NovelToon NovelToon
Janji Di Atas Bara

Janji Di Atas Bara

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Balas Dendam / Cinta Terlarang / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Miss Ra

"Janji di Atas Bara" – Sebuah kisah tentang cinta yang membakar, janji yang teringkari, dan hati yang terjebak di antara cinta dan dendam.

Ketika Irvan bertemu Raisa, dunia serasa berhenti berputar. Cinta mereka lahir dari kehangatan, tapi berakhir di tengah bara yang menghanguskan. Di balik senyum Raisa tersimpan rahasia, di balik janji manis terselip pengkhianatan yang membuat segalanya runtuh.

Di antara debu kota kecil dan ambisi keluarga yang kejam, Irvan terperangkap dalam takdir yang pahit: mempertahankan cintanya atau membiarkannya terbakar menjadi abu.

"Janji di Atas Bara" adalah perjalanan seorang pria yang kehilangan segalanya, kecuali satu hal—cintanya yang tak pernah benar-benar padam.

Kita simak kisahnya yuk, dicerita Novel => Janji Di Atas Bara
By: Miss Ra

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 11

Suara hujan masih terdengar lembut di luar pagar rumah Gilang ketika Irvan berhenti melangkah. Napasnya terengah, pandangannya menatap tajam ke depan_sampai suara Gilang menahannya dari belakang.

"Hey, tunggu dulu. Aku punya cara," kata Gilang cepat sambil meraih lengan sahabatnya.

Irvan menoleh, alisnya berkerut. "Apa lagi, Lang?"

"Dengar dulu, Van," Gilang menatapnya serius. "Kau terlalu terburu-buru. Kalau kau datang sendiri ke rumah Raisa sekarang, bisa-bisa malah memperburuk keadaan. Lebih baik kau pakai cara yang lebih masuk akal."

Irvan menarik napas panjang, menahan gejolak di dadanya. "Apa?"

"Suruh Daddy-mu melamar Raisa," kata Gilang mantap.

Irvan memandangnya lama, seolah mencoba mencerna maksudnya. "Melamar? Sekarang? Dalam situasi begini?"

Gilang menggeleng pelan dan berdecak. “Ck.. Tidak sekarang, tapi besok. Kalau kau serius dengan Raisa, jangan biarkan waktu membuat segalanya makin jauh. Dengan lamaran resmi, setidaknya keluarganya akan tahu niat kalian baik. Daripada kau datang diam-diam, lebih baik langkah besar sekalian."

Irvan terdiam. Rahangnya mengeras lagi, namun kali ini bukan karena amarah_melainkan berpikir keras. "Apa itu akan berhasil? Kau tahu sendiri, Om Dharma orang seperti apa."

"Coba saja dulu," jawab Gilang mantap. "Kau tidak akan tahu hasilnya kalau tidak mencobanya."

Hening sejenak. Suara hujan kini terdengar lebih jelas, menetes di atap seng. Akhirnya Irvan menarik napas panjang, mengangguk perlahan.

"Baiklah--" katanya lirih.

Ia merogoh saku jaketnya, mengeluarkan ponsel yang dari tadi digenggam erat. Jemarinya gemetar sedikit saat menekan nama Darwis di daftar panggilan. Nada sambung terdengar. Sekali. Dua kali. Lalu terdengar suara serak ayahnya dari seberang sana.

"Van? Ada apa, Nak?"

Irvan menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya.

"Dad-- Aku ingin Daddy melamar Raisa. Besok."

Hening beberapa detik di seberang. Lalu terdengar kursi digeser, suara napas berat Darwis terdengar diikuti gumaman samar.

"Hah! Melamar?"

"Iya, Dad. Aku tidak ingin kehilangan dia. Aku mohon, datanglah ke rumahnya besok. Bicaralah dengan Om Dharma."

Darwis tak langsung menjawab. Ia menatap gelas minumnya yang hampir kosong, lalu menatap dua temannya yang kini ikut diam memperhatikan.

