak, dan tanpa ornamen berlebihan. Hanya bentuk itu saja sudah cukup membuat siapa pun yang melihat langsung merasakan tekanan psikis tak terjelaskan.

Wanita itu membuka matanya perlahan.Mata yang bening. Mata yang dikenal seluruh line naga mafia sebagai mata sang istri Naga Mafia.

“Ketua.”Suara itu datang dari arah gazebo pendopo. Seorang lelaki bersetelan hitam muncul dari balik tiang kayu rosewood.

Tubuhnya tegap. Aura hormat terpancar jelas dari cara ia menunduk.Wanita berbaju putih itu menoleh dengan gerakan halus namun penuh wibawa.

Tatapan matanya memotong jarak seolah bisa melihat isi hati dan rahasia orang yang memanggilnya.

“Laporan.?” suara sang Ketua pelan.

"Jalur ekspansi telah di buka. Kita bisa mengantar barang lewat jalur barat dan selatan Sungai arno."

Wanita itu mengangguk dengan ekspresi yang teduh . “Pastikan tidak ada yang menyentuh jalur itu tanpa restu.” suara wanita itu tetap pelan , tapi lelaki itu refleks merapat kan bahunya, seolah inti tulang belakangnya ikut menegang.

“Baik, Ketua. Kami sudah memutuskan tiga titik kecil untuk memulai uji lintas". Ucap lelaki itu lagi.

Wanita yang duduk di sungai itu kembali mengangguk. "Kembali ke Pekerjaanmu " ucapnya.lelaki tadi memberi salam hormat terakhir kali.

Tapi kemudian dia berhenti lagi. " Ketua. Tadi Nona Amberlyn pergi ke mansion Dragunov. Dia mungkin, sedang merencanakan sesuatu di sana. Sebaiknya, kau segera pulang ". Ucap si lelaki...

Wanita itu menegang,.. " Kakak ". Desisnya

...****************...

Siang hari itu langit Balkan sudah tampak gelap gulita, seolah malam memaksa turun lebih cepat. Mendung pekat menggantung rendah, seakan menyentuh pucuk-pucuk pohon pinus. Angin berhembus dingin, membawa hawa kering yang tidak biasanya muncul pada musim ini.

Pintu utama mansion Dragunov terbuka pelan.Lyora melangkah masuk. Tak ada suara sepatu menyentuh marmer… namun setiap langkahnya seakan menghasilkan gaung tak kasat mata yang menggetarkan seluruh fondasi rumah tua itu.

Apollo sedang duduk di ruang utama. Di kursi sofa hitam, membelakangi jendela besar yang dipenuhi bayangan awan kelabu.

Secangkir kopi hitam mengepul tipis di tangan kanannya. Buku dokumen terbuka di pangkuannya, berisi data-data ekspansi operasional Dragunov dua bulan ke depan. Ia membaca dengan tatapan tenang… atau lebih tepatnya, ia sedang memaksa dirinya untuk tampak tenang.

Lyora berhenti beberapa meter darinya.

Aroma angin hutan Timur masih melekat pada pakaian putihnya. Aura pribadinya masih memancarkan dingin aliran sungai yang baru ia tinggalkan beberapa menit lalu.

Apollo mengangkat kepalanya. Tatapan keduanya bertemu. Hening. Dalam. Seperti dua badai yang sudah pernah saling membunuh dan mencintai… bertahun-tahun lalu… di dunia yang tidak diingat oleh umat biasa.Tatapan keduanya bertemu.

Hening. Senyap. Ada jarak emosi yang tidak bisa didefinisikan.

“Jangan menatapku seperti itu…” ucap Apollo pelan.

Lyora tidak mengalihkan pandangannya. Suaranya datar, namun tetap lembut, seperti ia sedang mengamati detail kecil yang tidak boleh dilewatkan.

“Aku hanya berpikir… kau tidak seharusnya memakai baju itu. Udara sangat dingin di luar. Kau hanya memakai kain setipis itu,” ucap Lyora ringan, tapi dengan nada teguran halus.

Apollo mengangkat alisnya lalu melihat pakaian yang ia kenakan sendiri. Kain tipis, transparan… bahkan kontur tubuh dan warna kulitnya terlihat tanpa perlu cahaya tambah an. Apollo mendengus seolah itu hal remeh.

“Angin tidak bisa menembus kulitku,” jawabnya pendek.

Lyora menghela napas pelan. Ia berjalan mendekat dan duduk di sofa, seakan baru saja kembali memasuki dimensi manusia biasa setelah meninggalkan alam yang terlalu sepi. Sementara Apollo kembali mengambil posisi tegaknya, seakan ia tidak pernah benar-benar bisa duduk santai di depan Lyora.

Beberapa detik tidak ada kata. Hanya suara angin dari luar yang menerpa kaca tinggi mansion.Hingga suara Lyora tiba - tiba memecah keheningan.

“Kalau semuanya berjalan normal…”Ucap Lyora pelan, tanpa menatap Apollo langsung, “…apakah kau akan mencintaiku… seperti pasangan normal pada umumnya?”

Kalimat itu turun seperti hujan pertama sebelum badai besar. Apollo tidak menjawab dalam satu detik. Tidak dalam tiga detik.Ia menaruh cangkirnya pelan ke meja.

 Baru setelah itu ia menatap Lyora bukan dengan tajam, tapi seperti seseorang yang sudah ribuan kali mengulang kesimpulan yang sama dan tidak bisa mengubah garis akhirnya.tersenyum. Senyum getir dan Nyaris seperti ironi.

“Tidak.”

Jawabannya dingin, tapi bukan kejam. Hanya… final. “Aku tidak akan mencintaimu, Lyora.”

Lyora menunduk sedikit. Ada gerakan napas tipis. Tidak sedih berlebihan… tapi menerima sesuatu yang sejak awal ia tahu tidak akan ia menangkan. Namun Apollo belum selesai.

“Tapi jika suatu hari kau dalam bahaya…” suara Apollo merendah, seperti sumpah kuno yang lahir sebelum dunia mengenal moral, “…aku akan menjadi orang pertama yang akan berdiri di depanmu.”

Ia menoleh ke arah jendela yang sudah mulai gelap. “…meski saat itu aku sendiri sedang berdarah habis-habisan.”

Kalimat itu membuat udara ruangan sedikit berubah. Tidak hangat. Tetapi padat dengan janji yang tidak pernah ia ucapkan pada siapa pun selain Lyora.Hujan akhirnya turun.

Rintiknya menampar kaca tinggi mansion dengan bunyi pelan yang berulang, nyaris seperti suara jarum jam yang tak mau berhenti.

Apollo berjalan perlahan menuju jendela besar itu. Punggungnya membentuk siluet gelap di antara cahaya abu kelabu dari langit Balkan.

Lyora memperhatikan dari sofa. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Apollo memandang hujan hari itu. Seperti seseorang yang sedang memanggil kembali sebuah memori yang tidak ingin ia akui hadir.

“Kadang…” suara Apollo pelan, “…aku iri pada manusia biasa.”

Lyora mengangkat wajah. “Iri?”

“Mereka jatuh cinta…” Apollo menatap hujan di luar. “Mereka patah hati… dan selesai.”

Napaknya sempat berhenti sesaat.

“…tidak ada warisan darah… tidak ada sumpah yang mengikat masa depan sampai berlapis-lapis.”

Lyora terdiam. Hujan semakin deras di luar, namun suara ruangan terasa lebih pelan.

“Kalau kau tidak bisa mencintaiku…” suara Lyora nyaris seperti bisikan yang hanya berani diucapkan di antara hujan yang samar, “…apakah kau juga tidak akan membenciku?”

Apollo memejamkan matanya sejenak.

“Aku tidak pernah membencimu,” jawab Apollo tanpa menoleh. “Nafasku terlalu sibuk mencoba bertahan untuk membenci siapa pun.”

Lyora tersenyum kecil. Bukan senyum bahagia, tapi semacam penerimaan yang absurd.

“Dunia kita aneh, Apollo…” katanya lirih.