"Hmm.. Baiklah, kalau itu keinginanmu--" akhirnya ucapnya pelan. "Besok pagi Daddy akan datang ke rumah Dharma."

Irvan menutup mata, menghembuskan napas lega. "Thank you, Dad."

"Tapi, ingat. Apapun hasilnya, kau harus menerima keputusan Dharma."

"Ya, aku tahu. Tapi aku tidak akan mundur."

Panggilan berakhir. Irvan menatap ponsel di tangannya beberapa detik sebelum menurunkannya perlahan. Gilang menatapnya dengan senyum. "Jadi besok Daddy akan--"

Irvan mengangguk mantap. Irvana memeluk Gilang dan keduanya saling melompat hingga berputar karena sama-sama merasakan kebahagiaan.

_-_-_-_-

Pagi itu matahari sudah meninggi, tapi angin masih lembut menyapu halaman rumah. Irvan berdiri di depan pagar dengan pakaian olahraga, earphone tergantung di leher, sementara keringat menetes dari pelipisnya. Ia sudah menggunakan alat beratnya beberapa kali, tapi bukan karena semangat berolahraga_melainkan karena gelisah menunggu kabar dari Darwis.

Sesekali ia menatap jam tangan. Sudah lewat tiga jam sejak seharusnya ayahnya mendatangi rumah Dharma. Pagi yang semula ia harap menjadi awal dari sesuatu yang indah, kini justru membuat dadanya makin berat.

Irvan menghentikan kegiatannya, menatap ponsel di tangan yang seolah tak kunjung berbunyi. Ia menghela napas, berusaha menenangkan diri.

"Ayolah, Dad-- sedang apa kau sebenarnya," gumamnya pelan.

Beberapa detik kemudian, nada dering ponselnya akhirnya memecah keheningan.

Irvan refleks mengangkatnya dengan cepat, suaranya terdengar begitu bersemangat.

"Bagaimana, Dad? Apakah berhasil?" tanyanya cepat, nyaris tanpa jeda.

Tapi suara di seberang tidak menjawab langsung. Suara Darwis terdengar berat, sedikit serak dan lemah.

"Kemarilah, Van--" katanya pelan. "Daddy di rumah sakit. Nanti aku ceritakan semuanya di sini."

Irvan sontak terdiam. Dadanya terasa seperti dicekik.

"Baik, Dad. Aku segera ke sana."

Sambungan terputus.

Irvan berdiri kaku beberapa detik sebelum berlari ke garasi. Tangannya gemetar saat memasang helm, lalu ia menyalakan motor sport kesayangannya. Suara mesin meraung keras, memecah pagi yang tenang.

Tanpa menunggu detik lagi, Irvan melesat keluar dari rumah, menembus jalanan kota yang mulai ramai. Di matanya hanya ada satu tujuan_rumah sakit tempat ayahnya menunggu.

Angin menampar wajahnya, tapi pikirannya berputar cepat.

Apa yang terjadi di rumah Dharma?

Kenapa ayahnya bisa berada di rumah sakit?

Apakah Dharma menolak lamaran itu dengan kasar? Atau terjadi sesuatu yang lebih buruk?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya sepanjang perjalanan, sementara hatinya berdegup semakin kencang_antara takut, cemas, dan marah yang ia sendiri tak tahu harus ditujukan pada siapa.

...

Lorong rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar suara roda ranjang pasien dan langkah kaki suster yang berlalu. Irvan berjalan cepat, dadanya masih sesak oleh rasa khawatir. Di ujung koridor, ia melihat Darwis duduk di ranjang dengan lengan kanan berbalut perban dan dikalungkan ke lehernya, tampak lemah namun berusaha tersenyum.

"Dad--" suara Irvan serak, napasnya masih berat. Ia melangkah mendekat dan menatap luka ayahnya dengan cemas. "Apa yang terjadi? Kenapa bisa begini?"