“Kita tidak bisa memilih jalur seperti manusia normal. Tapi kita tetap harus berjalan seperti mereka.”

Apollo akhirnya menatap Lyora lagi, dari jarak dekat jendela. “Kita berjalan,” lanjutnya pelan. “Tapi arah akhirnya… bukan cinta. "

Hening, tak ada ucapan lagi yang terdengar di antara keduanya. "Dan Kau pun juga aneh,” ucap Apollo tiba-tiba.

Lyora sedikit mengernyit, refleks, tapi nyaris tak terlihat. “Apa maksudmu?” suaranya tenang… namun dadanya menegang perlahan.

Apollo melangkah perlahan kembali, mendekat satu meter… namun tidak menduduk. Ia berdiri tepat di depan Lyora, membuat batas ruang keduanya terasa seperti garis tipis yang jika disentuh, akan pecah.

“Kadang,” Apollo pelan tapi tegas, “…aku melihat sisi lain yang tidak kukenali dari dirimu.”

Matanya menyapu wajah Lyora, seakan mencoba membaca sesuatu yang tidak pernah diberi pada manusia biasa.

“Termasuk yang berdiri di depanku saat ini.”

Lyora berhenti bernapas sesaat.Kalimat itu lebih tajam dari ancaman, lebih dingin dari hujan Balkan yang sedang mengetuk kaca.

Ia tahu apa maksud Apollo. Atau ia pikir ia tahu.Lyora akhirnya membuka mulut, tapi suaranya keluar sangat pelan.

“Apakah kau… sedang meragukan aku?”

Lirih. Bukan takut. Tapi mencoba memastikan batas dari kecurigaan Apollo.

Apollo tidak menjawab segera. Ia hanya menatap Lyora seolah sedang mengamati retakan halus yang mulai muncul pada permukaan kristal. Sampai akhirnya ia berkata:

“Aku hanya memastikan…” suaranya berat, “…bahwa yang berbicara denganku saat ini benar-benar kau.”

Apollo perlahan mendekat. Tidak terburu- buru. Tidak agresif. Tapi gerakannya memiliki intensitas yang membuat tubuh Lyora mengeras seperti batu. Ia berhenti tepat di depan Lyora.

Jari Apollo terangkat, perlahan, menyibak sedikit helai rambut Lyora di sisi kanan wajahnya. Lyora bahkan tidak berani bernapas sejenak.

Dari sela rambutnya, Apollo mengambil sesuatu yang tersangkut di sana, bunga kecil putih… sangat kecil… namun harum. Aroma lembut yang familiar bagi tanah timur. Bunga yang hanya tumbuh di hutan yang seharus nya… tidak ada yang bisa masuk sembarangan.

Senyuman tipis muncul di sudut bibir Apollo saat pria itu menatap bunga mungil itu, sementara Lyora terbelalak. Jantungnya seperti jatuh dari tempatnya.

Apollo mendekat hingga napasnya hampir menyentuh kulit Lyora.

“Kau tahu,” bisiknya pelan , seperti rahasia yang sudah disimpan bertahun-tahun, “aku sebenarnya mengetahui seluruh pergerakan orang-orang yang ada di sekitarku.”

Hening menelan ruangan. “Hanya kepadamu saja, Lyora… aku masih bermain halus.”

Kalimat itu seperti belati yang diselipkan dengan senyum. Apollo mundur pelan. Tidak terburu-buru. Ia menatap bunga putih kecil itu di tangannya, lalu memutarnya pelan di jarinya , masih tersenyum.

Kemudian ia berjalan pergi meninggalkan Lyora dalam keheningan yang menjerat, di ruang dimana ia tidak tahu lagi apakah ia baru saja dicurigai atau sudah diketahui.

1
tefa(♡u♡)
Thor, aku tunggu cerita selanjutnya, kasih kabar dong.
Aruna Kim: siap !. update menunggu
total 1 replies
shookiebu👽
Aduh, abis baca ini pengen kencan sama tokoh di cerita deh. 😂😂
<|^BeLly^|>
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!