Darwis tersenyum samar, mencoba menenangkan anaknya. "Tidak apa-apa, Van. Daddy cuma terpeleset tadi pagi. Tanganku terkilir saat terjatuh," ujarnya ringan, seolah itu hal sepele.

Namun kerutan di dahi Irvan semakin dalam. Ia memandang wajah ayahnya lekat-lekat_mencari kebenaran di balik senyum tenang itu.

"Terpeleset bisa sampai patah seperti ini?" tanyanya tak percaya.

Darwis menatap balik sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. "Van, besok pagi kau pergilah ke padang pasir. Ambil kerikil satu truk untuk pembangunan masjid. Ini uangnya," katanya sambil menyodorkan amplop dari saku jaketnya.

Irvan menatap amplop itu, tapi tidak segera mengambilnya. "Daddy-- Kau sudah bicara dengan Om Dharma?"

Darwis terdiam beberapa detik, lalu menjawab lemah, hampir seperti bisikan. "Belum."

Irvan menatapnya tajam. "Belum? Jadi-- apa yang kau lakukan selama tiga jam?"

Darwis menarik napas panjang, menatap ke arah lain_ke dinding putih yang dingin. Ia tidak ingin anaknya tahu yang sebenarnya. Tentang perdebatan panas dengan Dharma, tentang penghinaan, tentang dorongan keras hingga ia jatuh di halaman.

"Sudahlah," katanya akhirnya dengan nada pelan namun tegas. "Tidak perlu dibahas. Ayo, kita pulang saja. Besok kau harus menggantikan aku mengambil kerikil itu."

Irvan masih berdiri di tempatnya, tidak puas dengan jawaban itu. Matanya menatap lekat ke wajah ayahnya yang mulai memalingkan diri, lalu ke tangan yang berbalut perban.

Namun ketika melihat lelaki itu tersenyum paksa, mencoba menutupi sakitnya dengan wibawa, Irvan menahan diri. Ia menarik napas panjang dan menunduk. Darwis hanya tersenyum samar, menepuk tangan kiri anaknya.

"Yang penting sekarang, lakukan saja yang Daddy minta."

Irvan mengangguk pelan, meski di dalam dadanya bara kecil mulai menyala. Ia tahu_ada sesuatu yang disembunyikan. Dan malam itu, saat mereka melangkah keluar dari rumah sakit bersama, Irvan sudah bertekad dalam hati;

Jika Dharma penyebab luka ini, maka ia akan membayar semuanya.

...----------------...

Next Episode...

1
Deyuni12
dikit amaaaaat
Miss Ra: siaaaap
total 3 replies
Deyuni12
complicated
oh cintaaaa
Deyuni12
sungguh memilukan
Deyuni12
hadeeeeh
kumaha ieu teh atuh nya
Kutipan Halu
mampir kak, mampir jg ya ke karyaku "DIMANJA SAHABAT SENDIRI"☺☺
Deyuni12
lanjuuuut
Jee Ulya
Tapi kalau kebanyakan naratifnya, aku nggak bisa nafas. hihi😁
Jee Ulya
Nyampeee, Aromanyaaa nyampe siniii kaaaak😍😍😍
Jee Ulya: luv banyaak banyaaak
total 4 replies
Jee Ulya
😭😭😭😭 bagus bangettt
Jee Ulya
Aaah diksinyaaaa bikin meleleeeh 😭😭😭
Deyuni12
agaiiiiiin
Deyuni12
lagiiiiii
Deyuni12: d tungguuuu
total 2 replies
Deyuni12
makin penasaran dengan kisah cinta mereka n juga mungkin dendam d masa lalu antara kedua org tua mereka,,hm
lanjut
Deyuni12
hancurkaaaaan
Deyuni12
cinta 🥺🥺🥺
Deyuni12
huft 🥺🥺
Deyuni12
pertikaian dua sahabat kental,berujung kepahitan yg d dapat irvana,,hm
Deyuni12
jeng jeng jeeeng
badai akan segera d mulai
Deyuni12
memadu kasih
hm
lanjut
Deyuni12
hm
haruskah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!